Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Harga Mahal Sebuah Pendidikan

Sekolah-sekolah unggulan untuk para siswa cemerlang mulai kesulitan biaya. Namun, mereka tetap berupaya memberikan pendidikan gratis.

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDIDIKAN tak cuma berisi cita-cita, juga tertera label harga. Artinya, mustahil menyelenggarakan pendidikan bermutu tanpa dukungan dana yang memadai. Apalagi untuk sebuah proyek sekolah unggulan. Inilah dilema yang dihadapi oleh beberapa sekolah unggulan pada masa krisis ekonomi. Sekolah unggulan yang dirintis mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro bersama swasta dan beberapa pejabat tinggi, dan punya misi menjaring murid-murid cemerlang di daerah itu?tak peduli kaya atau miskin?untuk diberi pendidikan secara gratis, kini kondisinya tak sekekar dulu. Biaya pendidikan yang meningkat tak mungkin dibebankan sepenuhnya kepada orang tua siswa, yang sebagian dari kalangan tak mampu. Pemerintah? Jelas, mereka tak punya anggaran yang berlebih untuk menomboki kekurangannya. Mengharapkan uluran tangan beberapa pejabat yang duduk di beberapa yayasan sekolah unggulan juga belum tentu mujarab. Seperti dibilang Dahri Pattara, Kepala Sekolah SMU Negeri 17 Ujungpandang, "Yayasan itu hanya merintis." Jadi, biaya operasi, ya, tanggunglah sendiri. Alhasil, ditempuhlah jalan kompromi, seperti yang dilakukan SMU Negeri 17 Ujungpandang. Mulai tahun ajaran baru nanti, sekolah hanya menerima 100 siswa baru. Menurut Dahri, dengan begitu, biaya operasional bisa ditekan. Padahal, dulu setiap siswa bisa saja mengenyam pendidikan di sekolah itu, asalkan mampu menunjukkan nilai ebtanas murni (NEM) minimum 48, atau setiap mata pelajaran sekurangnya bernilai 8. Itu sebabnya, dua tahun lalu sekolah ini masih sanggup menampung 154 siswa baru. Suasana serupa juga terpantul di SMU 2 Balige, Sumatra Utara. Sekolah yang didirikan mantan Menteri Aparatur Negara T.B. Silalahi dan mendapat julukan SMU Plus ini setiap bulan memerlukan dana sampai Rp 40 juta. Dana itu sebagian besar dialokasikan untuk keperluan 120 siswa yang diasramakan dan mendapat fasilitas belajar secara khusus. Menurut B. Sirait, Kepala Sekolah SMU 2 Balige, hingga saat ini dana dari Yayasan Soposurung memang masih mengalir lancar. Ini terutama karena mereka punya pelbagai usaha seperti di bidang perhotelan, kolam renang, dan saham di pabrik air mineral Aeroz. Cuma, meningkatnya kebutuhan tak bisa ditutup-tutupi. Itu sebabnya, beberapa fasilitas yang semula gratis, sekarang harus ditanggung siswa. Sampai-sampai, biaya seragam pun harus dibeli sekitar Rp 50 ribu per setel. Lalu, bagaimana situasi di SMU Taruna Nusantara di Magelang? Biaya pencetakan calon-calon pemimpin bangsa dari sekolah yang didirikan oleh mantan Panglima ABRI L.B. Moerdani ini memang tidak murah. Paling tidak, seorang siswa mendapat jatah subsidi sebesar Rp 4 juta tiap bulannya, sehingga dalam setahun Lembaga Perguruan Taman Taruna Nusantara (LPTTN) harus mencari dana sekitar Rp 5 miliar-Rp 6 miliar. Walau angka ini lumayan besar, menurut Mayjen Agus Wirahadikusumah, Ketua LPTTN, hingga kini mereka masih bisa menutupi kebutuhan dana tersebut dari beberapa perusahaan yang bernaung di bawah panji Departemen Pertahanan Keamanan. Meski begitu, mereka tetap berupaya untuk mengirit pengeluaran. Misalnya, jatah sepatu dan perlengkapan siswa lainnya cukup diambilkan dari perlengkapan yang ada di Badan Perbekalan TNI. Biaya perawatan pun dikurangi. "Lampu-lampu yang mestinya diganti, ya, untuk sementara agak redup sedikit enggak apa-apa," ujar Agus. Segala usaha itu dilakukan karena pihak SMU Taruna Nusantara memilih bersikukuh mempertahankan sekolah gratis. Selama ini, dengan prinsip mulia itulah sekolah-sekolah unggulan itu bisa menggaet anak-anak dari kelompok marjinal. Di SMU 2 Balige, misalnya, sebagian besar murid yang tinggal di asrama adalah anak-anak petani, pegawai negeri sipil golongan rendah, dan wiraswastawan kecil. Begitu juga di SMU Taruna Nusantara. Di sini, mereka digosok dengan kurikulum teruji, guru-guru yang baik, peralatan memadai, dan disiplin tinggi hingga bisa menetas menjadi lulusan-lulusan yang cemerlang. Sebanyak 60 persen lulusan SMU Taruna Nusantara bisa meneruskan ke perguruan tinggi negeri, dan 40 persennya diterima di Akabri. Sementara itu, SMU 2 Balige malah menelurkan 90 persen lulusannya ke perguruan tinggi negeri. Menurut Laksamana Muda TNI (Purn.) H. Wahyono, Wakil Ketua I LPTTN, kalau ditarik bayaran, justru akan berdampak negatif: seleksi siswa bisa tidak murni, siswa yang membayar menganggap punya hak lebih dan kalangan yang tidak mampu bayar tidak akan bisa masuk ke Taruna Nusantara. "Kalau hal itu sampai terjadi, tujuan untuk menjaring semua remaja berpotensi tinggi mungkin tidak tercapai," kata Wahyono. Dan bila demikian halnya, label unggulan sudah tak pas lagi untuk sekolah tersebut. Ma'ruf S., Bina B., Dwi W. (Jakarta), L.N. Idayanie (Yogyakarta), Bambang S. (Medan), dan Tomi L. (Ujungpandang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus