Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Maloali Kembali. Amo Belum Pulang

Drama penyanderaan 2 orang perwira militer dan 2 orang pemuka agama oleh "gerombolan martin tabu" di Irian Jaya, berakhir. seorang anggota dprd jayapura belum kembali dari turne di perbatasan. (nas)

7 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DRAMA penyanderaan dua orang perwira militer dan dua orang pemuka agama Irian Jaya yang dimulai 16 Mei lalu telah berakhir. Dua sandera terakhir -- Pendeta W. Maloali, Ketua DPRD Irian Jaya dan Pastor A. Ombos OFM Kepala Pusroh Katolik Kodam XVII/Cenderawasih -- telah dibebaskan 7 September lalu. Sebelumnya, 1 Juli lalu, Kol. Ismail, Danrem 172 telah di bebaskan oleh gerombolan Martin Tabu Kemudian menyusul Letkol Fajar ,Ad miral, Assisten Intel Kodam XVII yang dibebaskan 30 Agustus, menjelang kunjungan Menhankam Jenderal Jusuf ke Jayapura. Muncul dalam konperensi pers bersama Pater Ombos di ruang kerjanya, 15 September lalu, pipi Ketua DPRD itu tampak tambah gemuk. Namun Maloali 45 tahun, tak urung menjelaskan: "Ini bukan gemuk sehat. Selama di hutan kami tak mendapatkan makanan bergizi. Baru setelah akan dibebaskan, dan kemudian selama dirawat Kodam kami mendapat pil-pil vitamin pemulih tenaga kami." Maloali dan Ombos pernah jatuh sakit selama di hutan. Sedang Admiral, ketika akan dibebaskan sudah begitu sakit sehingga tak mampu berjalan lagi. Terpaksa dia digotong seharian penuh menuju tempat pendaratan helikopter. Kisah penyanderaan ini diawali dengan datangnya surat Martin Tabu, anak Kepala Suku Tabu dari Kampung Aurina di Kecamatan Lereh, Kabupaten Jayapura, Januari lalu. Surat yang ditujukan kepada Danrem 172, Ketua DPRD Irja, Gubernur dan Pangdam XVII menyatakan niatnya mau menyerah bersama seluruh sukunya kepada Pemerintah RI. Namun dia tak mau serta merta turun gunung. Malah minta bantuan untuk dimukimkan kembali dalam perkampungan permanen di wilayah adatnya sendiri. Surat pertama ini kemudian disusul dengan diutusnya Markus Sam, seorang anak buah Martin yang juga bekas anggota OPM ke Jayapura. Markus membawa surat Martin yang melaporkan bahwa ada 27 orang bekas anggota OPM mau menyerah lagi di Aurina, tapi minta diterima langsung oleh Muspida Ir-Ja dan Danrem 172. Tanpa syak wasangka, Maloali, Om bos, dan kedua perwira TNI/AD itu terbang dari Sentani dengan helikopter menuju Aurina. Turut dalam rombongar heli itu Markus Sam, dan Frans Leo, seorang pedagang kulit buaya yang sudah lama berusaha membujuk Martin Tabu untuk turun gunung. Setibanya di Kampung Tua, Aurina, rombongan heli itu mula-mula disambut oleh massa rakyat berkaos oblong dengan tanda gambar Payung Golkar. Tahu-tahu, menurut cerita Maloali, ada di antaranya mereka yang sudah berganti pakaian dengan seragam Pasukan 'Republik Papua Barat'. Ada juga yang menyandang senjata. Masih Nomad Adapun para perwira dan rohaniawan Ir-Ja yang disandera itu (Frans Leo dibebaskan setelah 11 hari, untuk menyampaikan pesan Martin Tabu kepada Kodam dan keluarga sandera) segera diajak jalan kaki naik-turun gunung meninggalkan Aurina. Mereka dipisah dalam beberapa kelompok. Pada hari-hari pertama, Maloali, Ombos dan Admiral dihadapkan kepada salah seorang pimpinan OPM, Otto Ondoame, seorang Sarjana Muda lulusan Universitas Cenderawasih. Menurut penuturannya, Maloali memperingatkan Ondoame, bahwa "Republik ini tak akan pernah menyerah kepada gerombolan." Makanya, "jangan bermain api dengan republik ini." Sepanjang hari, mereka dipaksa berjalan terus. Tanpa alas kaki, menyusuri hutan belukar penuh lintah, tanpa melihat sinar matahari. Mereka baru berhenti kalau bertemu pohon sagu. Sumber zat tepung itu harus mereka tebang sendiri, isi batangnya ditokok, diremas-remas, lalu dimasak dan dimakan. Hanya pakaian yang melekat di badan itu lah yang dipakai selama empat bulan di hutan, dan itupun harus mereka cuci sendiri. Pokoknya, "kalau dilihat dari status kami di kota, memang karni dihina sekali," tutur Maloali. Namun bagi sang pendeta, penderitaan itu ada juga hikmahnya. "Selama empat bulan di hutan, saya melihat sendiri nasib rakyat yang masih nomad, yang perlu sekali mendapat perhatian serius dari pemerintah," katanya datar. Tapi sementara keluarga Maloali bersyukur atas kembalinya ayah dari empat orang anak itu, dari Jayapura terbetik berita lagi bahwa seorang anggota DPRD Jayapura, J.P. Amo, sejak 21 September lalu belum kembali dari turne ke daerah perbatasan, juga dekat Aurina. Bersama Camat setempat dan petugas Koramil, Johanes Amo yang juga mewakili Fraksi Karya bermaksud membujuk para pengungsi Ir-Ja yang menyeberangi perbatasan agar kembali saja ke kampung halaman mereka yang sudah aman. Sampai minggu lalu, belum ada kabar yang pasti tentang nasib yang menimpa anggota DPRD, Camat, dan petugas Koramil itu. Padahal Amo ditunggu-tunggu oleh kawan-kawannya di Jayapura yang akan mengadakan muhibah 'studi perbandingan' ke Kalimantan Barat. Terpaksa tiket pesawat buat Ama ditinggalkan saja dengan harapan dia segera menyusul. Mudah-mudahan saja tragedi Maloali dkk tak akan berulang kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus