Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah melarang thrifting atau penjualan baju bekas impor.
Pelarangan yang percuma karena bisnis baju bekas selalu ada dari zaman ke zaman karena ada permintaan dan penawaran.
Thrifting menekan produksi emisi mencegah krisis iklim.
MERENGEK-RENGEK kepada pemerintah agar impor pakaian bekas ditebas habis adalah perbuatan percuma. Sudah lama terbit pelbagai peraturan yang melarang, tapi pakaian bekas dari luar negeri terus saja membanjiri pasar Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah menggelar razia besar-besaran pakaian bekas impor sejak dua pekan lalu. Langkah itu dilakukan setelah Presiden Joko Widodo berpidato mengecam kebiasaan membeli pakaian bekas impor atau yang sering disebut thrifting mengganggu industri tekstil dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tudingan Presiden itu jelas salah sasaran. Bukan baju bekas yang menggerogoti industri tekstil dan garmen dalam negeri, melainkan inefisiensi, seperti biaya modal yang mahal, ketinggalan teknologi dan mode, serta impor tekstil dan garmen.
Daripada timbul-tenggelam melarang sandang seken impor, lebih baik pemerintah menunggangi perkembangan gaya hidup thrifting alias hemat yang sedang menjangkiti anak-anak muda kita. Laku thrifting dalam bentuk konsumsi pakaian bekas impor dapat digeser ke pakaian bekas dalam negeri.
Pergeseran ini bisa membunuh dua masalah sekaligus. Pertama, banyaknya pakaian bekas impor yang berpotensi membawa penyakit dan sampah. Dalam satu bal pakaian bekas impor, setidaknya sepertiga masuk kategori tak layak pakai dan berakhir menjadi sampah.
Sampah dari produk sandang telah menjadi masalah besar bagi industri mode. Dalam proses produksi saja, industri ini telah menghasilkan 10 persen emisi karbon global per tahun, lebih besar dari emisi industri penerbangan dan maritim. Sebagai gambaran, satu produk garmen baru menghasilkan 8 kilogram karbon dioksida. Bayangkan, ada 100 miliar produk garmen baru yang diproduksi saban tahun di seluruh dunia. Ketika sudah tak layak pakai, ia menjadi sampah. Dobel daya rusaknya terhadap bumi.
Masalah kedua yang bisa diselesaikan adalah pendeknya usia pakai sandang kita. Pakaian sebetulnya berumur panjang, hanya selera konsumen yang pendek. Selera umumnya dibentuk tren terbaru, baik yang dibuat oleh produsen maupun nafsu kita sendiri.
Laku hemat berpakaian juga seirama dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan nomor 12: menjamin pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. Sebetulnya produsen mode yang ketiban tanggung jawab melaksanakan prinsip tersebut. Mereka semestinya memproduksi sandang dari bahan daur ulang atau mudah terurai.
Namun produsen tak pernah sadar. Di mata produsen, yang nomor satu adalah efisiensi. Ujungnya laba sebesar-besarnya. Itu sebabnya serat sintetis yang lebih murah dan tak ramah lingkungan, seperti poliester, dry fit, parasut, nilon, spandeks, dan rayon, masih banyak dipakai sebagai bahan baku pakaian.
Baca liputan:
Jika produsen bebal, sudah semestinya konsumen turun tangan mengubah pasar. Caranya: menjadikan pakaian bekas layak pakai produksi dalam negeri sebagai barang konsumsi kelas satu. Ia bisa menghemat kantong sekaligus menyelamatkan bumi.
Kendati demikian, laku thrifting punya sisi lain. Ia berlawanan dengan prinsip pertumbuhan ekonomi, keuntungan, pembukaan lapangan kerja, dan sejenisnya. Masalahnya, untuk menyelamatkan bumi, pilihan dan daya tawar kita tidak banyak. Manusia yang memaksa terus tumbuh atau bumi yang menyerah. Harus ada jalan tengah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo