Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perang itu berlangsung 10 tahun lamanya. Seribu kapal dan 100 ribu prajurit dikerahkan, dan Troya, sebuah kota kerajaan yang dulu onon terletak di ujung barat laut Turki, digepuk. Korban pun jatuh bertumpuk-tumpuk, para pendekar gugur. Dalam wiracarita yang termasyhur ini, medan tempur terlukis bengis:
"Idomeneus menusuk Erymas, lurus menerobos mulut: ujung tombak logam itu tembus ke dekat otak, mengrowak, membelah tengkorak yang berkilau keringatgigi pun berhamburan, darah muncrat, menutupi kedua mata hingga kelopak, mengucur di liang hidung, dan bibir itu terkuak ."
Untuk apa kebuasan itu? Menurut kisah Homeros, seorang penyair buta yang konon hidup 2850 tahun yang lalu, Perang Troya terjadi karena Agamemnon, raja orang Achaea, hendak merebut kembali istri adiknya yang diculik. Senjata pun dihunus karena sang penculik adalah seorang pangeran dari negeri lain. Seperti Ramayana: mengasyikkan tapi tak masuk akal.
Terutama bagi penulis sejarah. Herodotus, sejarawan yang hidup pada abad ke-5 sebelum Masehi, meragukan motif pembebasan istri itu. Maka wajar bila zaman ini, di tengah Perang Irak yang lancung alasannya, film Troy yang disutradarai Wolfgang Petersen menyodorkan penjelasan yang lebih bisa dimengerti abad ke-21. Hektor, pangeran dan pendekar perang dari Troya itu, berkata, menurut skenario David Benioff: "Ini perkara kekuasaan, bukan cinta."
Kedua hal itu sebetulnya tak berbeda, bila "cinta" berarti "memiliki". Dan pada zaman ketika "memiliki" (kata lain untuk "menguasai") jadi penting, ketika perempuan hanya pelengkap, alasan Agamemnon untuk berperang habis-habisan bisa merupakan kombinasi antara "wanita" dan "takhta". Benar bahwa Helena, iparnya, diculik oleh Paris dan dibawa ke Troya. Tapi benar pula bahwa soalnya menyangkut gengsi dan kekukuhan sebuah kerajaan.
Saya kira itu sebabnya Jean Giraudoux menuliskan lakonnya, Perang Troya Tak Akan Meletus (La Guerre de Troie n'aura pas lieu) dengan cemooh, dan ketika Arifin C. Noer mementaskannya di Taman Ismail Marzuki 30 tahun yang lalu, ia menyelipkan logat orang Tegal dalam dialog, untuk meledek. Dalam Babak ke-2, Hektor yang tak menghendaki perang memanggil seorang pakar hukum internasional, Busiris. Orang ini menguraikan dasar-dasar legal untuk berperang melawan orang Achaea yang telah siaga di laut itu. Tapi Hektor, yang melihat betapa gampangnya orang menemukan dalih untuk berperang, berhasil menekan Busiris agar memakai dalih yang sama untuk tidak berperang. "Kita harus cepat-cepat menutup semua pintu peperangan, dengan segala gembok, segala palang," katanya.
Menarik bahwa dalam lakon ini Hektor melihat perang sebagai sesuatu yang datang dari luar. Tapi "luar" itu baginya bukan balatentara bangsa Achaea itu. Ia bahkan tak hendak menutup gerbang kota untuk mereka. Yang ingin ditampiknya adalah bencana bagi yang tak bersalah.
Akhirnya kita tahu, Hektor tak bisa mencegah bencana itu. Dalam penuturan Homeros, Hektor akhirnya ikut bertempur. Ia maju dengan gagah, meskipun ia tahu Troya akan jatuh dan ia akan gugur. Dan tatkala akhirnya kota itu bobol, dan pasukan Yunani masuk, yang tak bersalah memang jadi korban: putra Hektor, Astyanax, dilemparkan pasukan yang menang itu ke dinding. Bayi itu mati.
Tapi pangeran Troya itu benar: perang tak datang dari dalam dan dari 1.000 kapal Yunani. Dalam kisah Homeros, perang itu datang dari atasdari para dewa.
Dalam cerita kuno ini, Kahyangan adalah Olimpus yang sibuk: para dewa dengan bernafsu menyeret manusia ke dalam kebuasan yang sebenarnya tak mereka inginkan. Raja Priam dari Troya tahu itu. Ia memandang sedih Helena yang dituduh jadi biang perkara, dan berkata, "Anakku, aku tak menyalahkanmu. Para dewalah yang harus disalahkan. Merekalah yang menyebabkan perang yang mengerikan ini."
Mungkin terlampau gampang menyalahkan para dewa, tapi di bagian ketiga wiracarita Homeros, memang inilah yang terjadi: setelah bertahun-tahun kedua kubu berkelahi tanpa kalah dan menang, mereka pun bersepakat menyelesaikan persoalan dengan cara yang lebih hemat dan adil: Paris, yang menculik Helena, akan berduel dengan Menelues, sang suami, adik Raja Agamemnon. Siapa yang menang akan berhak menyunting perempuan jelita itu, dan setelah itu perang akan ditutup.
Tapi ternyata dewa dan dewi di Olimpus tak menghendaki perdamaian .
Bagi Dewi Afrodita, yang mencintai Paris yang tampan, laki-laki itu harus ditolong di saat ia nyaris terbunuh. Bagi Hera, istri Zeus, pokoknya Troya harus hancur. Zeus akhirnya mengalah: bapak para dewa ini menyetujui Troya binasa, karena Hera kelak akan merelakan kota-kota kesayangannya, antara lain Argos dan Sparta, terbasmi. Dengan hasutan para dewa, kedua kubu pun segera saling membunuh kembali. Kekejaman berkobar, dan Troya hancur.
Saya tak tahu bagaimana dengan imajinasi seperti itu agama bisa menyusun argumennya. Tapi mungkin tiga milenia yang lalu kisah Homeros adalah awal kesadaran akan absurditas hidup dan ambivalensi iman: manusia percaya adanya dewa yang berkuasa, tapi dengan itu manusia harus menanggungkan nasib sebagai ketentuan Langit. Dalam kondisi semuram itu, apa kiranya yang membuat hidup berharga?
Saya kira jawabnya muncul di bagian akhir cerita: malam itu Priam, ayah Hektor, datang dari Troya tanpa pengawal ke kemah musuh. Ia menemui Akhilles yang telah membunuh Hektor dan dengan bengis menyeret jasadnya berkeliling dengan kereta perang. Priam ingin mengambil jenazah anaknya.
Akhilles tersentuh melihat pak tua yang kehilangan itu, dan seraya mencoba menahan tangis, ia menyilakan tamunya duduk. "Para dewa yang kekal tak peduli," katanya, "tapi nasib yang mereka timpakan kepada manusia penuh dengan tragedi." Suara itu akrab.
Di saat seperti ini hidup pun terasa berarti kembali, berpijar kembali, karena manusia berjabat tangan dan Kahyangan terdiam.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo