LELAKI bertubuh gempal dengan kaca mata tebal itu menarik perhatian para staf Saudi Arabian Airlines yang mengenalnya, ketika ia muncul di Terminal A Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta, Sabtu siang pekan lalu. "Saya heran, katanya NU mau muktamar, kok ia malah pergi ke Jeddah," ujar Hatta Hasan, salah seorang staf perusahaan penerbangan Arab Saudi, yang mengenal calon penumpangnya itu. Lelaki yang mengenakan hem putih dan peci hitam itu tak lain adalah K.H. Abdurrahman Wahid, 49 tahun, Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar (PB) NU. Memang betul, sekitar pukul 12.00 siang itu, Gus Dur -- nama panggilan tokoh NU itu -- terbang dengan pesawat SV 399 milik Saudi Arabian Airlines menuju Jeddah, Arab Saudi. Bersama Gus Dur, turut serta Sulaiman Abdurrahman, pengusaha roti di Jakarta, teman dekatnya. Tampaknya, kepergian itu mendadak, sebab mereka baru mengurus visa umrah melalui PT Mercu Binawan Jakarta, Kamis pekan lalu. Konon, selain umrah ke Tanah Suci, tokoh NU itu akan menghadiri undangan Syekh Muhamd dan Syekh Yassin, di Mekkah, untuk suatu upacara. Ia berencana kembali ke tanah air Selasa pekan ini. Tapi, tiket yang digunakannya -- untuk kembali ke Jakarta -- masih berstatus open. "Kalau nanti tak bisa confirm, bagaimana muktamarnya, Pak?" tanya seorang petugas perusahaan penerbangan itu. Dan, seperti diceritakan Hatta Hasan kepada TEMPO, Sabtu lalu, Abdurrahman Wahid cuma menjawab, "Ya, kita lihat saja nanti." Agaknya, tokoh seperti Abdurrahman Wahid tak akan kesulitan untuk kembali secepatnya ke sini. Ia tentu sudah memperhitungkan betapa penting kehadirannya di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, saat Presiden Soeharto membuka Muktamar Ke-28 NU, Sabtu pekan ini. Muktamar akan berlangsung empat hari, berakhir Selasa pekan depan. Tak urung kepergiannya mendadak ke Tanah Suci itu segera menjadi buah pembicaraan di kalangan NU. Ada yang menghubungkannya dengan muktamar mendatang. "Gus Dur memilih momentum yang tepat. Sepulang dari sana, ia akan bersih di mata para kiai. Itu modal besar baginya untuk menghadapi muktamar," ujar seorang pengurus PB NU. Mahrus Irsyam, pengajar Fisip UI dan pengamat NU itu, melihat manuver Abdurrahman Wahid itu amat jitu. "Kalau betul ia pergi umrah, pulang dari sana, ia jumpai para kiai sepuh NU untuk minta maaf serta menyatakan tak bersedia lagi dipilih dalam muktamar, dan ia malah akan terpilih," katanya. Soalnya, dalam NU, yang menentukan ialah para kiai. Ada apa dengan Abdurrahman Wahid? Cucu Hadratus Syekh (guru besar) Hasjim Asj'ari, pendiri NU itu, sekarang memang lagi jadi buah pembicaraan. Ia disanjung. Tapi, juga dihantam, oleh kawan dan lawan, menjelang muktamar ini. Sebenarnya, semua itu merupakan hal biasa menjelang kerepotan seperti ini. Cuma, yang menyerang Gus Dur kali ini adalah Mustasyar Am (penasihat utama) NU K.H. As'ad Syamsul Arifin serta beberapa ulama lainnya, seperti K.H. Masjkur, K.H. Idham Chalid, dan beberapa lainnya. As'ad Syamsul Arifin, 92 tahun, pengasuh Pondok Salafiyah Syafiiyah Situbondo yang terkenal itu adalah ulama NU paling senior, dan ia justru orang yang mempromosikan Gus Dur menjadi Ketua Tanfiziah PB NU dalam muktamar Situbondo, lima tahun yang lalu. Abdurrahman Wahid memang punya posisi yang sulit. Ia Ketua PB NU, tapi ia juga seorang budayawan, intelektual, malah tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Nah, dalam kapasitas bermacam itu, keluar tulisan atau ucapannya yang ramai diperbincangkan itu. "Kenapa kita merasa bersalah kalau tidak mengucapkan Assalamualaikum. Bukankah ucapan itu bisa kita ganti dengan selamat pagi atau apa kabar, misalnya," ujar Gus Dur dalam sebuah wawancara khusus di majalah dua mingguan Amanah, Mei 1987. Memang, saat itu, Abdurrahman Wahid sedang giat-giatnya melemparkan berbagai gagasan, di antaranya, "mempribumikan Islam", sebagai contoh: penggantian Assalamualaikum itu. Dalam kesempatan lain, ia bicara pula bahwa Islam perlu ditambahi dengan keadilan sosial. Terakhir, Abdurrahman Wahid mengimbau perlunya semacam aktivitas bersama semua agama untuk menanggulangi kemiskinan rakyat Indonesia, yang nota bene mayoritas Islam itu. Imbauan itu ia sampaikan dalam Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), di Surabaya, akhir Oktober lalu. Banyak tokoh muda Islam yang memahaminya. Cendekiawan Nurcholish Madjid, misalnya, menganggap pikiran-pikiran Abdurraman Wahid selama ini cukup segar. Dialah, menurut Cak Nur, yang memulai kembali tradisi perbedaan penafsiran yang dulu tumbuh di kalangan ulama NU. Dengan caranya, kata Nurcholish, "Gus Dur berhasil mendekatkan kembali NU kepada berbagai kalangan luar yang selama ini enggan ke NU." Apa yang dilakukan Abdurrahman Wahid, di mata Mahrus Irsyam, tak lain sebuah shock therapy untuk NU, guna memperkenalkan modernisasi pada organisasi tradisional itu. "Orang Islam itu kan perlu digebuk dari dalam sendiri supaya cepat jalan," kata Mahrus yang datang dari keluarga Muhammadiyah itu. "Susah lho cari orang seperti Gus Dur itu." Malah kalangan muda NU sendiri, tampaknya, tak terlalu mempersoalkan ucapan-ucapan Gus Dur itu dalam muktamar nanti. Misalnya, Fahmi D. Saifuddin, 45 tahun, Wakil Ketua PB NU, melihat bahwa apa yang dilontarkan Gus Dur itu dimaksudkan untuk membuat orang-orang kritis. Tapi, ia mengakui bahwa terkadang ucapan Abdurrahman Wahid bisa membuat orang sakit hati. Begitu pun Fahmi -- yang disebut-sebut sebagai salah seorang calon pengganti Abdurrahman Wahid -- tetap menganggap Gus Dur sebagai orang yang lebih mampu untuk menjadi Ketua Tanfidziah NU buat lima tahun mendatang. Wakil Ketua PB NU yang lain, Syaiful Mudjab, menyatakan, ucapan Abdurrahman Wahid -- terutama soal Assalamualaikum -- memang sempat menggelisahkan warga NU. "Tapi, toh, dia sudah minta maaf. Kita wajib memaafkannya," ujarnya. Sayang, sejumlah kiai sepuh NU, semacam As'ad Syamsul Arifin, sulit menerima berbagai tingkah cucu kandung pendiri NU dari Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, itu. Ditemui TEMPO, Jumat pekan lalu, Kiai yang amat berpengaruh itu menganggap kepengurusan NU selama lima tahun ini "amat mengecewakan dan memalukan", dan secara khusus yang disorotnya adalah Abdurrahman Wahid. Apa salah Gus Dur? "Ente lebih tahu, bagaimana Assalamualaikum mau diganti good morgen," ujarnya sembari mencibirkan bibirnya menirukan selamat pagi dalam bahasa Belanda. Kiai itu juga menuduh Abdurrahman Wahid ikut bersama LSM-LSM menjelek-jelekkan Pemerintah di luar negeri (Baca: Yang Timpang Diluruskan). Sebenarnya, sudah lama Kiai As'ad kesal pada tingkah Gus Dur itu. Menjelang Munas Alim Ulama dan Konperensi Besar NU di Cilacap, Jawa Tengah, November 1987, ia sempat mengumpulkan para mustasyar NU di rumah K.H. Mudjib Ridwan di Surabaya, untuk menggeser Gus Dur. Ternyata, pertemuan itu gagal, karena yang hadir cuma tiga dari delapan mustasyar yang ada. Kegagalan itu, tampaknya, karena dua tokoh senior NU lainnya -- K.H. Ali Ma'shum dan Rais Am Achmad Siddiq -- berada di belakang Gus Dur. Ali Ma'shum, sebelumnya sudah memanggil Abdurrahman ke pesantrennya di Krapyak, minta pertanggungjawaban Ketua PB NU atas tulisannya mengenai Assalamualaikum tadi. Konon, Gus Dur minta maaf, sehingga Ali Mas'shum -- tuan rumah Muktamar kali ini -- menganggap Abdurrahman Wahid masih bisa diperbaiki, tak perlu dijatuhkan. Kiai As'ad pun bisa menerima sikap Ali Ma'shum. Tapi, berbagai ucapan dan tindakan Gus Dur selanjutnya, termasuk soal LSM di luar negeri, dan berpidato di depan Sidang Raya PGI itu, rupanya, membuat Kiai As'ad terpaksa mengambil sikap lain. Ada pula yang dengan tegas membela Gus Dur, yaitu Rais Am Kiai Achmad Siddiq. Pengasuh Pesantren As-Shiddiqiyah Jember itu bisa memahami pemikiran Abdurahman Wahid yang luas sebagai seorang budayawan karena terbiasa oleh lingkungannya. "Memang ada ulama yang menyayangkannya, ketua ketoprak kok mimpin NU, dan sebagainya. Saya katakan kepada kiai itu, kalau dilihat dari sudut NU memang begitu, tapi secara nasional ini kan menguntungkan NU," katanya. Tak kepalang tanggung, dalam suatu pertemuan yang diadakan pengurus Syuriah NU Jawa Timur, di Pondok Genggong, Probolinggo, Selasa pekan lalu, secara terbuka di depan umum Kiai Siddiq mendukung Gus Dur sebagai calon Ketua PB NU dalam muktamar nanti. Kiai Siddiq sendiri menyatakan menerima dengan baik usul mencalonkan dirinya kembali sebagai Rais Am. Pernyataan Kiai ini, agaknya, untuk menanggapi keputusan konperensi wilayah NU Ja-Tim, Juli lalu, yang mencalonkan kembali Achmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid. Pernyataan kiai senior NU itu merupakan sebuah kejutan. Bukan suatu hal yang biasa di dalam tradisi organisasi para ulama ini untuk membuat pernyataan seperti itu di depan umum. Itu dianggap sesuatu yang tak pantas (muruah). Boleh jadi, langkah Kiai Siddiq ini merupakan sebuah terobosan baru untuk NU. Sementara itu sikap keras Kiai As'ad terhadap Gus Dur menyebabkan beberapa cabang NU mulai goyah, NU Kota Madya Surabaya, misalnya. "Kami belum menentukan sikap tentang calon," kata Hamid Rusydi, Ketua NU Cabang Surabaya. Hamid memberi kriteria pemimpin calon mereka: berilmu, berakhlak baik, dan sehat. Dengan kriteria terakhir itu, tampaknya, mereka menolak Kiai Siddiq yang sering sakit itu. "Pokoknya, kami menaati pendapat kiai sepuh saja," katanya. Cabang lain, seperti Banyuwangi, Situbondo, Besuki, dan Bondowoso, tampaknya, bersikap sama dengan Surabaya. Begitu pula cabang-cabang di Bali, NTB, dan NTT yang dianggap dekat dengan Kiai As'ad. NU Jawa Barat, yang semula mendukung duet Siddiq-Gus Dur, kini tampak bungkam. Konon, menurut sebuah sumber, itu setelah mereka mendengar Idham Chalid dan Kiai Masjkur kurang berkenan pada Gus Dur. Sedangkan sejumlah cabang, di Jawa Tengah dan Yogyakarta, tetap di belakang Gus Dur. "Kalau tak Abdurrahman Wahid, siapa lagi? Kami belum melihat calon yang lain," kata Attabiq Ali, putra Kiai Ali Ma'shum, dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Jakarta? "DKI masih belum memutuskannya. Mungkin nanti saja menjelang berangkat ke muktamar," kata Syah Manaf, tokoh NU Jakarta, yang kini menjadi Wakil Ketua PB NU itu. Pengusaha sukses, yang menjabat anggota Dewan Pertimbangan DPD Golkar DKI Jakarta, itu santer disebut sebagai calon pengganti Gus Dur, selain Fahmi D. Saifuddin, dan Wahid Zaini dari Probolinggo, Jawa Timur. Berbeda dengan muktamar-muktamar lain yang menggunakan panitia, maka muktamar NU ini langsung dilaksanakan PB NU yang membentuk beberapa tim. Ternyata, di sini pun sudah ada bias pertentangan. Abdurrahman Wahid dan kelompoknya menginginkan agar dalam rancangan AD/ART, lembaga mustasyar dimasukkan ke dalam syuriah. Menurut pandangan mereka, mustasyar yang dipimpin Kiai As'ad Syamsul Arifin dengan delapan anggota -- terdiri dari para ulama senior, seperti Ali Ma'shum, Idham Cholid, dan Imron Rosyadi -- melakukan tindakan di luar porsi. Misalnya, ada yang tak setuju pada tindakan Kiai As'ad yang sering mengadakan pertemuan dengan para pejabat tinggi, tanpa sepengetahuan Rais Am. Agaknya itu terlalu berlebihan. Sebab, sebagai seorang ulama terpandang, Kiai As'ad Syamsul Arifin sebelum jadi mustasyar, memang sudah sering bertemu dengan para pejabat tinggi. Menjelang muktmar ini, ia sudah bertemu dengan dua menteri. Pada sore 10 November 1989, di pesantrennya, Salafiyah Syafiiyah Situbondo, ia menerima kunjungan Menhankam L.B. Moerdani. Kemudian, enam hari berselang, As'ad bertemu secara khusus dan tertutup dengan Mendagri Rudini di Wisma Daerah Jember, ketika Rudini datang ke kota itu untuk meresmikan masjid Yayasan Amal Bhakti Muslimin Pancasila. Menurut Syahrowi Musa, sekretaris pribadi kiai ini, dalam pertemuan 20 menit itu, Kiai As'ad menyerahkan dokumen 12 halaman di dalam map merah dengan tulisan "rahasia". Secara umum, isinya menyangkut muktamar NU mendatang. Itu dilakukan Kiai As'ad, karena menurut Syahrowi, sebelumnya ada orang yang memberi masukan kepada Rudini. "Isinya mengundang fitnah, sehingga kiai merasa perlu menjelaskannya kepada Mendagri," kata Syahrowi. Kiai yang termasuk dalam angkatan pendiri NU itu juga minta pandangan Pemerintah tentang tingkah laku Gus Dur selama ini yang terkadang aneh -- seperti kasus LSM itu -- agar tak terjadi salah paham antara Pemerintah dan NU. Bukan cuma Kiai As'ad. Di Jakarta, misalnya, Kamis pekan lalu, anggota Mustasyar Kiai Masjkur, 89 tahun, bertemu dengan Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta. Pada saat yang hampir bersamaan, Abdurrahman Wahid menemui Mensesneg Moerdiono di kantornya. Kiai Masjkur menolak membicarakan pertemuannya dengan Kepala Negara itu. "Ah, bicara umum. Sekadar berbincang-bincang saja," ujar bekas Wakil Ketua DPR itu. Hanya saja, kepada TEMPO, Masjkur menegaskan keinginannya agar dalam muktamar nanti NU tetap berada dalam garis kepimpinan para ulama. "Tenaga muda boleh saja terlibat sebagai pengurus, tapi bukan sebagai pemimpin," ujarnya. Maka, dalam rapat PB NU untuk membicarakan rancangan AD/ART tadi, di Hotel Pardede, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, 11 November yang lalu, keinginan Gus Dur -- agar lembaga Mustasyar dilebur ke dalam Syuriah -- ditentang keras oleh Anwar Nuris, Sekjen PB NU, dan kawan-kawannya. Terjadi deadlock. Pertentangan lebih seru saat membahas rancangan tata tertib, menyangkut tata cara pemilihan pengurus. Semula, tim materi yang dipimpin K.H. Yusuf Hasyim sudah menyusun empat model pemilihan. Tapi, dalam rapat tadi, Gus Dur cuma memilih satu model: pemilihan dilakukan secara bebas dalam dua tahap, di mana tiap cabang dan wilayah (jumlahnya 300-an) punya satu suara. Tahap pertama, memilih langsung Rais Am dan Wakil Rais Am. Selanjutnya, dipilihlah Ketua Tanfiziah, setelah calon itu disetujui oleh Rais Am dan Wakil Rais Am yang baru terpilih itu. Lalu mereka yang terpilih itu -- Rais Am dan Wakilnya -- serta Ketua Tanfidziyah, dibantu dua formatur pendamping (yang dipilih juga secara langsung) menjadi sebuah tim formatur yang bertugas menyusun pengurus lengkap PB NU. Ini pun ditentang oleh beberapa pengurus PB NU lainnya. Mereka menginginkan, model pemilihan yang ditawarkan pada muktamar tidak tunggal, tapi punya alternatif lain. Yang mereka usulkan ialah dengan sistem formatur yang dipilih secara langsung oleh peserta muktamar, dan formatur itulah menyusun pengurus baru. Sistem inilah yang dipakai dalam Muktamar PPP Agustus silam, yang, konon, dalam sebuah pertemuan pengurus PB NU dengan Mendagri Rudini, dianjurkan oleh Menteri karena cukup demokratis. Akhirnya, para penentang usul Gus Dur tak berkutik, konon, setelah Gus Dur menyebutkan usulnya itu telah direstui seorang pejabat penting. Tapi, sehari kemudian, Yusuf Hasyim -- paman Abdurrahman Wahid -- membuat surat yang ditujukan kepada peserta rapat itu, yang isinya memprotes keputusan rapat itu. "Ini namanya main mutlak-mutlakan," tulis pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang itu dalam suratnya. Ternyata, protes itu tidak diterima. Sebab, dalam konsep yang sudah dicetak oleh sebuah tim kerja PB NU, ternyata yang digunakan cuma konsep yang diusulkan kelompok Gus Dur itu. Di situ jelas cuma ada satu tata cara pemilihan pengurus seperti konsep kelompok Gus Dur tadi. Dan ditegaskan, PB NU cuma terdiri dari Syuriah dan Tanfiziah. Sedangkan Mustasyar, jadi bagian Syuriah. Yang menarik, rancangan program lima tahun PB NU, sama sekali berbeda dengan program muktamar Situbondo dulu. Program dulu, sarat dengan rencana yang muluk-muluk, seperti mendirikan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, BKIA yang membutuhkan dana tak sedikit. "Program yang sekarang, didahului dengan latar belakang masalah, sehingga program disusun berdasarkan realitas yang ada. Sedangkan program muktamar Situbondo, bukan main hebatnya, sampai ada yang menyebutkannya program kiriman dari langit," ujar sebuah sumber PB NU. Meski program "kiriman dari langit", semula banyak pengurus PB NU yang merasa optimistis, sebab dalam rapat pertama pengurus yang baru terpilih itu di Pesantren Tebuireng, 10 Januari 1985, salah seorang pengurus PB mengatakan siap menyediakan dana Rp 11 milyar untuk biaya pertama program itu. "Nyatanya, sampai sekarang, satu sen pun tak ada," ujar seorang pengurus kepada TEMPO. Bagi yang tak mengenal NU, berbagai pertentangan tajam antara para kiai serta diikuti oleh para pengurus lainnya, seperti yang terjadi sekarang, memang bisa mengagetkan. "Tapi, bagi yang bukan awam soal NU, apalagi yang tahu betul hakikat NU, soal-soal yang terjadi itu tidak mengherankan," ujar Ali Yafie, Rais Syuriah NU. Sebab doktrin NU sendiri, pengakuan terhadap ahlussunnah waljamaah dengan empat mashab itu, menurut Ali Yafie, sudah merupakan firqah-firqah (kelompok). Pengakuan empat mashab itu (Syafii, Hanafi, Hambali, dan Maliki) di NU, menyebabkan NU punya pendapat yang terbuka dan penuh dialog. "Pada hakikatnya, orang-orang NU itu demokratis sekali," katanya. Jadi, benang merah pemersatu NU, menurut Ali Yafie, bukanlah massa, melainkan para kiai yang kebanyakan tinggal di desa-desa, hidup sederhana, seraya tak henti-hentinya membolak balik kitab-kitab kuning. "Maka, jangan heran," kata Mahrus Irsyam, "kalau dulu mereka bekerja sama dengan Naro, lalu sekarang memusuhinya. Dulu Idham Chalid dihantam, sekarang mereka kompak," kata Mahrus setengah berkelakar. Memang, banyak orang yang sulit memahami NU. Misalnya, hanya dengan modal "kiai-kiai kampung" tadi, NU berhasil bertahan dengan mengumpulkan 18,67% suara dalam Pemilu 1971. Sedangkan partai-partai lainnya merosot disedot Golkar, perolehan suara NU malah sedikit lebih tinggi dari Pemilu 1955, yang 18,4% itu. Diperkirakan, pendukung NU saat ini sekitar 20 juta. Dan orang pun bisa kaget lagi, kalau tiba-tiba (siapa tahu) sepulang dari Tanah Suci pekan ini, Abdurrahman Wahid mencium tangan Kiai As'ad Syamsul Arifin. Mereka berpelukan, lalu sembari bergandeng tangan, keduanya melangkah masuk ke Pesantren Krapyak, mengikuti muktamar ke-28 NU. Siapa tahu? Amran Nasution, Ahmadie Thaha, Diah Purnomowati, dan Rustam Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini