KARTASURA, menjelang pertengahan abad ke-17. Sebuah
iring-iringan pengantin bangsawan lewat sore itu. Tapi bila para
wanita yang menonton di tepi jalan pada berbisik atau mendesah,
itu bukanlah karena keindahan prosesi. Sesuatu yang lain memukau
mereka: di depan iringan itu, di atas kuda yang ranggi, seorang
pemuda tegak, rupawan ....
Syahdan. Di antara penonton itu diam-diam menyeliplah putera
mahkota, Pangeran Adipati Anom. Laki-laki gemuk yang berkaki
cacat ini bagai tersengat. Ia bertanya kepada salah seorang
pengiringnya, siapa gerangan Si pemuda tampan itu.
"Dia adalah Raden Sukra, tuanku. Putera Raden Adipati Sindu
Reja."
Zaman memang aneh, dan nasib memang buruk. Malam itu putera
mahkota menyuruh agar Sukra dipanggil. "Suruh dia menghadapku,
dan ikat tangannya." Dan malam itu, di hadapan putera mahkota,
Sukra pun disiksa. Ia beramai-ramai dipukuli oleh para prajurit.
Setelah itu: ke dalam matanya dimasukkan semut hitam.
Mata itu berdarah. Anak muda itu pingsan. Tubuhnya diusung,
ditaruhkan di tengah jalan besar, untuk kemudian ditemukan dan
dibawa pulang oleh para abdi Sindu Reja.
Si bapak, bangsawan tua itu, menangis. Untuk beberapa saat darah
menggelegak di dalam diri Raden Adipati Sindu Reja, buat
menuntut balas. Tapi bukankah dia cuma abdi raja? Teringat akan
hal ini, marahnya segera lilih.
Tapi hati Sukra tidak lilih. Seminggu setelah kejadian itu, ia
sehat kembali-dengan dendam. Ia bertekad untuk menghadapi putera
mahkota di mana saja. Ia mengumpulkan 70 prajurit Bugis pilihan,
yang akan ia ajak mengamuk. Ia kini tinggal mencari alasan.
Alasan pun kemudian datang dalam kisah tragis yang diungkapkan
kembali dalam Babad Tanab Jawi ini. Alasan itu datang dalam
bentuk seorang perempuan: isteri pertama sang putera mahkota.
Wanita muda itu bernama Lembah. Ia puteri Patih kerajaan,
Pangeran Puger. Ia dipersunting oleh sang putera mahkota, tapi
disia-siakan: Pangeran Adipati Anom kemudian lebih asyik dengan
perempuan baru. Sakit hati, Lembah pun pulang ke rumah ayahnya.
Tiap sore ia duduk di panggung petamanan, dan sebagaimana nampak
dari Jalanan, wajahnya murung.
Sukra tahu hal ini. Segera pula ia bermaksud menggoda sang raden
ayu, untuk memancing suatu bentrokan dengan putera mahkota. Maka
suatu sore ia pun menaiki kudanya yang putih, Nirwati, yang
telah disuruhnya bersihkan hingga mengkilap dan telah disuruhnya
hiasi dengan beledu hijau hingga memikat. Ia sendiri berpakaian
sebagus-bagusnya. Bolak-balik di bawah panggung petamanan istana
kepugeran itu, wajahnya yang tampan mencari pandang ke tempat
sang puteri. Tak lama kemudian, pertemuan pandang pun terjadi
....
Tapi apa yang dilihat Sukra ternyata mengubah maksudnya --
meskipun tak mengubah nasibnya. Wanita itu menyentakkan hatinya.
Di luar niatnya terdahulu, ia jatuh cinta kepada Lembah. Dan
Lembah, dalam kesedihannya, tak urung berbahagia menerima surat
dan isyarat lelaki di atas kuda putih itu ....
Kita tak tahu persis detail dari affair ini selanjutnya. Yang
jelas, Pangeran Adipati Anom pun mendengarnya. Tentu saja dengan
rasa tersinggung -- meskipun mungkin karena sekedar soal gengsi.
Ayah Lembah, Pangeran Puger pun, didesak buat ambil tindakan.
Dan tindakan memang tak tanggung-tanggung diambil oleh Patih
yang sangat loyal ini: ia menyuruh agar puterinya sendiri
dibunuh.
Dan Raja yang kaget mendengar semua kejadian ini pun mengambil
keputusan. Tapi baginda bukan menegur Pangeran Puger, bukan pula
mengoreksi Putera Mahkota, melainkan mengirimkan pasukan buat
menangkap Sukra, agar dihukum mati.
Akhir hidup Sukra yang muda pun tak tercegah. Setelah terbujuk
untuk menyerah dan diminumi racun, tapi belum mati, lehernya pun
diinjak dan dipatahkan oleh pamannya sendiri, seorang pengabdi
Raja.
Di Kartasura, menjelang pertengahan abad ke-17, bukannya tak ada
kemarahan terhadap kesewenang-wenangan. Tapi waktu itu tak ada
sistim, untuk memperdengarkan yang adil dan yang benar. Dan
Sukra yang marah, kemudian jadi bisu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini