Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie, kembali membuat kejutan. Kali ini Kwik bersikap keras dengan "menolak" rencana pemerintah melanjutkan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang dananya berasal dari pinjaman Bank Dunia. Saat ini program pemberdayaan masyarakat miskin di tingkat kecamatan, yang dimulai pada 1999, sudah memasuki tahap ketiga.
Pada tahap pertama, Bank Dunia memberikan utang US$ 273 juta dan disusul US$ 320 juta pada tahap kedua. Pada tahapan ketiga ini, pinjaman yang dikucurkan lebih kecil sekitar US$ 90 juta. Kwik secara tidak resmi sudah menolak perpanjangan ini karena utangnya dalam dolar Amerika Serikat. "Kita tidak punya harga diri lagi sebagai bangsa," katanya kepada M. Syakur Usman dari TEMPO.
Benar Anda menolak bantuan Bank Dunia untuk Program Pengembangan Kecamatan?
Saya menolak. Tetapi saya belum secara resmi memutuskan menolak. Masa, untuk pemberdayaan orang miskin, kita harus mengutang dalam bentuk dolar Amerika. Atas sikap tadi, ternyata banyak pihak kebakaran jenggot dan terpukul. Utang luar negeri tak bisa dipakai sembarangan. Apalagi Bank Dunia selalu bersikap keras kepada kita untuk membayar utang. Perhitungan saya, utang kita ke Bank Dunia saja sudah Rp 44 triliun. Ini jumlah yang sangat besar. Ini bisa berbahaya jika diputuskan tidak hati-hati. Lagi pula, program ini belum dievaluasi.
Kenapa Anda baru bersikap sekarang?
Karena saya baru sekarang dilibatkan sebagai menteri.
Perkiraan Anda sendiri?
Kelihatannya saya akan kalah. Karena itu akan saya katakan, oke program PPK dilanjutkan, tapi dengan catatan-catatan dari saya. Apalagi dalam sistem pengambilan keputusan dan suasana demokrasi seperti sekarang, saya kan tidak punya wewenang untuk menahan. Rasanya program ini tidak akan berhenti, tapi publik nanti juga mengetahui sikap saya.
Keputusan akhir sendiri sebenarnya di tangan siapa?
Sebenarnya ada di tangan Presiden, tapi biasanya Presiden tidak ikut campur terlalu banyak. Sehingga keputusan akhir berada di tangan Departemen Keuangan. Keputusan saya hanya menjadi pertimbangan atau konsideran Departemen Keuangan.
Sejauh mana peran Bappenas atas program PPK?
Bappenas tidak hanya terlibat dalam perumusan program PPK di tingkat lapangan. Bappenas juga terlibat dalam kebijakan pendanaan program itu. Jadi, kalau kita punya konsensus bahwa program ini penting, harus diputuskan apakah pendanaannya memang berasal dari utang luar negeri atau cukup bank dalam negeri, atau dengan cara lain seperti penjualan aset. Opsinya sangat banyak.
Sebaiknya pendanaannya dari mana?
Saya belum mendalami opsi pendanaannya dari mana, selain utang dari Bank Dunia tersebut. Senin pekan ini saya baru bisa mengambil keputusan.
Bukankah nota kesepahaman program tahap ketiga ini sudah diteken?
Saya tahu.
Sebenarnya apa yang menjadi kepedulian Anda?
Pendanaan dari luar negeri ini sangat penting karena mempunyai dua konsekuensi. Pertama, mereka selalu berniat menekan kita secara keras untuk membayar utang kita. Sedangkan ketika menawarkan utang, caranya sangat manis. Misalnya, mereka menyebut dirinya donor, bukan kreditor. Mereka juga menyebut bantuan dan bukan utang. Kedua, para ahli banyak mengatakan mereka menawarkan utang yang besar kepada suatu negara sehingga negara tersebut kesulitan membayarnya dan pada akhirnya Bank Dunia akan menekan dan mencengkeram negara tersebut.
Negara Indonesia ini sudah lama tidak merdeka lagi. Kita sudah tidak punya harga diri lagi sebagai bangsa. Sekarang tidak banyak orang yang mementingkan masalah harga diri sebagai sebuah bangsa. Kalau dahulu pada zaman Sukarno semuanya adalah orang-orang yang mempunyai harga diri sebagai bangsa Indonesia. Sekarang orang seperti saya sangat jarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo