DIALAH Dubes AS yang paling sering berkeliling selama bertugas tiga tahun di Indonesia. Tunjuk saja provinsi mana yang tak dikunjungi John H. Holdridge, 61, bersama istrinya, Martha. "Cuma Tim-Tim yang belum," katanya ketika menerima wartawan TEMPO Fikri Jufri dan Bambang Harymurti, pekan lalu di kantornya. Tinggi besar, hampir dua meter, lulusan Akademi Militer West Point yang biasa dipanggil Big John oleh teman-temannya punya rencana tersendiri setelah resmi pensiun: kembali ke Amerika dan berceramah tentang Indonesia. "Negeri Anda sangat stabil dan bersatu," katanya. Beberapa kritik melihat stabilitas itu akan terganggu dengan ekonomi yang makin sulit di tahun 1986. Tapi Dubes Holdridge berpendapat lain, seperti dikemukakan dalam wawancara satu jam. Beberapa petikan: "Tentu semua harus mengakui ekonomi Indonesia lebih berat dibandingkan tiga tahun lalu. Ketika saya tiba, harga minyak masih 34 dolar sebareL Kini harganya sempat jatuh sampai 21 dolar. Tapi saya telah menyaksikan selama tiga tahun itu upaya keras pemerintah Indonesia untuk mengimbangi kesulitan dana akibat jatuhnya harga minyak: Devaluasi rupiah, penundaan berbagai proyek besar, deregulasi perbankan, dan serentetan tindakan lain. Yang ingin saya katakan di sini: Semua tindakan itu adalah atas inisiatif pemerintah Indonesia sendiri. Jadi, bukan atas desakan lembaga IMF atau Bank Dunia. Tingkat pertumbuhan tahun 1985 ini saya kira memang akan lebih sulit dibandingkan tahun 1984 yang mencapai 4%. Semua orang memperingatkan saya akan terjadi pengetatan anggaran yang akan disampaikan Presiden Soeharto pada 6 Januari." Sekalipun ada pengeboman di sana-sini, Anda beranggapan Indonesia masih tetap menarik buat investor Amerika? "Saya yakin akan hal itu. Jika orang membaca tentang hal yang mungkin bisa dianggap masalah politik, semua terjadi di Jakarta. Saya telah mengikuti persidangan H.R. Dharsono, Fatwa, dan kesaksian Ali Sadikin. Tapi orang di luar Jakarta tak terlalu peduli. Bagi mereka soal pekerjaan lebih penting ketimbang politik. Saya juga terkesan akan pembangunan yang ternyata tersebar di seluruh Nusantara. Saya melihat pembangunan tersebut dipengaruhi oleh kualitas gubernur dan bupati, yang umumnya, menurut saya, berdedikasi tinggi. Jadi, saya tak begitu terpengaruh oleh kepala berita yang menakutkan." RUU Jenkins yang menakutkan telah diveto Presiden Reagan. Tapi itu bukan berarti proteksionisme lalu menjadi luntur di Amerika. Adakah upaya untuk mengendurkannya? "Saya barusan mendengar bahwa departemen perdagangan kami punya program positif untuk mengembangkan ekspor barang-barang buatan AS. Maksudnya agar bisa membuka kesempatan kerja yang lebih besar bagi pengusaha di AS. Untuk itu pemerintah kami akan meminta Jepang, juga Korea Selatan, membuka pasaran dalam negeri mereka lebih lebar untuk menampung lebih banyak produk buatan AS. Misalnya untuk barang-barang kulit. Kami mempunyai peraturan No. 301 yang memastikan bahwa ITC (perdagangan luar negeri AS), dapat menindak barang impor yang dijual di bawah harga domestik negeri asal, atau dijual secara dumping. Sebab, itu berarti persaingan tak adil bagi barang buatan AS. Tapi itu tak akan mengenai Indonesia, paling tidak untuk saat ini. Soalnya, peraturan tersebut lebih diarahkan kepada Jepang dan Korea. Upaya lain adalah sebuah rencana perjanjian perdagangan luar negeri lagi atau semacam GATT baru. Indonesia ternyata turut mendorong pertemuan GATT ini, dan kini terbentuk panitia di Jenewa yang tengah mempersiapkan agenda untuk Multilateral Trade Regulation. Tapi dari pihak kami juga diajukan masalah yang menyangkut kepentingan kami, misalnya soal hak cipta intelektual yang baru-baru ini sempat ramai: Live Aid, film, kaset video, dan audio, pokoknya semua hal yang diciptakan oleh seseorang hingga mengandung nilai tersendiri. Dengan Pak Rachmat Saleh dan Radius Prawiro saya juga membicarakan masalah yang menyangkut perbankan, asuransl, dan usaha Jasa semacam itu. Mereka bisa mengerti posisi kami, hanya ada perbedaan dalam urutan prioritas antara Indonesia dan AS. Indonesia lebih suka memperhatikan komoditi, sedangkan kami lebih memperhatikan pada hak cipta intelektual dan jasa. Kami berharap Indonesia akan cepat mengikuti langkah Singapura, yang sudah mengeluarkan peraturan tentang hak cipta. Indonesia sendiri mengalaminya: banyak bukunya yang dibajak di Malaysia ...." Kini kami ingin menanyakan soal lain, tentang ancaman dari Utara. Bagaimana Anda menilainya, sebagai ahli masalah Cina? "Saya berbicara dengan orang-orang Indonesia, dan mendapat kesan, yang dianggap ancaman dari Cina adalah untuk masa depan mungkin 20 tahun lagi Saya juga tak ingin meremehkan Uni Soviet yang sedang mengembangkan kekuatan militer nyata di kawasan ini, dan saya yakin para perencana militer di Indonesia bukannya tak menyadarinya. Maksud Anda kehadiran militer AS dengan demikian merupakan faktor pengimbang? "Saya kira pendapat umum di Indonesia berpendapat demikian. Dari beberapa sumber militer, saya mendapat keterangan bahwa Indonesia tidak menganggap ada ancaman yang nyata dari kekuatan luar. Dan itu, antara lain, disebabkan kehadiran AS sebagai faktor pengimbang kekuatan Uni Soviet d kawasan ini". Kembali ke soal Cina, apakah Anda melihat negeri itu sudah benar-benar ingin membangun ekonomi dalam negerinya? "Cina sekarang sungguh berubah. Strategi pembangunan ekonominya sama seperti Indonesia pada awal Orde Baru. Kami beranggapan pembangunan ekonomi Cina di bawah Deng Xiaoping akan meredam keinginan Cina untuk melakukan petualangan politik." Ada pendapat keadaan yang berubah diCina itu pula yang membuat AS dan Jepang lebih suka berpaling ke Utara dan perlahan-lahan meninggalkan peran mereka di pentas Asia Tenggara? "Itu tidak benar. Hubungan baik antara AS dan Cina tak berarti AS lalu meremehan faktor Indonesia dan ASEAN. Hubungan AS dan ASEAN tak lebih rendah dari lainnya." Tapi bantuan militer AS kepada Indonesia menurun. "Itu disebabkan adanya prioritas yang lebih besar untuk membantu negara-negara yang kami klasifikasikan sebagai garis depan (front line contries). Misalnya kekuatan militer Korea Selatan yang secara kuantitatif jauh di bawah Korea Utara. Juga Muangthai 'yang berbatasan dengan Kamboja." Soal Kamboja tentu tak bisa diselesaikan dengan bantuan militer. "Dalam mencari penyelesaian masalah Kamboja sekarang, sikap AS mendukung ASEAN. Selama ini ASEAN-lah yang merupakan penyokong pemerintahan Koalisi. ASEAN pulalah yang pertama kali mendukung gagasan adanya Konperensi Internasional Kamboja (ICK)." Bagaimana Anda melihat situasi di Filipina sekarang? Apakah Anda menilai ancaman dari National People's Army cukup serius, terutama bagi kehadiran pangkalan AS di Subic dan Clark? "Saya merasa yakin masalah NPA bisa diatasi. Saya kira hal itu agak dibesarbesarkan. Memang kami mempunyai masalah tentang masa depan pangkalan Subic dan Clark. Padahal, kehadirannya penting dalam mengimbangi kekuatan Soviet, seperti sudah saya katakan tadi." Andai kata sekali waktu Subic dan Clark dikosongkan, mampukah AS melanjutkan perannya sebagai pengimbang kekuatan Soviet di kawasan ini? "Saya kira bisa, cuma biayanya akan menjadi lebih mahal." Dubes Holdridge, yang Senin itu mengenakan setelan jas biru gelap dengan kombinasi dasi berwarna sama, bergaris kuning, menutup wawancara lima menit sebelum tengah hari. Sebab, tepat pukul 12.00, dia diterima oleh Pangab L.B. Moerdani. Sebagai perwira yang pernah ditempatkan di Korea hingga 1948, Holdridge punya penilaian yang tinggi terhadap Jenderal Moerdani. "Boleh dibilang, satu-satunya orang yang dapat mengelola tentara di Indonesia adalah Pak Harto melalui Jenderal Benny Moerdani," katanya. Ia sendiri merencanakan untuk menulis buku tentang semua pengalamannya di Indonesia. Apakah ia berminat menjadi lobby Indonesia? "Masih banyak orang di Amerika yang masih sempit wawasan internasionalnya. Masih ada yang bertanya, sebelah mananya Bali negeri Indonesia. Saya berharap dapat lebih memperkenalkan Indonesia, dan memperbesar minat orang Amerika terhadap kawasan ini," katanya. F.J.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini