Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang diputuskan Mahkamah Konstitusi pekan lalu menunjukkan bahwa negara tidak bisa lepas tangan atas segala sesuatu yang berjalan di luar konstitusi. Setelah sebelas tahun, sejak Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 yang melimpahkan hak pengelolaan air kepada swasta, kini MK mengembalikan hak tersebut ke tangan negara.
Ya, sebuah koreksi besar terhadap kebijakan yang salah. MK telah membatalkan undang-undang yang pro-pengelolaan air oleh swasta itu, dan pemerintah harus menghentikan kebijakan yang mendorong legitimasi privatisasi air. Dengan pembatalan tersebut, peraturan hukum pengelolaan air kembali menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Namun, karena Undang-Undang Pengairan tersebut tidak mengatur hak guna usaha air oleh swasta, pemerintah harus segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005, yang mengatur pengelolaan hak air kepada pihak swasta.
Berbeda dengan privatisasi badan usaha milik negara yang biasa dilakukan melalui penjualan saham, privatisasi air dilaksanakan secara bertahap dengan mengubah kebijakan sektoral berikut aturan mainnya, yaitu melalui perundang-undangan yang membuka peluang sektor swasta dalam penyediaan layanan air. Dengan demikian tampaklah bahwa persoalan privatisasi air bukan sekadar persoalan asing-nonasing, melainkan lebih jauh: hilangnya tanggung jawab negara dan pengalihan penyediaan layanan dasar seperti air bersih dari sektor publik kepada swasta.
Terus digerogoti, akhirnya negara hanya berperan sebagai regulator. Selain itu, kekhawatiran bahwa sektor swasta lebih berorientasi keuntungan daripada perbaikan layanan masyarakat, terutama masyarakat miskin, menjadi bagian tidak terpisahkan dari kondisi ini. Padahal, menurut Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam pembacaan putusan MK, negara diberi mandat dalam Undang-Undang Dasar 1945 untuk membuat kebijakan (beleid), memegang kendali pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).
Dengan begitu, negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air. Hak ini menjamin pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tanpa dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.
Sampai saat ini terdapat lebih dari 30 proyek penswastaan air di Indonesia. Jumlah yang sangat sedikit mengingat terdapat lebih dari 300 perusahaan daerah air minum di negeri ini. Proyek penswastaan air hanya terjadi di kota-kota besar, daerah industri, ataupun di permukiman mewah. Hal ini membuktikan bahwa daerah terpencil dan masyarakat miskin bukan target yang menarik bagi swasta untuk menanamkan investasi di sektor air, padahal sebagian besar masyarakat yang belum memiliki akses terhadap air bersih berada di pedesaan.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menegaskan: seluruh sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat. Mengingat amanat konstitusi ini, privatisasi bukan solusi yang tepat untuk Indonesia. Mau tidak mau, negara harus berani melakukan investasi publik yang lebih besar dalam pembangunan sektor air bersih dan tidak lagi bergantung pada upaya menarik investasi swasta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo