Mengikuti pemberitaan tentang seminar di Universitas Muhammadiyah Surakarta yang salah satu topik hangatnya "Rekonseptualisasi Teori Geertz", (TEMPO, 30 November Agarna) saya merasa perlu memberikan beberapa catatan atau pengalaman hidup dalam masyarakat Jawa. Adanya intensitas perubahan masyarakat yang tinggi menyebabkan ciri tiap-tiap kelompok (santri, priayi, abangan) menjadi semakin tidak kentara. Tapi bukan berarti kelompok-kelompok itu lenyap. Mereka masih ada, tapi tidak kelihatan secara mencolok. Pengelompokan (trikotomi), menurut saya, bukanlah akibat hasil kesimpulan Geertz- justru kesadaran batin orang Jawa-lah yang menggolongkan dia sebagai santri, priayi, atau abangan. Selain itu dapat dimengerti bahwa pengelompokan ini sebagai solidaritas sosial masing-masing sebagai kelompok. Ini timbul karena secara psikologis mereka ingin ikut bergabung dengan kelompok tempatdiaberasal. Dengan adanya fenomena ini bukan berarti orang Jawa suka konflik. Hanya pada waktu itu saja (saat penelitian dilakukan) mereka agak berbeda. Setelah pemilu usai mereka kembali bersatu, walaupun masih membawa cirinya masing-masing. Pengelompokan atas dasar solidaritas sosial ini yang menurut saya masih dibawa oleh sebagian kelompok-kelompok tadi. Agar lebih jelas, saya ambilkan contoh dari suatu wilayah permukiman di Kota Yogyakarta. Di wilayah ini ada dua tipe kelompok masyarakat: 1. Kompleks perumahan dengan bangunan yang baik dan jalan beraspal dihuni oleh orang-orang bangsawan, pensiunan, dosen, pegawai tinggi, dan sebagainya. Ini saya kelompokkan menjadi masyarakat: priayi, tentunya dengan melihat kebiasaan hidup mereka. 2. Kompleks perumahan rakyat (kampung), yang bangunannya rata-rata lebih jelek/sederhana, dengan jalan-jalan tak beraspal dan sempit lorongnya. Ini saya kelompokkan dalam masyarakat abangan dan santri. Jumlah mayoritas adalah abangan, yang santri tinggal di sekitar langgar dan makam. Di situ tinggal beberapa keluarga kiai yang menjadi imam langgar tadi. Dalam hari-hari tertentu, tatkala keluarga priayi punya hajat, seperti kenduri, slametan, tahlilan, dan kematian salah satu anggota keluarganya, mereka selalu memanggil masyarakat santri tadi untuk membacakan doa, mantera, memandikan jenazah, dan sebagainya. Semua ini dalam rangka hajatan yang mereka laksanakan. Dari kebiasaan di atas jelas tampak sekali masyarakat priayi membutuhkan legalisasi keagamaan dari kelompok santri. Sebaliknya, kelompok santri ingin diakui sebagai kelompok yang memiliki "otoritas keagamaan". Jelas, tampak kedua kelompok ini menghargai perannya masing-masing. Agaknya, kebiasaan ini masih sering dilakukan oleh masyarakat dewasa daripada yang muda dan akan banyak kita jumpai di wilayah pedesaan Jawa. Kita dapat berteori bahwa kita tak akan menggunakan kaca mata Geertz dalam menganalisa masyarakat Jawa. Tapi abangan, santri, priayi, sampai sekarang masih dapat kita lihat dalam masyarakat Jawa. Semoga bantahan atas teori Geertz bisa menjadi salah satu tesis "orang kita". ALI MUCHSIN Akuntansi Unit Emergency RSU PMI Jalan Pajajaran Bogor, Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini