MAU untung malah buntung. Begitu kurang lebih apa yang dialami Tanri Abeng, Presdir PT Multi Bintang Indonesia, belakangan ini. Sahamsaham perusahaan Jepang miliknya anjlok harganya. Patah semangat dia. "Salahnya sendiri, percaya pialang, padahal bunga deposito kita di sini 'kan tinggi." Begitu komentar pedas Priasmoro, pengamat ekonomi, yang menjabat presiden direktur Bank Perkembangan Asia itu. Tujuan menanamkan uang pada saham asing, menurut Tanri Abeng, bukan sekadar mencari untung. Ada maksud melindungi kekayaannya. Di samping itu, dua anaknya yang bersekolah di Amerika butuh uang saku, setidaknya tiga ribu dolar per bulan. Eksekutif perusahaan Bir Bintang itu secara pribadi terjun ke bursa saham di New York sejak 1985. Ia tak menceritakan berapa uang yang ditanamkannya di sana. Hanya dikatakan bahwa selama dua tahun, untungnya, dalam hitungan rupiah, lebih dari 100%. Tahun ini ia kena batunya. Kapok. "Sekarang, kalau punya uang, simpan saja dalam rupiah. Sebab, bila dihitung antara bunga deposito dan depresiasinya terhadap dolar, masih tetap lebih menguntungkan," ujarnya. Grup Astra juga terbentur kemelut Wall Street. Melalui lembaga keuangannya, Summa International Finance Co. Ltd. (SIF), grup yang dipimpin William Soeryadjaya itu memang membeli saham perusahaan-perusahaan besar di Hong Kong. "Tapi tidak lebih dari satu juta dolar," kata Tan Kim Siew, pengelola SIF di Hong Kong, melalui telepon internasional kepada TEMPO di Jakarta. Tidak terlalu besar buat ukuran Astra. SIF memang lebih berkonsentrasi pada urusan pembiayaan modal. Terjun ke bursa saham, kata putra Om Willem, Edward Soeryadjaya, "hanya salah satu cara membagi risiko saja." Tapi permainan di bursa saham internasional, seperti Tokyo, Hong Kong, London, dan terutama New York, memang pernah sangat menggoda. Sekarang saja anjlok. Orang lalu bertanya: Adakah pengaruhnya di sini -- selain seperti yang dialami secara "kecil-kecilan" oleh beberapa pribadi dan perusahaan di sini? Jatuhnya harga saham di Amerika memang bisa menimbulkan gelombang buruk yang menjalar jauh. Soalnya, jual-beli saham sudah merupakan tradisi yang makin masuk ke tulang sumsum semenjak komputer hampir menghilangkan jarak dan perbedaan waktu. Dari waktu ke waktu saham berbagai maskapai makin memasyarakat: dalam tahun 1960-an, misalnya, jumlah pemegang saham di Amerikahanya 13 juta. Pada 1970-an meningkat jadi 31 juta. Dan tahun 1985 sudah mencapai 47 juta. Dua pertiga dikuasai pribadi-pribadi, selebihnya di tangan pengelola dana pensiun, yayasan, perusahaan asuransi, universitas, dan lembaga lain. Jatuh-bangunnya harga New York akan terasa di seluruh dunia. Terutama oleh negara-negara yang pasar modalnya berhubungan langsung atau tidak langsung dengan bisnis di Amerika. Apalagi, dalam lima tahun terakhir ini, terjadi "globalisasi" pasar saham -- mengikuti proses yang terjadi sebelumnya dalam perdagangan mata uang dan jual beli obligasi pemerintah. Kini bertambah banyaklah dana yang dikelola lembaga-lembaga, seperti yayasan dana pensiun, yang dimanfaatkan untuk membeli saham di luar negeri. Teknologi komunikasi dan informasi makin mendekatkan jarak dan waktu antara pasar modal di suatu negeri dan pembeli di negeri lain. Juga ada pengenduran aturan, deregulasi, yang menyangkut keanggotaan dan yang menyangkut jual-beli saham oleh bangsa mana pun. Maka, bila New York bersin sekali saja, pasar modal negara lain terserang flu. Tapi Menteri Keuangan Radius Prawiro, yang bergegas melaporkan kabar buruk dari Amerika itu kepada Presiden Soeharto pekan lalu, mengatakan bahwa hal itu, "tidak berpengaruh langsung terhadap bursa saham di Indonesia, karena bursa di sini dikelola secara intern." Bursa saham di sini memang terlihat berjalan dengan gayanya sendiri. Harga saham Goodyear, Multi Bintang, dan Sepatu Bata, misalnya, ajek saja. Menurut Ketua Bapepam, Barli Halim, pasar modal di sini memang masih tertutup -- belum diinternasionalisasikan. Orang asing paling banter diizinkan membeli obligasi yang dananya, misalnya, untuk membangun jalan tol. Jadi, orang yang bermain di pasar modal sini memang boleh bersikap cuek saja atas apa yang dicatat Dow Jones Industrial bahwa indeks harga saham jatuh 508 poin pada "Senin Kelam" dua pekan lalu. Sebab, transaksi di sini tidak banyak melibat bank sehingga likuiditas bank boleh dikata tak terpengaruh. Hal itu, seperti dikatakan Menteri Radius, berbeda dengan krisis dunia pada 1929. Saat itu perdagangan surat berharga banyak menggunakan pinjaman bank, sehingga praktis moneter pun runyam, yang akibatnya merembet ke negara-negara tak berdosa. Meski begitu, Radius Prawiro berharap meriangnya di Wall Street itu tidak berlarut-larut -- sampai meningkatkan suhu yang dapat menimbulkan depresi ekonomi. Peri laku bursa di tempat lain di dunia harus terus diikuti dengan saksama. Miris, 'kan? Penerbit bermacam-macam sertifikat saham di sini, J.A. Sereh, dari PT Danareksa mengatakan bahwa "tidak akan ada depresi". Memang, dikatakan juga, keguncanga ekonomi di Amerika tentu akan ada pengaruhnya di sini. Setidaknya terhadap harga saham di sini. Tapi anjloknya saham Good dyear di bursa Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, pada 1984, misalnya, dari nilai nomina Rp 1.000 menjadi Rp 640, tak ada urusanny dengan Wall Street. Waktu itu Goodyear memang tidak menjanjikan dividen. Sudah barang tentu, pemegang saham seperti di New York tak sekadar mempertimbangkan dividen saja. Faktor politik keuangan, fluktuas berbagai nilai mata uang, dan perkembangan suku bunga bank ikut dipertimbangkan. Buktinya begitu bank Jerman menaikkan suku bunga, bank-bank di Amerika ikut-ikutan sehingga tambah merunyamkan suasana bursa saham di New York. Orang Amerika lalu ramai-ramai melepas saham dan lari ke deposito berjangka dan tabungan, yang menjanjikan keuntungan lebih mantap. Sebagian menyimpan duitnya di tanah-tanah real estate. Para pengusaha, menurut Ketua Perbanas (organisasi bank swasta nasional) I Nyoman Moena, menjerit kesulitan kredit. Soalnya, saham yang mereka agunkan ke bank merosot nilainya, sehingga pihak bank menuntut tambahan jaminan. Gemanya mungkin menyentuh komoditi nonmigas Indonesia. Akan terasa betul, menurut Edward Soeryadjaya, "setelah enam bulan atau lebih." Dampak itu, menurut Edward Wanandi, dari Grup Gemala, akan terlihat dengan menurunnya volume maupun nilai ekspor kita. Umpamanya, kayu lapis, pakaian jadi, tekstil, dan bahkan komoditi pertanian, seperti kopi. Soalnya, geger di Wall Street itu juga bisa mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat Amerika, di samping kesulitan keuangan banyak perusahaan yang pada akhirnya akan mengurangi impor bahan baku dari sini. "Tapi itu efek jangka panjang," kata Edward Wanandi, pengusaha yang bergerak dalam industri otomotif itu. Sereh berpendapat lebih tajam lagi: kesulitan ekonomi yang berlarut-larut bisa mnyebabkan Amerika mengunci sama sekali pintu impor. Namun, kemungkinan itu ditutup oleh pendapat Laurence A. Manulang, pengamat ekonomi dan Presiden IBEK (Institut Bisnis, Ekonomi, dan Keuangan): "Amerika harus berpikir lima kali untuk proteksi." Sebab, katanya, Presiden Ronald Reagan pada dasarnya menyukai kebijaksanaan perdagangan terbuka. Setiap usulan proteksi tentu akan divetonya. Pengamat lain, Priasmoro Prawiroardjo dari Bank Perkembangan Asia, menyatakan bahwa geger Wall Street itu akan mengurangi kemampuan investor beroperasi di luar negeri. Terutama pemodal Amerika. Pemodal Jepang mungkin lebih suka memborong kertas saham -- mumpung harganya murah -- ketimbang investasi ke Indonesia. Kesempatan bagi Jepang untuk lebih masuk ke Amerika, rupanya, seperti kata Manulang. Seorang pengusaha Australia di Jakarta mengatakan sebaliknya, "Para pengusaha sekarang akan sadar, sudah waktunya memutarkan uangnya di pabrik atau perdagangan yang nyata, daripada berspekulasi atau berjudi di Wall Street." Dampak yang harus cepat dikelola para penentu moneter di sini, menurut Manulang adalah kenaikan suku bunga pinjaman yang sudah dipelopori Jerman Barat -- orang Amerika seperti mendapat ladang baru bagi uang hasil banting harga sahamnya. Kalau tidak, menurut Manulang, bukan tak mungkin rupiah mengikuti gelagat: lari ke luar. Tapi Ketua Perbanas, Nyoman Moena, belum melihat tanda-tanda perlunya bunga deposito rupiah dinaikkan. Apalagi keadaan di Wall Street dan pusat-pusat saham lain sudah berangsur membaik, setelah ada pertemuan antara Menteri Keuangan Amerika dan Menteri Keuangan Jerman Barat, yang disertai gubernur bank sentral masing-masing. Tapi, melihat jatuhnya harga saham itu karena permainan para spekulan, harga yang membaik pekan ini pun banyak yang menganggapnya hanya bersifat sementara. Meski jangan cemas berlebihan, seperti kata Barli Halim, waspada itu perlu. Suhardjo Hs., Budi Kusumah, Yopie H. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini