MELETUSNYA "Gerakan 30 September" 13 tahun lalu, penculikan dan
pembantaian 7 jenderal dan kisah penumpasan pemberontakan PKI
itu, sudah banyak dituiis dan sering diceritakan. Salah satu
pelaku penting jam-jam itu ialah Komandan RPKAD yang ketika itu
Kol. Sarwo Edhie Wibowo. Pekan lalu Susanto Pudjomartono dan
Budiman S. Hartoyo mewawancarai Sarwo Edhie, kini Irjen Deplu
berpangkat Letjen. Beberapa petikan penting:
Oktober 1965 pagi saya dipanggil oleh Pak Harto untuk menghadap
ke Kostrad. Yang diutus menemui saya adalah Letkol. Herman
Sarens Sudiro. Ia membawa secarik kertas. Bunyinya: "Keadaan
sangat gawat, pasukan supaya dikonsinyir. Dan lekas temui saya
di Kostrad." Ketika itu, sebelumnya, saya sudah mengirim
beberapa perwira ke Kostrad. Ketika itu kita sedang mendengarkan
RRI dan menganalisa.
Tapi karena Herman Sarens berpakaian lengkap, pakai topi baja,
naik kendaraan lapis baja, siap tempur, saya curiga, sebab dia
katakan sudah beberapa hari pakai itu. Surat dari Pak Harto
jelas, tapi keadaan Pak Harto bagaimana, apakah ditodong lalu
baru menulis surat itu menyampaikan perintah? Kalau dia
ditodong, saya ikut Herman Sarens kan saya masuk perangkap? Saya
minta pertimbangan kepada para perwira, apa saya berangkat.
Mereka mengatakan jangan. Sebab kalau ditangkap, nanti siapa
yang memimpin.
Lalu Herman Sarens saya lucuti. Dia kebingungan. Kemudian
datanglah 8 perwira-perwira yang saya kirim ke Kostrad pagi-pagi
hari, beberapa saat setelah mendengarkan siaran RRI. Mereka
tidak hanya terdiri dari RPKAD saja, tapi semua perwira di
Cijantung II. Karena tak ada yang dianggap tertua, maka mereka
datang kepada saya, yang punya pasukan, "bagaimana baiknya".
Sebelumnya datang Mayor Subardi, ajudan Pak Yani, pagi-pagi,
menangis menceritakan kejadian di rumah Pak Yani. Ia minta agar
saya mencari Pak Yani. Malah diminta datang ke rumah Pak Yani.
Saya tahu betapa bingungnya keluarga Pak Yani. Tapi dari segi
militer, coba pikir dari sejak kejadian sampai datangnya Mayor
Bardi sudah berapa lama? Tentu si penculik sudah jauh. Jadi
gunanya apa?
Makin siang makin banyak yang berkumpul di rumah saya.
Mendengarkan siaran Dewan Revolusi. Lalu ada salah seorang di
antara kami yang berkata, "ini jelas kudeta". Sebab coba
dengarkan, dalam susunan DR itu tidak disebut Kepala Negara.
Maka semua perwira di Cijantung saya konsinyir, tak boleh
keluar, walaupun itu bukan kesatuan saya. Lalu saya kirim
beberapa orang ke kota menghubungi kesatuan macam-macam. Ada
yang ke SUAD, ada yang ke Kodam. Ada yang ke Kostrad, ke Istana.
Lalu saya siapkan pasukan. Ketika tulah datang Herman Sarens.
Waktu itu perkiraan saya, sesudah Pak Yani, mestinya yang ambil
pimpinan komando adalah Deputy-Deputy yang ada di SUAD. Deputy
operasi, yaitu Pak Mursid. Saya minta petunjuk Pak Mursid Waktu
Herman Sarens saya tahan, datanglah utusan saya yang menemui Pak
Mursid. Pesan Pak Mursid Untuk sementara, memang benar, bahwa
pimpinan AD dipegang oleh Pak Harto. Karena itu diminta agar
RPKAD menghubungi Kostrad. Oke kalau begitu. Senjata saya
kasihkan lagi pada Herman Sarens dan saya ikut dengan pansernya
ke Kostrad.
Seluruh pasukan yang ada di Cijantung baik staf maupun pasukan
saya kumpulkan di lapangan. Instruksi bergerak nanti setelah
saya dari Kostrad. Sebelum itu hanya konsinyir dan pembagian
senjata saja. Belum ada instruksi apa dan bagaimana, ke mana.
Waktu itu pasukan kita tidak lengkap. Sebagian besar di
Kalimantan, barangkali lebih dari separo.
Siang itu jelas semuanya, jelas ada kup. Tapi belum jelas mana
kawan dan lawan. Pada saat itu saya masih merabaraba, siapa
sesungguhnya yang di belakang ini semua. Karena PKI pernah
ditumpas di tahun 1948, apa mereka berani lagi?
Kami siapkan pasukan apa adanya. Banyak anak-anak yang belum
dilatih komando. Supaya image pasukan jadi besar, ada efek
psikologis, baret merah dan loreng di gudang dibagikan, meskipun
ini sebenarnya belum berhak dipakai. Tapi dengan ketentuan:
selesai operasi, mereka bisa menjadi komando setelah ikuti
latihan.
Truk yang jalan ada 4. Maka semua truk Jakarta-Bogor distop,
dimiliterisir. Tak boleh ada protes. Sopir silakan pergi,
penumpang kalau mau ikut silakan naik. Isi masing-masing 10 atau
12 orang, berdiri pakai baret. Tekad: membela yang benar dan
menghantam mereka yang kudeta merubah dasar negara kita dengan
kekerasan.
1 Oktober malam. Setelah siangnya RPKAD berhasil membebaskan
gedung Telkom dan RRI, Sarwo dipanggil lagi supaya bersiap-siap,
kalau-kalau perlu menduduki Lanuma Halim Perdanakusumah. Tapi
setelah jam 24 tengah malam belum ada keputusan, ia nyelonong
masuk. Pak Harto tampak mondar-mandir, sebentar-sebentar
berhenti. Jenderal Nasution, ketika itu Menko Hankam, duduk di
sebuah kursi. Sebelah kakinya yang luka karena jatuh meloncat
diletakkan di atas meja.
"Ini bagaimana, pak. Kita jadi ke Halim apa tidak? Kalau jadi
harus bergerak sebelum fajar," ujar Sarwo. "Jij mau bikin
semacam Mapanget kedua ya?" tukas Nasution. Tahun 1957, Sarwo
pernah membebaskan lapangan udara Mapanget di Manado, dengan
pendadakan total, yang ketika itu dikuasai oleh Permesta. "Siap.
Begitulah kira-kura, Jenderal," jawab Sarwo. Mayjen Soeharto
berhenti mondar-mandir dan kasih perintah: "Yak, laksanakan!".
Hampir dini hari 2 Oktober 1965, anak-buah Sarwo terpaksa makan
nasi bungkus di atas kendaraan. Sampai di Klender mereka turun
lantas berlari menuju Halim. Ketika sebagian pasukan sudah masuk
dan mencapai sasaran, Sarwo menyusul naik truk. Tapi ia
ditembaki pasukan Raiders divisi Diponegoro. "Panser yang
mengawal saya juga ditembak dengan bazooka," tuturnya.
Ia tiarap lalu memerintahkan seorang prajuritnya melambaikan
baret sebagai tanda agar jangan menembak. "Tapi anak itu malah
ditembak," sambungnya. Mayor C.l. Santosa, yang ketika itu
memimpin pasukan RPKD -- kini Pangdam Cendrawasih Irian Jaya
berpangkat Kolonel -- minta agar Sarwo menyingkir ke Posko di
Pondok Gede supaya lebih aman.
"C.I. juga bilang bahwa prajurit itu cuma kena tembak saja.
Belakangan saya ketahui bahwa ia gugur. Andaikata hal itu saya
ketahui sejak semula, pasti saya marah sekali dan saya
perintahkan untuk membalas. Rupanya C.I. berusaha
merahasiakannya pada saya," kata Sarwo lagi. Sampai di posko
bertemu dengan beberapa Pati AURI.
Mereka diminta tidak meninggalkan tempat. Demikian pula Laksda
Srimulyono Herlambang yang akan memenuhi undangan sidang kabinet
di Istana Bogor. Tak berapa lama ada laporan bahwa Soeharto juga
diundang ke Bogor. "Saya berpikir terlalu cepat: sebelum Pak
Harto bicara dengan Bung Karno, saya wajib melapor dulu secepat
mungkin," kata Sarwo.
Bersama Srimulyono, ia ke Bogor dengan heli. Tapi tak diijinkan
mendarat di kompleks Istana, dipersilakan turun di Semplak.
Sarwo curiga, jangan-jangan ini jebakan. Tapi Semplak tampak
tenang-tenang saja. Mereka mendarat dengan selamat. "Saya kira
jij tadi mau main kayu," katanya kepada Srimulyono.
Di Istana, Sarwo melihat seorang lelaki tua berpakaian piyama
biru muda keluar. Setelah dekat dan omong-omong, baru ia tahu
bahwa itu adalah Bung Karno. "Habis kalau tak pakai peci dan
pakaian lengkap kan kelihatan tua sekali," kata Sarwo. "Bung
Karno bertanya apa tujuan saya menduduki Halim," tutur Sarwo
lagi.
"Sarwo Edhie, ini semua kan biasa dalam revolusi," kata Bung
Karno yang lalu menyebut beberapa nama, antara lain Beria, yang
ditangkap dan diadili oleh revolusi Rusia. Pikir Sarwo kita
sedang mencari para jenderal yang diculik, kok Bung Karno
berkata begitu. "Jadi ia menganggap hal itu sepele saja. Saya
kecewa sekali ketika itu. Tapi saya tak mungkin berbuat yang
aneh-aneh. Beliau ketika itu kan masih Presiden," tutur Sarwo
seterusnya.
3 Oktober 1965, pagi. Dari keterangan seorang anggota Polantas
yang sempat melarikan diri dari tawanan di Lubang Buaya
diketahui ada pembantaian para jenderal di sana. Di sebuah
sumur, meski ia tak pasti sumur yang mana. Di Lubang Buaya,
Sarwo dan anakbuah hanya menemukan dataran tanah keras yang
berpasir.
Sumur yang dimaksud tidak ketemu. "Memang ada sumur satu dua
tapi kosong, airnya cuma sedikit," kata Sarwo. Anak-buahnya
mencari terus, kali ini dengan mencocok-cocokkan bayonet seperti
melacak ranjau. Jam 15 sore ditemukan tanah yang agak empuk.
Lalu digali dengan tangan. Pada kedalaman 1 meter ditemukan pita
merah-kuning yang dipakai oleh pasukan Pemuda Rakyat. Lalu ada
daun pembungkus nasi yang masih segar. Lalu sebuah kaki manusia
. . .
Sudah jam 11 malam ketika tiba Kol. Saelan, ajudan Presiden
menyampaikan pesan agar penggalian diteruskan. Tapi Sarwo justru
menyetopnya. "Saya harus lapor dulu kepada Pak Harto. Kalau saya
teruskan, padahal tak ada saksi, nanti dikira saya hanya
mengarang-ngarang saja," lanjut Sarwo. Esoknya, karena anggota
RPKAD tak tahan bau mayat yang luar biasa mereka minta bantuan
anggota pasukan Katak KKo.
"Hal itu juga dimaksud agar ada kesan bahwa KKo mendukung
gerakan kita, hingga kesatuan-kesatuan yang lain tidak
ragu-ragu," kata Sarwo. Tapi pada penggalian kedua sampai siang
itu Sarwo tidak hadir di sana. Ia mendapat undangan sidang
Kabinet di Bogor. Ia sengaja datang terlambat 3/4 jam, "untuk
mengetahui bagaimana reaksi mereka atas kedatangan saya."
Dari jauh Bung Karno sudah berteriak: "Sarwo Edhie, sini!".
Sebuah kursi disediakan khusus untuknya, persis di sebelah kanan
agak di belakang Bung Karno hingga kursi Waperdam I Dr.
Subandrio tergeser sedikit. "Kalau saya melihat ke depan, saya
merasa Bandrio memperhatikan saya dari atas sampai bawah. Tapi
begitu saya menoleh, dia kaget dan memperbaiki sikapnya. Begitu
sampai dua kali. Ini terjadi betulbetul," katanya.
"Saya juga melihat Menpangau ketika itu, Omar Dhani, tampak
pucat, lelah sekali. Matanya berkedip-kedip terus. Lalu ia
menyalami saya. Tapi dalam hati saya menduga-duga, bagaimana
sebenarnya isi hatinya," sambung Sarwo. Pidato Subandrio yang
juga menyinggung penculikan dan pembantaian para jenderal,
menurut Sarwo, ketika itu juga amat dramatis. "Pakai mencucurkan
air-mata segala," kata Sarwo.
Di saat itu pula, Bung Karno sekali lagi mengulang kata-kata
yang pernah diucapkannya kepada Sarwo dua hari sebelumnya: "ini
hanyalah satu riak kecil dalam gelombang lautan revolusi yang
maha dahsyat." Waktu makan siang, Bung Karno sekali lagi
memanggil Sarwo. Sebuah baki berisi kue-kue yang belum selesai
dimakan, antara lain corobikan, diberikan kepadanya. "Tapi
ketika Bung Karno berlalu, baki itu saya letakkan dan saya makan
kue yang lain," kata Sarwo tertawa.
Suatu malam di Cijantung Sarwo dipanggil Soeharto ke Kostrad.
Ada informasi bahwa D N. Aidit, Sekjen CC PKI, berada di Ybgya
dan berusaha melarikan diri ke luar negeri. Sarwo membaca
informasi itu. Bahwa di lapangan udara Meguwo, Yogya, akan ada
sebuah heli yang parkir menghadap ke sebuah arah, akan terbang
sekian derajat. Di satu titik akan belok ke laut kemudian
mendarat di sebuah kapal selam.
Karena info itu terlalu lengkap, Sarwo tidak yakin. Bagaimana
pun, ia terbang dengan pesawat Mentor ke Jawa Tengah. Pasukan
disebar dengan tergesa sebab menurut info, Aidit akan melarikan
diri esok harinya. Sampai siang ternyata tak terjadi apa-apa.
"Memang ada heli di Meguwo, parkir di sana dan diselimuti tenda.
Tapi tak ada seorang pun yang membukanya sebab itu heli rusak,"
cerita Sarwo lagi tertawa. "Katanya juga ada persiapan di desa
Brosot, nyatanya juga tak ada apaapa Itu kan hanya untuk
mengalihkan perhatian saja," katanya.
Akhir Nopember 1965, ketika D.N. Aidit, Ketua CC PKI, tertangkap
di Kampung Sambeng, Sala, Sarwo sudah tidak lagi menguasai
daerah itu. Ia sudah menyerahkannya kepada Kol. Jasir Hadibroto,
kini Gubernur Lampung berpangkat Mayjen. Tapi ia membenarkan
bahwa sebelum ditembak mati, Aidit sempat diminta menuliskan
pengakuan sampai sepanjang 50 folio.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini