Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perlu terobosan kebijakan pembukaan lapangan kerja agar kelompok usia yang produktif itu tidak menimbulkan dampak sosial dan ekonomi.
Lonjakan penganggur kaum muda menjadi alarm bahaya terhadap ekonomi secara keseluruhan.
Jumlah pengangguran Gen Z menghambat bonus demografi yang digadang-gadang menopang ekonomi.
MELONJAKNYA angka penganggur kaum muda semestinya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Perlu ada terobosan kebijakan pembukaan lapangan kerja agar kelompok usia yang produktif itu tidak menimbulkan dampak sosial dan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Pusat Statistik per Agustus 2024 mencatat terdapat 5,18 juta orang berusia 15-29 tahun berstatus penganggur. Angka itu dikuatkan dengan adanya 4,28 juta orang yang berstatus setengah penganggur. Jumlah penganggur kelompok usia ini mendominasi, dari total jumlah penganggur angkatan kerja Indonesia yang mencapai 7,46 juta orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asosiasi Pengusaha Indonesia menyebutkan salah satu penyebab melonjaknya jumlah penganggur pada generasi Z atau gen Z adalah lemahnya daya tahan atas tekanan pekerjaan. Mayoritas kelompok usia itu memutuskan berhenti dalam hitungan bulan, yang membuat perusahaan harus berulang kali merekrut pegawai baru.
Mencari akar masalah melonjaknya angka penganggur usia muda harus dilakukan tanpa buru-buru memvonis penyebabnya adalah mental yang lemah. Perlu ada penelitian mendalam untuk mengetahui alasan kaum muda tersebut berhenti bekerja, termasuk preferensi jenis profesi yang mereka inginkan.
Perlu juga dicermati, gen Z tidak hanya berasal dari pelbagai strata ekonomi: kelas bawah, menengah, dan atas. Perbedaan kelas tersebut akan melahirkan pola perilaku yang tidak sama.
Selain itu, banyak pengkajian yang menempatkan gen Z lebih optimistis, berpendidikan, peduli terhadap lingkungan, dan melek teknologi. Generasi ini memang berbeda secara pemikiran dibanding generasi baby boomer, yang kini menguasai bisnis dan kekuasaan. Keluhan pengusaha mungkin karena cara melihatnya lain dan ketertinggalan bisnis mengikuti tren baru yang tak lagi cocok dengan gen Z.
Di luar urusan perbedaan cara pandang generasi tersebut, kondisi lonjakan angka penganggur kaum muda menjadi alarm bahaya dalam menyiapkan lapangan pekerjaan. Sudah lama pemerintah menggaungkan bonus demografi, yang akan menjadi faktor dominan memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa depan.
Presiden Prabowo Subianto dalam janji kampanyenya mengatakan bonus demografi akan menjadi salah satu modal utama menyongsong Indonesia Emas 2045. Bahkan dia memprediksi Indonesia pada 2050 mampu menjadi negara maju terbesar keempat di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, dan India.
Bonus demografi—suatu keadaan ketika negara punya populasi produktif yang lebih besar ketimbang yang nonproduktif—jika berjalan dengan baik tentu akan menjadi aset penting bagi kemajuan ekonomi. Namun melihat jumlah penganggur usia muda yang terus melonjak menandakan ada yang keliru dalam kebijakan pemerintah.
Saat ini bonus demografi justru menjadi beban karena kapasitas ekonomi ternyata tidak berkembang sehingga gagal menyerap penduduk usia produktif itu di lapangan kerja yang lebih baik. Kelompok yang dibanggakan tersebut mendapat pekerjaan kelas menengah. Bukan sebaliknya, sekadar menjadi pekerja prekariat, yang tidak stabil dan tanpa akses ke perlindungan sosial.
Padahal cara mendasar untuk memecahkan masalah ketenagakerjaan kaum muda adalah mengembangkan ekonomi, menciptakan lapangan kerja yang lebih stabil, dan memastikan pencari kerja cocok dengan lowongan yang tersedia. Tanpa itu, bonus demografi yang digadang-gadang bisa menopang kemajuan ekonomi nasional tinggal angan-angan. ●