ORANG kemudian menamakannya Kamis Hitam. Hari itu 24 Oktober 1929, di New York yang mulai dingin oleh musim gugur. Di Wall Street, sudut kecil yang jadi pusat keuangan Amerika Serikat, sesuatu yang luar biasa terjadi. Orang ramai-ramai jual saham, hampir serempak. Suara gaduh di gedung bursa yang berumur sekitar 100 tahun itu memekakkan telinga. Harga saham jatuh deras, semuanya. Orang cemas. Kapitalisme runtuh? Polisi dipanggil, orang takut kalau para pialang dan para bankir mengamuk. Pada suatu saat, tampak seseorang naik ke sebuah jendela di tingkat tinggi. Orang ramai menunggu ia meloncat bunuh diri. Ternyata, dia orang yang mau membetulkan jendela. Yang tampaknya tak bisa dibetulkan ialah guncangnya keyakinan kepada keadaan ekonomi. Terutama ketika beberapa hari kemudian, 29 Oktober, satu gelombang lebih hebat terjadi lagi: saham amblas ramai-ramai dilepas. Pada pukul 4 sore Selasa itu, 16.410 ribu saham dilempar. Goldman Sachs, sebuah lembaga investasi yang sahamnya semula banyak dibeli orang, sore itu kehilangan hampir 50% kekayaannya. Beberapa pekan kemudian, diketahui: 80 juta dolar kekayaan punah seperti kena angin musim rontok. Tak ada yang menyangka itu bisa terjadi. Tahun-tahun sebelumnya, yang tersiar adalah berita gembira. Menjelang 1929, ekonomi Amerika maju pesat -- seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dari 76 juta pada 1900 menjadi 121 juta. Kota-kota besar dibangun, perumahan didirikan, juga industri. Lapangan kerja terbuka. Tingkat pengangguran cuma 3%, sementara upah riil meningkat sampai 20%. Presiden Herbert Hoover, dalam pidato November 1928, menepuk dada dengan suara cerah seperti Presiden Reagan kini: "Kita, di Amerika hari ini, sedang mendekati ke saat kemenangan terakhir melawan kemiskinan, yang belum pernah dialami dalam sejarah oleh negeri mana pun." Gelembung busa optimisme itu memabukkan para pembeli dan pialang di bursa saham. Semangat di perdagangan saham, yang ditandai psikologi keroyokan dan hura-hura, sekaligus spekulasi, berkibar. Menjelang 1929, sekitar 10 juta orang ikut masuk dalam pasar surat berharga itu. Menurut sejarawan ekonomi terkemuka, Robert Heilbroner, demam spekulasi untuk segera menjadi kaya -- memang waktu itu tengah menjalar ke seluruh Amerika. Bahkan, bank-bank menyodorkan surat obligasi luar negeri, kendati bisa saja tanpa jaminan yang meyakinkan. Antara lain dari pemerintah Peru, yang dikeluarkan oleh cabang National City Bank dan kemudian terbukti hanya kertas kosong tanpa nilai. Tapi optimisme masih terjaga, terutama di bursa saham. Pada 1929 itu, selama tiga bulan di musim panas, seseorang yang membeli saham Westinghouse akan menjadi kaya dua kali lipat. Dan, tiba-tiba, terjadilah Kamis Hitam itu. Harapan cepat kaya pun ambyar. Peristiwa yang kemudian menyusul adalah Masa Depresi Besar -- dan dunia terserang malaise. Periode paling pedih dalam sejarah ekonomi dunia itu tak bisa dihindari. Sebenarnya, sebagian gejala menjelang keruntuhan akhir Oktober itu sudah bisa diraba. Bidang industri diam-diam merosot. Bahkan selama tiga bulan, sampai September, turunnya dengan tingkat kecepatan tahunan 15%. Mungkin melihat ini, penjualan saham mulai terjadi. Makin hari makin cepat. Dan ketika harga saham jatuh, para pemegang saham tak bisa membayar pinjaman mereka ke bank. Dan bank, yang sempat terlibat dalam obligasi kosong, tak bisa berkutik. Tak ada lagi likuiditas. Sejumlah besar bank tutup, investasi macet, terjadi pengangguran. Masa kemiskinan yang kemudian dikenal sebagai Depresi Besar itu tentu tak terjadi hanya karena jatuhnya pasar modal. Banyak analis mengatakan bahwa AS sebenarnya juga rapuh di satu sektor: pertanian. Sektor ini, sepanjang tahun 20-an, adalah "si sakit" dalam perekonomian Amerika -- ketika di kota-kota, orang ramai berlomba jual beli saham. Ketimpangan sosial juga, secara keseluruhan, mencolok: pendapatan 15 ribu keluarga atau perorangan di tingkat atas, sama besarnya dengan pendapatan 6 juta orang di tingkat terbawah. Tak mengherankan, ketika Depresi memukul, yang paling lantak adalah yang hidup di bawah itu. Dan itu berarti jumlah orang yang terbesar. Penderitaan berkecamuk di seluruh AS. Dan karena posisi ekonomi AS masa itu, kelumpuhan ekonomi juga melanda hampir seluruh dunia di Indonesia, harga karet, misalnya, jatuh, dan dari sinilah dikenal kata "zaman meleset". Protes sosial, di tengah kontras kaya dan melarat itu, meletup. Gerakan sosialisme, juga komunisme, bangkit. Saksi paling menyentuh dari masa itu ialah sejumlah karya sastra tentang si terinjak, terutama novel besar John Steinbeck, The Grapes of Wrath. Mungkinkah, setelah jatuhnya harga saham Oktober 1987, krisis ekonomi dunia akan berulang? Ada yang bilang, tidak. Kini, setidaknya menurut majalah The Economist, bidang-industri tak merosot, bahkan selama triwulan terakhir, naik dengan kecepatan tahunan 9%. Perbedaan penting lainnya dengan 1929 adalah kini orang sudah mengenal John Maynard Keynes. Berbeda dengan banyak pemikiran zaman itu, ahli ekonomi Inggris itu punya resep: pemerintah harus meminjam dana. Lalu membelanjakan dana itu. Dengan begitu, ekonomi digerakkan. Buruh serta orang lain akan kecipratan, dan pada gilirannya daya beli mereka yang meningkat akan menimbulkan permintaan akan barang produksi dan jasa, dan kecepatan beredar uang akan terjaga. Tak usah takut inflasi. Keadaan memang akan mengkhawatirkan bila sisi permintaan tak meningkat cepat. Di masa tahun 20-an, itulah justru yang cupet, dan pemerintah hanya defensif: memotong ini itu. Hanya pemerintahan AS di bawah Presiden Roosevelt yang berani bergerak, dengan sedikit resep Keynes. Contoh itu sukses, dan kini jadi teladan. Pemerintah akan lebih aktif. "Pemerintahan mana pun merasa memiliki tanggung jawab semacam itu," kata John Kenneth Galbraith, bekas guru besar di Harvard yang pernah menulis tentang krisis 1929 dalam The Great Crash. Kini lembaga asuransi federal punya dana untuk melindungi simpanan masyarakat di bank -- suatu hal yang tak ada di tahun 30-an. Dewasa ini, lumpuhnya beberapa bank (karena dana yang cair macet, akibat utang yang tak terbayar) tak akan langsung menyebabkan ekonomi ambruk. Ada bank sentral yang tak akan membiarkan masyarakat kekurangan dana. Pekan lalu, misalnya, Ketua Federal Reserve, bank sentral AS, Alan Greenspan, sudah menjanjikan akan menyuplai pasar dengan dana cair yang dibutuhkan. Tapi itu cuma obat sementara. Tak berarti semua cerah. Kerja sama antarnegara ekonomi kuat tak efektif. Defisit perdagangan AS tak kunjung ciut, dan semangat proteksionistis di lembaga legislatif Washington kian galak. Defisit anggaran AS begitu besar, hingga untuk menambalnya, dolar disedot dari mana saja. Maka, nilai mata uang ini pun membingungkan, dan suku bunga tinggi. Bagaimana, dalam suasana itu, meningkatkan sisi permintaan? Maukah Jerman Barat, maukah Jepang, jadi lokomotif baru dunia, ketika AS tak mampu lagi? Mohamad Cholid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini