Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Upaya Membunuh Sang Fuhrer

Film ini lebih mirip sebuah film thriller berbungkus sejarah. Seru, tegang, tapi jangan mempersoalkan seni peran.

16 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VALKYRIE
Sutradara: Bryan Singer
Skenario: Christopher McQuarrie
Pemain: Tom Cruise, Kenneth Branagh, Bill Nighy, Tom Wilkinson, Carice van Houten, Eddie Izzard
Produksi: MGM

JIKA ingin menyaksikan film ini, sejak awal, Anda harus membuang dua harapan besar. Pertama, jangan memasukkan kejengkelan Anda terhadap Tom Cruise (yang di media Barat sering digambarkan sebagai aktor/produser yang memiliki ego setinggi gunung); perlakukan dia sebagai aktor saja. Jangan pusingkan tingkahnya di sofa Oprah Winfrey. Kedua, jangan mempersoalkan apakah film ini akan masuk festival film mana pun (sudah jelas Academy Award juga tak meliriknya). Nah, setelah ”membuang” dua hal itu, dengan asyik kita bisa menikmati petualangan sejarah ini hampir sama serunya seperti sebuah thriller detektif.

Syahdan, pada pertengahan 1943, seluruh dunia tampak cemas oleh Jerman. Kebuasan dan brutalitas Adolf Hitler itu telah melahirkan berbagai kelompok resistensi dan gerombolan jenderal yang ingin membunuhnya. Semua upaya itu gagal. Hitler telah membangun mesin pembela bernama SS yang luar biasa kejam dan efektif. Fasisme bekerja dengan keras, mantap, dan rajin memberikan oli pada semua sekrup dan onderdil setiap hari.

Pada Agustus tahun yang sama, setelah mengalami luka besar di Afrika Utara, Kolonel Count Claus von Stauffenberg (Tom Cruise) kembali ke Jerman dalam keadaan serba ”setengah”. Matanya hilang sebelah (dan untuk selanjutnya dia mengenakan bola mata palsu) dan tangannya hilang sebelah (untuk selanjutnya, setiap kali dia mengucapkan ”Hail Hitler!”, tangannya yang menonjok udara itu hanya tinggal sebelah). Tapi, dengan tubuh yang tak utuh, hatinya justru sudah lebih dari utuh untuk bergabung dengan para jenderal dan politikus yang berniat membunuh Hitler. Seorang suami yang santun, ayah yang berbakti, dan penganut Katolik yang taat, Stauffenberg sudah mencapai sebuah kesimpulan bahwa ”tidak membunuh Hitler adalah sebuah dosa”.

Stauffenberg menjadi kepala operasi. Dia mengusulkan pelaksanaan sebuah undang-undang darurat yang disebut Operasi Valkyrie, yang berisi: jika Hitler tewas karena satu dan lain hal, pasukan elite cadangan di bawah pimpinan Jenderal Friedrich Fromm (Tom Wilkinson) mengambil alih keamanan Jerman. Maka para jenderal membuat strategi. Stauffenberg membunuh Hitler, dan berita kematian diumumkan. Pasukan Fromm akan diperintahkan menangkap SS; dengan demikian, semua mesin Hitler akan lumpuh.

Paling tidak, rencana itu terdengar masuk akal, dan akan bisa berjalan mulus jika tak ada mata rantai yang putus.

Sejarah sudah menunjukkan bahwa akhirnya semua pemberontakan selalu ditumpaskan oleh Hitler. Maka sutradara Bryan Singer tak bisa bertumpu pada suspens—terutama jika penontonnya adalah orang yang memahami sejarah.

Pengkhianat selalu ada di ujung kuku kita. Sejak awal, Jenderal Fromm sudah menegaskan bahwa dia hanya akan mau bergabung dalam upaya kudeta dan pembunuhan ini hanya jika mereka semua yakin Hitler sudah dapat dibunuh. Selama sang Fuhrer masih hidup, dia tak akan berani mengkhianati pemimpinnya yang brutal itu.

Kalau kita terlalu serius mengutak-atik elemen film ini, film akan menjadi satu problem besarw. Dimulai dari aksen semua pemain yang campur-baur. Tom Cruise dengan santai tetap saja berbahasa Inggris dengan aksen Amerika. Para aktor lain, seperti Kenneth Branagh dan Bill Nighy, yang berperan sebagai dua dari kelompok jenderal yang sejak awal menentang Hitler, tetap bertahan pada aksen Inggrisnya. Aroma Jerman dan Nazi cukup digambarkan dengan bangunan gedung dan seragam SS yang dingin.

Tapi, begitu kita betul-betul menganggap ini film hiburan yang berupaya memberikan informasi bahwa tak semua orang Jerman adalah pengikut yang bernama Hitler, dengan mudah kita mengikuti semua gerak-gerik konspirasi itu. Berdebar ketika Stauffenberg membawa seperangkat bom ke dalam ruang rapat tempat Hitler mendengarkan briefing dari para jenderalnya

Bom berhasil meledak. Tapi sutradara Bryan Singer tahu bagaimana cara membuat penasaran terus-menerus berdebar. Apakah Hitler tewas? Apakah bom itu berhasil melukainya? Suasana itu dipertahankan terus-menerus. Meski kita mafhum karena membaca sejarah, kita ingin sekali mencari tahu bagaimana akhirnya Stauffenberg dan timnya mengetahui hasilnya. Bagaimana akhirnya tentara SS yang semula mulai ditahan berbalik menahan para jenderal. Dan bagaimana para jenderal akhirnya mencoba mempertahankan diri hingga titik darah penghabisan. Kita juga ingin tahu sosok pengkhianat seperti Jenderal Fromm (yang lahir dalam setiap perjuangan) berakhir pada kematian macam apa, dan di tangan siapa.

Sekali lagi, kita memperlakukan film ini mirip film thriller dengan setting sejarah saja. Good guy, bad guy, semuanya jelas. Pengkhianat akan kelihatan dengan segera dan itulah sosok yang paling menghibur di layar film ini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus