DRAMA penyanderaan dua orang perwira militer dan dua orang
pemuka agama Irian Jaya yang dimulai 16 Mei lalu telah berakhir.
Dua sandera terakhir -- Pendeta W. Maloali, Ketua DPRD Irian
Jaya dan Pastor A. Ombos OFM Kepala Pusroh Katolik Kodam
XVII/Cenderawasih -- telah dibebaskan 7 September lalu.
Sebelumnya, 1 Juli lalu, Kol. Ismail, Danrem 172 telah di
bebaskan oleh gerombolan Martin Tabu Kemudian menyusul Letkol
Fajar ,Ad miral, Assisten Intel Kodam XVII yang dibebaskan 30
Agustus, menjelang kunjungan Menhankam Jenderal Jusuf ke
Jayapura.
Muncul dalam konperensi pers bersama Pater Ombos di ruang
kerjanya, 15 September lalu, pipi Ketua DPRD itu tampak tambah
gemuk. Namun Maloali 45 tahun, tak urung menjelaskan: "Ini bukan
gemuk sehat. Selama di hutan kami tak mendapatkan makanan
bergizi. Baru setelah akan dibebaskan, dan kemudian selama
dirawat Kodam kami mendapat pil-pil vitamin pemulih tenaga
kami." Maloali dan Ombos pernah jatuh sakit selama di hutan.
Sedang Admiral, ketika akan dibebaskan sudah begitu sakit
sehingga tak mampu berjalan lagi. Terpaksa dia digotong seharian
penuh menuju tempat pendaratan helikopter.
Kisah penyanderaan ini diawali dengan datangnya surat Martin
Tabu, anak Kepala Suku Tabu dari Kampung Aurina di Kecamatan
Lereh, Kabupaten Jayapura, Januari lalu. Surat yang ditujukan
kepada Danrem 172, Ketua DPRD Irja, Gubernur dan Pangdam XVII
menyatakan niatnya mau menyerah bersama seluruh sukunya kepada
Pemerintah RI. Namun dia tak mau serta merta turun gunung. Malah
minta bantuan untuk dimukimkan kembali dalam perkampungan
permanen di wilayah adatnya sendiri. Surat pertama ini kemudian
disusul dengan diutusnya Markus Sam, seorang anak buah Martin
yang juga bekas anggota OPM ke Jayapura. Markus membawa surat
Martin yang melaporkan bahwa ada 27 orang bekas anggota OPM mau
menyerah lagi di Aurina, tapi minta diterima langsung oleh
Muspida Ir-Ja dan Danrem 172.
Tanpa syak wasangka, Maloali, Om bos, dan kedua perwira TNI/AD
itu terbang dari Sentani dengan helikopter menuju Aurina. Turut
dalam rombongar heli itu Markus Sam, dan Frans Leo, seorang
pedagang kulit buaya yang sudah lama berusaha membujuk Martin
Tabu untuk turun gunung. Setibanya di Kampung Tua, Aurina,
rombongan heli itu mula-mula disambut oleh massa rakyat berkaos
oblong dengan tanda gambar Payung Golkar. Tahu-tahu, menurut
cerita Maloali, ada di antaranya mereka yang sudah berganti
pakaian dengan seragam Pasukan 'Republik Papua Barat'. Ada juga
yang menyandang senjata.
Masih Nomad
Adapun para perwira dan rohaniawan Ir-Ja yang disandera itu
(Frans Leo dibebaskan setelah 11 hari, untuk menyampaikan pesan
Martin Tabu kepada Kodam dan keluarga sandera) segera diajak
jalan kaki naik-turun gunung meninggalkan Aurina. Mereka dipisah
dalam beberapa kelompok. Pada hari-hari pertama, Maloali, Ombos
dan Admiral dihadapkan kepada salah seorang pimpinan OPM, Otto
Ondoame, seorang Sarjana Muda lulusan Universitas Cenderawasih.
Menurut penuturannya, Maloali memperingatkan Ondoame, bahwa
"Republik ini tak akan pernah menyerah kepada gerombolan."
Makanya, "jangan bermain api dengan republik ini."
Sepanjang hari, mereka dipaksa berjalan terus. Tanpa alas kaki,
menyusuri hutan belukar penuh lintah, tanpa melihat sinar
matahari. Mereka baru berhenti kalau bertemu pohon sagu. Sumber
zat tepung itu harus mereka tebang sendiri, isi batangnya
ditokok, diremas-remas, lalu dimasak dan dimakan. Hanya pakaian
yang melekat di badan itu lah yang dipakai selama empat bulan di
hutan, dan itupun harus mereka cuci sendiri. Pokoknya, "kalau
dilihat dari status kami di kota, memang karni dihina sekali,"
tutur Maloali. Namun bagi sang pendeta, penderitaan itu ada juga
hikmahnya. "Selama empat bulan di hutan, saya melihat sendiri
nasib rakyat yang masih nomad, yang perlu sekali mendapat
perhatian serius dari pemerintah," katanya datar.
Tapi sementara keluarga Maloali bersyukur atas kembalinya ayah
dari empat orang anak itu, dari Jayapura terbetik berita lagi
bahwa seorang anggota DPRD Jayapura, J.P. Amo, sejak 21
September lalu belum kembali dari turne ke daerah perbatasan,
juga dekat Aurina. Bersama Camat setempat dan petugas Koramil,
Johanes Amo yang juga mewakili Fraksi Karya bermaksud membujuk
para pengungsi Ir-Ja yang menyeberangi perbatasan agar kembali
saja ke kampung halaman mereka yang sudah aman.
Sampai minggu lalu, belum ada kabar yang pasti tentang nasib
yang menimpa anggota DPRD, Camat, dan petugas Koramil itu.
Padahal Amo ditunggu-tunggu oleh kawan-kawannya di Jayapura yang
akan mengadakan muhibah 'studi perbandingan' ke Kalimantan
Barat. Terpaksa tiket pesawat buat Ama ditinggalkan saja dengan
harapan dia segera menyusul. Mudah-mudahan saja tragedi Maloali
dkk tak akan berulang kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini