Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tidak Mampu atau Tidak Mau?

Banyak pengusaha yang tidak membayar cicilan utangnya tapi masih tetap hidup mewah, bahkan menyumbang ke pejabat. Perlu dihidupkan lembaga sandera?

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHWA krisis moneter menyebabkan banyak pengusaha tak mampu lagi membayar utangnya adalah hal yang biasa. Tapi, jika ada pengusaha yang tidak membayar cicilan utangnya ternyata masih mampu menyetor ratusan juta rupiah ke rekening pribadi pejabat pemerintah, tentu ada yang luar biasa. Itu membuktikan hal yang selama ini sudah diduga banyak orang. Banyak konglomerat yang kreditnya macet bukanlah karena mereka tak mampu membayar, melainkan karena tak mau membayar. The Ning King, misalnya, ternyata masih mampu menyumbang Rp 200 juta, dan seorang Prajogo Pangestu juga diberitakan menyetor Rp 250 juta ke rekening Jaksa Agung di Bank Lippo. Padahal, kedua konglomerat ini termasuk dalam daftar pengusaha yang sudah lebih dari sembilan bulan tidak lagi membayar utangnya ke bank. Artinya, mereka harus berhadapan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga pemerintah yang antara lain bertugas menyelamatkan dana publik yang dipinjamkan ke bank-bank pemberi kredit macet tersebut, yang dilaporkan jumlahnya sudah mencapai Rp107 triliun itu. Ini jumlah yang besar. Bila dibagi rata ke setiap keluarga di Indonesia, setiap keluarga akan memperoleh lebih dari Rp 2,5 juta. Sayangnya, hanya gara-gara ulah sejumlah pejabat dan aparat, yang terjadi justru sebaliknya. Setiap keluarga akan terbebani utang Rp 2,5 juta demi menunjang kehidupan mewah sejumlah kecil konglomerat dan aparat korup tersebut. Persoalannya, bagaimana menagih utang itu? BPPN mengajukan usul agar para pengutang itu dipilah dulu dalam empat kelompok. Kelompok bisnis yang prospeknya cerah dan punya integritas akan dibantu untuk menjadwal-ulangkan utangnya hingga mampu lagi membayar cicilan. Kelompok yang prospeknya tidak cerah tapi integritasnya baik juga akan dibantu untuk menyelesaikan utangnya melalui negosiasi dengan pemberi kredit, seperti kesepakatan Inisiatif Jakarta. Sedangkan dua kelompok terakhir, yaitu yang prospeknya baik atau tidak, tapi integritasnya payah, diproses secara hukum. Ini menuntut prasyarat yang kelihatannya sulit dipenuhi di Indonesia, yaitu institusi yang mempunyai kemampuan dan integritas tinggi dalam menentukan pengelompokan ini serta sistem hukum yang kebal suap. Walhasil, perlu dipikirkan solusi yang lebih tepat kondisi. Salah satunya, mungkin, adalah yang pernah ditempuh hakim (ketika itu) Bismar Siregar pada 1974, dengan menerapkan lembaga sandera (gijzeling) kepada mereka. Ini berarti BPPN dipersilakan menggugat secara perdata kepada para pengutang itu. Bila tetap tak mau membayar, mereka dipenjara. Jurus ini boleh jadi akan semanjur pil Viagra. Mereka yang tadinya tak mampu tiba-tiba menjadi perkasa dalam mencicil utangnya. Kekhawatiran bahwa sidang perdata akan dimanipulasi akan dinafikan oleh iklim pers yang saat ini merdeka. Juga iklim pasar yang terbuka akan menolong pengusaha yang memang bisnisnya cerah dan punya integritas untuk mencapai kesepakatan dengan krediturnya. Yang penting, rasa keadilan masyarakat akan lebih terjaga. Apalagi jika kemudian pengusaha bandel itu ''menyanyi" hingga bisa menyeret pejabat dan aparat yang nakal itu untuk ikut menemani mereka di bui. Jangan-jangan, kemungkinan ini yang menyebabkan para pejabat tinggi hukum membuang jauh-jauh solusi tepat kondisi ini. Tapi, setelah pemilu, siapa tahu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus