MASIH ingat The Crash of 79 ? Novel laris yang beredar 10 tahun silam dan sampai sekarang masih dibeli orang, memang tak menjadi kenyataan. Tapi karangan mencekam yang meramalkan ambruknya saham di Wall Street yang diikuti hancurnya harga minyak dunia, berbeda dengan The Crash of 1990 karya Ravi Batra. Novel Ravi yang sejak beberapa waktu lalu amat populer di kalangan Wall Street di New York dan beberapa kota dunia lainnya, menggambarkan risiko finansial dari kecenderungan konsentrasi kekayaan di AS. Dan itu tecermin pada kegiatan di bursa Wall Street, yang berakhir dengan jatuhnya nilai saham secara tak kepalang tanggung. Dan crash yang pecah di Wall Street dua pekan silam bahkan mendahului apa yang diramalkan secara jitu oleh Ravi Batra. Nilai saham yang pada 13 Oktober mencapai 2.508, pada 16 Oktober bergerak naik mencapai 2.247. Tapi tiga hari kemudian, 19 Oktober, mendadak sontak menyelam hingga titik dingin 1.738. Itulah saat Wall Street mengerek bendera hitam yang dikenal dengan Black Monday. Untung saja pasar saham yang sudah loyo itu tak semakin gelap. Esoknya terjadi kenaikan 102,27 point, disusul dengan tambahan 184 point pada 21 Oktober. Toh rebound selama dua hari itu tak bisa bertahan terus. Hari Kamis 22 Oktober, nilai saham jebol lagi sebanyak 77 point, sedang Jumat esoknya cuma naik kurang dari satu point. Banyak pihak dan perorangan mendadak jatuh miskin. Kerugian dari penjualan nilai saham di Wall Street diperkirakan mencapai ratusan milyar dolar. Bahkan ada yang menaksir kerugian tadi sudah menggapai 1 trilyun dolar, yang kurang lebih sama dengan 16 kali produksi nasional (DP) Indonesia. Tragedi Wall Street sesungguhnya sudah diramalkan banyak orang. Tapi seperti halnya spekulasi tentang devaluasi nilai rupiah, orang tak mudah meramalkan hari H-nya, dan berapa pula jumlah kejatuhannya. Namun yang pasti, virus yang merasuki tubuh Wall Street dalam sekejap telah membuat bursa di London dan beberapa kota dunia lain bagaikan terserang demam berdarah. Di Hong Kong keadaannya lebih gawat lagi: selama seminggu bursa di sana masuk ICU alias diliburkan, dan baru dibuka lagi Senin minggu ini. Internasionalisasi pasar modal dunia memang merupakan kenyataan yang berlangsung seiring dengan perkembangan cepat dari Bull Market di bursa-bursa saham sejak tahun 1982. Indeks Dow Jones meningkat 250 persen, dari Agustus 1982 hingga di bulan yang sama tahun inl. Indeks Dow Jones biasanya diukur dengan mengambil indeks dari rata-rata nilai berbagai saham perusahaan. Selama lima tahun itu pula indeks Hang Seng yang digunakan di Hong Kong naik 300 persen, dan indeks Nikkei di Tokyo meningkat sebanyak 287 persen. Jatuhnya saham-saham, setelah untuk sekian lama naik terus, memang sudah diantisipasi banyak orang. Tapi berbagai kalangan mengakui tak menyangka kejatuhannya akan sedramatis itu. Lalu, apa akibatnya pada ekonomi AS dan negeri lain? Meluncurnya nilai saham diperkirakan erat kaitannya dengan nilai tukar dolar AS, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan yang penting bagi Indonesia adalah, dampaknya pada kegiatan perdagangan internasional. Jatuhnya 1 US$ terhadap 1 DM dari 1,8130 menjadi 1,7885 pada Jumat pekan lalu, sebagian terjadi karena gertakan Menkeu AS James Baker yang mendesak agar Jerman Barat mengurangi tingkat suku bunganya. "Kalau tidak, AS mungkin akan mendevaluasikan nilai dolarnya ...." Tapi yang juga amat berperan dalam gerakan bursa adalah apa yang dikenal dengan semangat hewani para pelaku di Wall Street. Semangat itulah yang ikut meningkatkan internasionalisasi pasar bursa saham sejak 1982. Spirit yang sama pula -- kali ini untuk survival -- yang tampaknya menghinggapi para penjual saham di hari Senin Hitam. Nilai saham yang terus melonjak waktu itu erat kaitannya dengan defisit anggaran dan defisit neraca perdagangan AS, yang lambat laun menjadi defisit neraca transaksi berjalan. Para ekonom, termasuk penganut Keynes, berkali-kali telah mengingatkan Presiden Reagan akan defisit anggaran yang terus membengkak. Kekurangan anggaran di AS selama ini dicoba ditambal dengan masuknya modal asing yang membeli saham di AS, dan bonds -- surat utang yang dikeluarkan pemerintah AS. Upaya di atas sedikit banyak memang membantu. Tapi bukan tanpa bahaya. Sebab, bila dilakukan terus-menerus, nilai saham atau tingkat suku bunga utang harus dijaga agar tetap menarik bagi modal asing. Yang terjadi sebelum malapetaka 87 adalah mulai jenuhnya swasta asing di AS membeli saham dan bonds. Maka, untuk sementara defisit anggaran diatasi dengan pembelian dari Bank Sentral negara-negara Barat. Suatu hal yang tak mungkin berlangsung terus. Di pihak lain angka defisit neraca perdagangan di bulan Agustus mencapai 157 milyar dolar, sedangkan kenaikan tingkat suku bunga di AS tidak "dibantu" oleh Jerman Barat yang, seperti halnya AS, juga menaikkan tingkat suku bunga. Kombinasi faktor-faktor tersebut, ditambah dengan semangat hewani, serta belum adanya pertanda perbaikan dalam defisit anggaran, akhirnya bermuara pada robohnya nilai saham di Wall Street. Itu pula sebabnya Presiden Reagan tak lagi menolak gagasan meningkatkan penerimaan dari pajak untuk menambal defisit anggaran. Di saat Reagonomics sedang naik daun, banyak ekonom percaya dengan itu kurva Laffer, yang menggambarkan hubungan positif antara penurunan tingkat pajak dan penerimaan pajak secara keseluruhan. Alasannya adalah, tingkat pajak bukan lagi merupakan perangsang pertumbuhan ekonomi, bahkan sebaliknya dipandang sebagai penghambat. Kini keadaannya malah menjadi terbalik. AS di saat-saat seperti ini sulit menurunkan nilai tukar mata uangnya. Sementara itu, prospek peningkatan suku bunga dipandang bisa sangat mengganggu hubungan baik AS dengan para sekutunya. Terutama dengan Jerman Barat, yang tetap mempertahankan beleid uang ketatnya, kendati inflasinya tahun ini diduga cuma di seputar satu persen. Tak ada pilihan lain bagi AS, kecuali melakukan disiplin fiskal. Apa akibatnya bagi Indonesia? Kecil, menurut Menkeu Radius Prawiro. Namun, tak ada salahnya bagi kita untuk waspada, dan terus mengamati secara saksama perkembangan ekonomi nyata di AS dan kelompok OECD yang lain. Tingginya beban utang luar negeri, merosotnya nilai minyak yang belum bisa diimbangi ekspor nonmigas, turunnya tingkat pertumbuhan sejak 1982, dihadapkan dengan angkatan kerja yang kini tiga juta setiap tahun, merupakan fakta ekonomi yang mengharuskan Indonesia untuk berhati-hati. The Crash of 87 tampaknya membenarkan ramalan Peter Drucker yang ketiga: kemungkinan ketidakterkaitan antara arus perdagangan dunia dan arus modal dunia. Kebenaran ramalan itu dengan mudah akan menggoda kita untuk semakin bersikap protektif. Bukankah "stabilnya" bursa saham di Jakarta menggambarkan "kebalnya" pasar saham di sini terhadap keguncangan di Wall Street? Dengan kata lain, bursa saham di Jakarta -- yang secara langsung tak kejangkitan virus Wall Street -- ternyata bukan tempat yang bagus bagi upaya mobilisasl dana masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini