Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang kini menimpa pemimpin dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi serta sejumlah orang yang membela lembaga ini bukan lagi melulu kriminalisasi, melainkan juga fitnah yang menjurus teror.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kriminalisasi sebagai proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana. Namun apa yang terjadi pada Novel Baswedan, seorang penyidik KPK, untuk menyebut contoh, bukan sekadar "membesar-besarkan sesuatu yang kecil", melainkan "mengada-adakan sesuatu yang tiada".
Kasus Novel dibuka polisi pada 2012 atas peristiwa delapan tahun sebelumnya. Ia dituding menganiaya pencuri sarang burung walet ketika menjadi Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bengkulu. Pada saat masalah ini diungkit lagi, Novel sedang menangani perkara korupsi simulator kemudi yang melibatkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI.
Saksi dan bukti perkara Novel diatur sedemikian rupa untuk menjerat sang penyidik. Polisi secara khusus didatangkan dari Jakarta untuk merekayasa. Surat permohonan pengusutan yang dikirim pengacara korban dibuat atas "order" pejabat kepolisian daerah. Seorang pelaku pencurian mengaku dibujuk untuk membuka dan mengakali perkara ini dengan iming-iming pengurangan hukuman.
Ditutup Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyusul konflik Kepolisian dan KPK, kasus Novel kembali dibuka polisi untuk menekan KPK yang menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka suap dan gratifikasi. Novel bersama komisioner KPK nonaktif Bambang Widjojanto dan Abraham Samad kini berstatus tersangka. Dua yang terakhir dijerat perkara kesaksian palsu dan pemalsuan dokumen.
Tak cuma terhadap petinggi dan penyidik KPK, teror juga dialamatkan kepada mereka yang membela Komisi-terutama setelah perkara Komisaris Jenderal Budi Gunawan mencuat. Denny Indrayana, pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan bekas Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dilaporkan atas tudingan korupsi pengadaan sistem pembayaran online Direktorat Imigrasi. Bekas Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein diadukan ke polisi karena dianggap membocorkan rahasia negara. Dua pengajar Universitas Andalas, Padang, juga dilaporkan karena dituding menghina Sarpin Rizaldi, hakim yang memenangkan Budi Gunawan dalam gugatan praperadilan.
Teror seolah-olah ditebar untuk membuat kecut orang ramai. Peneror akan mudah menggertak mereka yang takut. Penebar ketakutan ingin menyampaikan pesan tunggal: membela KPK, meski cuma lewat pernyataan publik, akan berakibat fatal. Kesalahan masa lalu akan dicari-cari. Jika tak ketemu: diada-adakan.
Bukan dituruti atawa diperkuat, teror harus dilawan. Pelaksana tugas pemimpin KPK yang ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk menggantikan Bambang dan Samad mesti mengobarkan semangat ini. Sinyalemen bahwa Taufiequrachman Ruki, Ketua KPK pengganti, akan "menukar" kasus yang membelit petinggi Komisi dengan pengalihan kasus Budi Gunawan ke kejaksaan dan kepolisian karena itu patut kita sesalkan.
KPK semestinya tak gentar. Mereka selayaknya membawa putusan praperadilan Budi ke sidang peninjauan kembali. Jikapun kalah dalam sidang ini, Komisi tetap punya hak untuk meneruskan perkara. Salah satunya dengan cara memperbaiki gugatan. Artinya, KPK masih bisa mengusut kasus Budi Gunawan tanpa harus melimpahkannya ke lembaga lain. KPK semestinya menyadari betapa besar harapan publik pada mereka: dukungan kepada KPK hingga kini tak berhenti.
Presiden Jokowi perlu secepatnya turun tangan. Mengoreksi bawahan yang salah tak sama dengan mengintervensi hukum. Presiden selayaknya menyadari bahwa slogan "Kerja kerja kerja" yang kerap ia kumandangkan bukan sekadar bagaimana membangun sarana fisik, tapi juga memastikan warga negara bebas dari rasa takut. Presiden mesti memerintahkan Wakil Kepala Polri Badrodin Haiti, yang baru saja ia usulkan sebagai calon Kapolri baru, mengambil tindakan. Selayaknya Kepala Badan Reserse Kriminal Budi Waseso dicopot lantaran memicu banyak masalah.
Tak elok pula Presiden menjadikan upaya melumpuhkan KPK sebagai bagian dari barter politik. Jokowi harus berpihak pada orang banyak. Menerima tawaran dukungan asalkan perkara Budi Gunawan dihentikan adalah pengkhianatan pada orang ramai. Dengan meneruskan kasus Budi, juga menghentikan teror yang mengikutinya, Presiden justru semakin kuat di hadapan kawan dan lawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo