Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENCARI AUTENTISITAS
Penulis: Prof. Dr. A. Syafi'i Ma'arif
Penerbit "PSAP", Jakarta, 2004
Tebal: 239 halaman.
Seandainya di dalam Al-Quran ada perintah untuk pesimistis," demikian ia membuka kata pengantarnya terhadap buku kumpulan artikel yang berjudul Mencari Autentisitas. Prof Dr. Syafi'i Ma'arif, penulis buku Mencari Autentisitas, memang tak menemukannya. Tapi 34 artikelnya dalam buku itu penuh dengan gambaran buram dan muram mengenai realitas Indonesia dewasa ini. Gambaran yang diungkapkannya dengan bahasa yang "mughaladhoh" (superlatif) sehingga menciptakan suasana batin yang tersendiri pada pembacanya.
Hanya rasa tergugah, bukan pesimisme, yang ia kehendaki. Dengan pengamatan-pengamatannya yang tajam, agaknya ia hanya ingin menggugah "sense of crisis". Ia menyebut kita sudah berada di ambang batas pilihan moral yang kritikal (hlm. 35) dan tiada pilihan kecuali berbuat sesuatu. Ia menggarisbawahi pentingnya law enforcement menjadi agenda utama pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan (hlm. 201).
Syafi'i Ma'arif, kini Ketua PP Muhammadiyah, adalah sarjana pendidikan yang meneruskan pelajarannya di Ohio State University. Ia pernah menjadi mahasiswa Prof. William Liddle, kemudian meraih gelar doktor dari University of Chicago di bidang sejarah, dan bersama-sama dengan Nurcholish Madjid ia menjadi mahasiswa Prof. Fazlur Rahman. Barangkali karena itulah ia dikategorikan sebagai penganut aliran neo-modernisme yang dibangun oleh cendekiawan asal Pakistan yang tersohor itu.
Seorang neo-modernis, selain berpikiran modern Barat, biasanya amat menghargai turats (tradisi), bukan saja tradisi fikih, tapi juga teologi, tasawuf, dan filsafat. Banyak kajian Fazlul Rahman terhadap tradisi, misalnya tentang filsafat Ibn Sina. Demikian pula kajian Nurcholish Madjid mengenai peradaban Islam di masa lampau. Tapi perhatian Syafi'i lebih tertuju pada pemikiran modernwalaupun ia mempelajari filsafat sejarah Ibn Khaldun, filsuf sejarah dari Afrika Utara yang cukup mempengaruhinya.
Gejala kerusakan moral yang diamati oleh Ibn Khaldun itu agaknya dilihatnya juga di Indonesia saat ini. Tampaknya, Syafi'i berpendapat bahwa esensi krisis yang melanda Indonesia dewasa ini adalah sebuah krisis moral, dan karena itu jalan keluarnya solusi moral. Ia berharap tampilnya seorang pemimpin yang bermoral tinggi guna mengangkat Indonesia dari keterpurukan.
Bung Hatta dan para pemimpin Masyumi, seperti Natsir, Prawoto Mangkusasmito, dan Mohammad Roem, adalah model kepemimpinan moralis di mata Syafi'i. Hatta, misalnya, disebutnya sebagai "moralis sejati". Syafi'i juga menghargai tokoh-tokoh dari agama lain, seperti Kasimo, Johannes, dan Leimena, sahabat para tokoh Masyumi itu. Dalam soal moral, pluralisme agama di Indonesia adalah suatu rahmat, "sumber ide bagi sebuah masyarakat yang sedang berkembang dan menghadapi banyak tantangan baru".
Syafi'i memang memiliki ciri-ciri puritan. Ini sangat tampak pada upayanya mencari yang autentik. Tapi autentisitasnya itu tidak ditemukan pada paham Salafiyah, yang berorientasi pada paham keislaman yang dipandang paling "murni", yaitu pandangan-pandangan yang hidup pada zaman Nabi, sahabat-sahabat, dan para pengikutnya pada zaman generasi awal. Autentisitas itu ia cari pada berbagai esensi ajaran Islam, yang disebutnya sebagai "doktrin langit". "Kita harus menelusurinya dalam Al-Quran dan Sunnah nabi sebagai sumber autentik," tuturnya.
Untuk Syafi'i, agama adalah sumber doktrin ketulusan, se-dangkan kesucian dan kejujuran adalah manifestasi autentik dari iman. Tradisi Islam memang perlu dihargai, tapi semuanya harus dinilai dari kriteria Al-Quran. Dengan kata lain, meski amat berbeda, Syafi'i punya apresiasi sendiri terhadap kecenderungan kaum Salafi.
Istilah "negara Islam" dan gagasan "penerapan syariat Islam" melalui formalisasi hukum, umpamanya, dinilainya bukan sebagai sebuah gagasan yang autentik. Sebab, gagasan negara Islam (al-daulah al-Islamiyah) adalah produk pemikiran abad ke-20. Gagasan itu tidak terdapat dalam Al-Quran maupun dokumen Sunnah, termasuk Piagam Madinah. Demikian pula "cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan, jelas berlawanan dengan seluruh prinsip Islam yang autentik". Memang, Islam adalah agama perdamaian dan menyeru kepada kedamaian. Secara sosial, Islam bagi Syafi'i menganjurkan prinsip musyawarah dan keadilan. Itulah yang dimaksud sebagai Islam yang autentik.
M. Dawam Rahardjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo