Dalam TEMPO, 21 Oktober 1989, Ekonomi dan Bisnis, ada berita kenaikan tarif penerbangan domestik 20%. Terdengarlah keluhan: "Kini kampung halamanku makin jauh." Apakah keluhan ini berarti bagi pihak yang berwenang dalam pengambilan keputusan di atas. Ke mana sebenarnya tujuan BUMN penerbangan kita ini. Apakah mencari keuntungan semata, seperti yang didengungkan oleh pengurus-pengurusnya, tanpa harus mempertimbangkan kepentingan warga negara. Kalau alasannya mencari keuntungan, tentunya akan meningkatkan kelangsungan pembangunan bangsa. Adakah pembangunan itu harus menyebabkan "makin jauhnya kampung halaman bagi warga negaranya". Dan inilah bagian dari alasan-alasan kenaikan tersebut. Tarif penerbangan domestik Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Contoh adalah penerbangan Frankfurt-Hamburg. Kalau dirupiahkan, harganya sekitar Rp 150.000. Sama jauhnya dengan penerbangan Jakarta-Surabaya. Harga tiket Rp 80.000. Kemudian penerbangan dengan jarak yang sama antara Tokyo dan Osaka serta Jakarta-Semarang masing-masing bertarif Rp 331.250 dan Rp 61.000. Dan Dirut Soeparno, seperti ditulis TEMPO 29 Juli 1989, bisa membandingkan tarif penerbangan Frankfurt-Hamburg dengan Jakarta-Yogya, yang masing-masing bertarif Rp 265.000 dan Rp 61.500. Angka-angka tersebut di atas memang berbeda secara mencolok. Tarif penerbangan Jerman dan Jepang adalah 4 hingga 5 kali lebih besar dari tarif penerbangan domestik kita. Tetapi apakah perbandingan di atas masih valid bila kita melihat nilai relatif tarif-tarif itu terhadap pendapatan per kepala Jerman dan Jepang yang 30 hingga 40 kali lebih besar dari negara kita. Memang adalah hak sepenuhnya Garuda dalam menentukan biaya penerbangan. Tapi sebagai salah satu dari public utilities, BUMN penerbangan kita berkewajiban lebih melihat ke public daripada mencari keuntungan semata. Dalam masyarakat dengan kesenjangan taraf pendapatan yang tinggi, hendaknya Garuda mempertimbangkan proporsi kelas dalam penerbangan untuk mendapatkan break-even point. Bukankah IPTN dapat mendesain interior yang cocok untuk ini. Kelas eksekutif, kelas bisnis, dan kelas ekonomi kan boleh ada dalam penerbangan kita. Di sinilah kita harus mengkampanyekan agar kelompok berpunya hanya menggunakan porsiporsinya. Mungkin ini kedengarannya utopis, tapi inilah sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. Kita memerlukan nasionalisme baru, yaitu nasionalisme yang memperhatikan warga negara kita yang kebetulan kurang beruntung. ADIN PRIADI Graduate School of Tropical Veterinary Science James Cook University of North Queensland Townsville, Q 4811 Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini