Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILA tidak ditangani serius, kenaikan harga beras belakangan ini akan memicu krisis baru. Soalnya, kenaikan harga beras langsung mengerek harga bahan kebutuhan pokok lain. Dampaknya sangat memukul rakyat, terutama lapisan paling bawah. Sebuah studi Bank Pembangunan Asia pada 2011 menunjukkan, setiap kali harga pangan naik 10 persen, jumlah penduduk miskin di Asia-tentu termasuk Indonesia-bertambah 64 juta orang.
Celakanya, harga beras yang mahal ternyata tidak membuat produsen beras lebih sejahtera, malah mengakibatkan beban petani bertambah-tambah. Itu lantaran sebagian besar petani di sini merupakan petani gurem dengan sawah kurang dari setengah hektare. Hasil produksinya tentu habis untuk konsumsi sendiri. Mereka praktis menjadi net consumer karena membeli beras untuk kebutuhan sehari-hari.
Barangkali fenomena net consumer ini yang belum diperhitungkan pemerintah dalam menganalisis kenaikan harga beras sejak awal tahun ini. Kementerian Pertanian menaksir pada Januari lalu sekitar 600 ribu hektare sawah menghasilkan lima juta ton beras. Kalau angka produksi itu dapat dipercaya, dengan konsumsi beras nasional sekitar 3,5 juta ton sebulan, semestinya suplai beras berlebih.
Seharusnya, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, harga beras turun. Namun, di pasar, harga beras justru meningkat 20-30 persen. Memang ada persoalan distribusi yang tidak merata, tapi semestinya ini masalah sementara. Pada Februari, kendati pemerintah mengklaim bahwa jumlah panen dua kali lipat dibanding bulan sebelumnya, toh harga beras masih saja melangit.
Kalau benar jumlah produksi sebenarnya lebih tinggi ketimbang konsumsi, pasti ada penyebab lain meningkatnya harga beras itu. Boleh jadi angka taksiran jumlah hasil panen itu meleset, bisa juga perkiraan jumlah luas sawah yang panen tak valid. Kemungkinan lain, pemerintah setempat kurang cermat menghitung sawah yang gagal panen. Sudah sangat biasa di republik ini laporan angka keberhasilan kerap dilebih-lebihkan, angka kegagalan selalu dikecil-kecilkan.
Dengan kata lain, bergantung pada jumlah produksi beras dalam negeri untuk menurunkan harga beras di pasar lokal merupakan kebijakan dengan risiko tinggi. Terbukti hasil panen dua bulan pertama tahun ini tak mampu menurunkan harga. Bila pemerintah nekat menunggu hasil panen bulan Maret, yang ditaksir akan menghasilkan lebih dari 20 juta ton beras, rakyat di lapisan bawah yang bakal menjadi korban akibat harga beras yang tak bakal turun. Sungguh merupakan pertaruhan yang berbahaya lantaran bersangkut-paut dengan perut rakyat di tingkat bawah.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah seharusnya berpihak pada rakyat banyak. Tak ada jalan lain: beras mesti tersedia dalam jumlah yang cukup dengan harga yang sesuai dengan daya beli rakyat kebanyakan. Pemerintah tak perlu alergi dengan beras impor, seandainya produksi beras lokal tidak mampu menurunkan harga. Patokan yang bisa diambil sederhana: kalau harga beras jenis tertentu di pasar melebihi angka yang ditentukan, itulah saatnya keran impor dibuka. Resep ini sudah diterapkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Tentu cita-cita pemerintah Joko Widodo untuk swasembada beras dalam tiga tahun perlu disambut baik. Tapi fakta bahwa produksi beras nasional justru turun dari tahun ke tahun mesti juga dipikirkan. Tanpa terobosan berarti, misalnya teknologi baru atau investasi besar-besaran infrastruktur produksi padi, cita-cita itu hanya tinggal mimpi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo