Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Nasionalisme versus Islamisme?

Karena sebuah amanat MUI, sosok PDI Perjuangan jadi sorotan. Jika partainya Megawati ini dianggap bukan partainya orang Islam, suara apa yang diwakilinya?

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Islam atau tak-Islam, itukah persoalannya? Pertanyaan ini timbul ketika beberapa hari sebelum pemberian suara, ada amanat dari Majelis Ulama Indonesia agar umat Islam tak memilih partai yang calon anggota parlemennya bukan muslim. Ada dua hal yang perlu diingat. Pertama, "amanat" lebih merupakan sebuah imbauan moral, bukan "fatwa". Kedua, dalam praktek, suara MUI tak serta-merta mengikat kaum muslimin untuk mematuhinya. Maka, meskipun tampak bahwa di balik amanat itu ada niat untuk menjauhkan umat Islam dari PDI Perjuangan yang selama kampanye mendapat dukungan yang mengesankan itu, belum tentu muslimin dan muslimat yang cinta Mega urung mencoblos No. 11. Tetapi gema dalam amanat itu menarik untuk ditelaah. Amanat MUI menorehkan garis tebal antara "Islam" dan "non-Islam" di atas garis demarkasi yang lain, misalnya garis antara "pro-reformasi" dan bukan. Dengan kata lain, kalau ada calon legislator yang beragama Islam tetapi misalnya mendukung kembalinya cara pemerintahan Orde Baru, ia akan lebih dipilih ketimbang seorang calon anggota DPR yang beragama Katolik yang mendukung kuat gerakan reformasi. Seandainya Harmoko dan Soeharto (keduanya beragama Islam) ada dalam daftar calon Partai X, Partai X merupakan partai yang tetap layak dipilih. Risiko dari amanat MUI ialah bahwa reformasi politik dan hukum akhirnya dianggap tak begitu penting. Amanat MUI itu juga punya konsekuensi lain: PDI Perjuangan didorong jadi bukan partainya orang Islam. Mungkinkah ini? Besar sekali jumlah pendukung Megawati yang muslim, terutama di kelas bawah masyarakat perkotaan. Maka seandainya dianggap PDI Perjuangan "bukan partainya orang Islam", pandangan atau golongan apa yang disuarakannya? Tak mudah menjawab, sebab memang tak mudah mendapatkan pandangan PDI Megawati tentang pelbagai hal. Bahkan sebetulnya tak jelas pula apa perbedaan "ideologis" antara PDI (Soerjadi) dan PDI Perjuangan, kecuali bahwa yang pertama didukung Soeharto dan yang kedua digusur. Di sana-sini ada tampak usaha untuk mengembalikan "warna nasionalis" seperti PNI sekian puluh tahun yang lalu—dan ini dilakukan oleh orang PDI Perjuangan sendiri. Tetapi bisakah "nasionalisme" di akhir milenium ini hanya sebuah kelanjutan dari PNI-nya Bung Karno di tahun 1920-an? Rasanya tidak. Nostalgia kepada Bung Karno yang kuat di masyarakat kini tak ada hubungannya dengan "isme" apa pun. Maka yang disebut "warna nasionalis" ("merah-putih"?) PDI Perjuangan akhirnya kini hanya ada sepanjang ia dipertentangkan dengan "warna Islam" ("hijau"?). Ketua Umum PAN Amien Rais benar ketika ia memperingatkan bahaya permainan garis "nasionalisme versus Islam" ini. Sebab garis itu hanya dibikin-bikin. Garis itu lebih merupakan ekspresi ketakutan antargolongan ketimbang ekspresi sebuah cita-cita. Di sebelah sini ada fobia terhadap "Kristen", di sebelah sana ada fobia terhadap "Islam". Fobia apa pun adalah unsur tak sehat di jiwa sebuah bangsa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus