Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tujuh Isu Pembenahan Kebijakan Fiskal

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adrian Panggabean
Ekonom Universitas Indonesia yang juga bekerja di UNDP

Rasio pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap PDB (baik dalam nilai nominal maupun dalam nilai riil) menunjukkan peningkatan. Dalam nilai riil, bila pada tahun 1997/1998 dan 1998/1999 rasionya masing-masing 14 persen dan 18 persen, pada tahun 1999/2000 rasionya diperkirakan mendekati 25 persen. Dalam nilai nominal, angkanya untuk tiga tahun tersebut berturut-turut 21 persen, 25 persen, dan 30 persen. Artinya, sebesar itulah kue nasional yang "diambil" untuk menjalankan mesin ekonomi lewat birokrasi.

Dalam situasi normal, besaran rasio ini erat kaitannya dengan kaya-tidaknya sebuah negara. Kaitannya terletak pada fakta bahwa meningkatnya kompleksitas sosio-ekonomi masyarakat biasanya berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan jasa layanan publik. Khusus untuk Indonesia, tren rasio di atas semata-mata menggambarkan bahwa biaya untuk menjalankan mesin pemerintahan semakin besar. Dengan memperhatikan latar belakang ekonomi kita saat ini, paling tidak ada tujuh isu yang perlu mendapat perhatian pengambil kebijakan dalam usaha melakukan revitalisasi kebijakan fiskal.

Pertama, isu fragmentasi kelembagaan. Fragmentasi yang kronis dalam struktur kelembagaan birokrasi telah berdampak negatif pada instrumen fiskal. Proliferasi departemen dan kementerian negara berimplikasi pada proliferasi struktur birokrasi. Birokrasi di Indonesia terlalu menjadi terlalu besar relatif terhadap jumlah penduduk yang dilayaninya. Rule of thumb mengajarkan bahwa rasio birokrasi terhadap jumlah penduduk seharusnya tidak lebih besar dari 1 persen. Mengacu pada benchmark ini, skala birokrasi di Indonesia (bahkan setelah dikurangi jumlah guru) terlihat sangat besar. Akibat dari bengkaknya jumlah pegawai, biaya koordinasi interdepartemen plus ongkos lainnya (yang menyertai keberadaan pegawai negeri sipil) pun ikut naik. Bengkaknya birokrasi ini turut memberikan sumbangan pada naiknya rasio APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam nilai nominal. Sialnya, sistem kepegawaian negeri Indonesia, yang sudah menjadi komponen fixed cost bagi sektor publik, sangatlah rigid. Salah satu distorsi yang timbul, contohnya, adalah efek negatif yang ditimbulkan oleh "rigiditas" struktur gaji pegawai negeri. Kalau kita hitung pengeluaran untuk upah, gaji, dan belanja barang, kita temukan bahwa pengeluaran ini dalam nilai riil merosot drastis. Padahal nilai nominalnya naik terus. Pada tahun anggaran 1996/1997 pengeluaran riil untuk komponen ini besarnya Rp 29 triliun, tapi tahun-tahun berikutnya (1997/1998 dan 1998/1999) nilai riilnya menjadi hanya Rp 18 triliun dan Rp 13 triliun. Tahun depan, komponen ini (walaupun naik dalam nilai nominal) nilai riilnya hanya akan tinggal Rp 10 triliun (itu pun sudah memasukkan asumsi gaji dasar yang dinaikkan 15 persen dalam nilai nominal). Tidaklah sulit untuk memprediksi bahwa efek negatif dari merosotnya gaji dalam nilai riil akan merembes ke institusi ekonomi lainnya. Dan meskipun korupsi gaya lama diberantas, korupsi gaya baru akan muncul. Ini akan menimbulkan inefisiensi gaya baru dalam alokasi sumber dana fiskal yang semakin terbatas.

Kedua, rasio APBN terhadap PDB naik disebabkan karena bengkaknya komponen cicilan utang. Dengan menganalisis tren tahunan, ada dugaan bahwa manajer utang kita, dulunya, tampaknya berupaya "mendesain" agar utang-utang kita jatuh tempo pada akhir tahun 1990 atau mulai tahun 2000--di bawah asumsi negara kita sudah makin kaya pada tahun 2000-an. Bila dugaan ini benar, cicilan utang yang harus ditanggung APBN akan makin besar pada tahun-tahun mendatang. Tanpa revisi ulang terhadap pola manajemen utang, sulit bagi kita bisa keluar dari "jerat utang". Artinya, tanpa adanya perubahan dalam manajemen utang, neraca fiskal Indonesia akan mencatat "fenomena" baru ekonomi: fungsinya sebagai "neraca lalu lintas modal luar negeri" alias "gali lubang tutup lubang" akan semakin kental.

Ketiga, pengeluaran subsidi memberikan sumbangan pada naiknya rasio APBN terhadap PDB. Buat ahli ekonomi keuangan negara, naiknya subsidi bukan hanya berarti tambah mahalnya biaya dalam menjalankan mesin pemerintah, tapi juga bisa berarti bahwa struktur insentif dalam perekonomian bisa bergerak ke arah inefisiensi. Kita semua tahu, agar dana subsidi bisa efektif dan tidak merembes, diperlukan semacam "tata niaga". Namun, praktek telah memperlihatkan bahwa tata niaga kerap menciptakan distorsi. Poinnya di sini adalah bahwa potensi membengkaknya subsidi bukan hanya harus dilihat dari kacamata biaya, tapi juga harus dilihat sebagai cerminan dari potensi membengkaknya skala distorsi dalam perekonomian.

Keempat, perlu juga diperhatikan bahwa bengkaknya rasio APBN terhadap PDB terjadi pada saat ekonomi sedang turun. Karena revenue base bergerak searah dengan skala PDB, bengkaknya rasio pengeluaran terhadap PDB mengindikasikan bahwa anggaran yang semakin besar tidak akan bisa ditutup oleh pajak. Dilihat dari sudut ini, berita akan membengkaknya defisit anggaran dalam tahun anggaran 1999/2000 seharusnya bukan menjadi berita mengejutkan. (Perkiraan analis menunjuk pada angka defisit yang besarnya pada jangkauan 4-6 persen dari PDB). Perlu dicatat pula, rule of thumb mengajarkan bahwa defisit maksimum yang dapat "ditoleransi" hanyalah 4 persen dari PDB. Dari fakta dan aturan pokok ini, timbullah pertanyaan: apa dampak ekonomi dari defisit yang begitu besar, apalagi terjadi selama dua tahun berturut-turut? Jawabannya bisa ditemukan pada pengalaman berbagai negara. Efek jangka panjangnya antara lain: tekanan inflasi yang terus-menerus dalam perekonomian, potensi lemahnya kurs, rapuhnya disiplin fin ansial, dan distorsi dalam sektor riil yang terkait dengan operasi pemerintah.

Kelima, isu social spending. Perlu dicermati orientasi yang terlalu besar (dan cenderung tanpa reservasi) terhadap social spending. Besarnya social spending relatif terhadap economic spending dalam total anggaran pembangunan memiliki implikasi ekonomi yang serius. Pemborosan adalah satu di antarannya. Tanpa target yang tepat, social spending hanya akan menghasilkan kebijakan fiskal yang berciri pemborosan dan pada saat yang sama meninggalkan tujuan redistribusi yang digembar-gemborkan. Di negara maju, membesarnya social spending selalu berkait erat dengan peningkatan dalam kualitas administrasi fiskal, karena sistem jaminan sosial mutlak membutuhkan presisi.

Kita bisa mengamati di negara maju, benefit scheme terkait erat dengan sistem penomoran wajib pajak dan nomor rekening bank penerima. Alasannya jelas, karena social spending yang efisien harus menjawab empat pertanyaan penting: siapa yang harus dibantu, di mana mereka berada, berapa besar harus dibantu, dan untuk berapa lama harus dibantu. Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang telah berjalan sejauh ini belum didasarkan pada upaya sistematis untuk menjawab keempat pertanyaan di atas. Mekanisme intervensi yang dipikirkan pemerintah sejauh ini adalah dalam kerangka interregional intervention atau program intervention. Padahal JPS dan social spending pada umumnya seharusnya lebih berdimensi interpersonal transfer. Akibatnya dapat diduga, "kebocoran" terjadi di sana-sini. Atau bila ada ketakutan akan bocornya uang, programnya tidak diimplementasikan. Situasi ini menjelaskan mengapa daya serap JPS menjadi sangat rendah. Tanpa upaya sistematis untuk mendasarkan JPS pada keempat pertanyaan di atas, mudah menduga bahwa alokasi social spending dalam tahun anggaran 1999/2000 akan menjadi episode film "kebocoran" part two.

Keenam, isu intermediasi fiskal. Masalah intermediasi fiskal menjadi sangat penting untuk diselesaikan karena efektivitas instrumen fiskal sangat bergantung pada aspek ini. Transfer dana fiskal yang efisien dan berorientasi pada pertumbuhan membutuhkan perangkat kelembagaan yang jalur transmisi fiskalnya sangat pendek. Kalau bisa, langsung dari kas negara ke kantong orang yang dituju. Itu sebabnya dana jaminan sosial di negara maju dikaitkan dengan rekening bank si penerima. Di Indonesia, intermediasi fiskal terkenal panjangnya. Mari kita lihat satu contoh. JPS selalu bersifat "interdep". Paling tidak ada tiga departmen yang terkait. Departemen Keuangan, Bappenas, dan departemen teknis. Di dalamnya ada tim-tim, dan di dalamnya ada pula proyek-proyek. Alhasil, alur administrasi dana fiskal menjadi berbelok-belok, ibaratnya sungai di Kalimantan, sebelum akhirnya sampai di kantong si penerima. Syukur-syukur kalau masih utuh. Dalam konteks kelembagaan fiskal seperti ini, efek redistribusi dari social spendi ng akan sangat minimal. Panjangnya jalur itu sendiri membuka jalan bagi terciptanya inefisiensi dalam alokasi dana yang sudah sangat terbatas.

Terakhir, ketujuh, adalah isu peran instrumen fiskal dalam pertumbuhan ekonomi. Orang awam banyak bertanya: apakah dengan sekadar meningkatkan skala APBN pemerintah akan bisa menstimulasi pertumbuhan ekonomi? Dilihat dari kacamata teoretisi ekonomi institusional, terlihat naiflah pihak-pihak yang menganggap bahwa besarnya jumlah pengeluaran berkait erat dengan stimulasi ekonomi. Ini karena ada perbedaan mendasar antara analisis fiskal dalam artian murni dan analisis fiskal dalam buku teks standar ilmu ekonomi. Semata-mata karena instrumen fiskal sarat dengan isu kelembagaan yang sangat kompleks. Artinya, efektivitas kebijakan fiskal dalam menstimulasi ekonomi lebih erat kaitannya dengan aspek institusi ketimbang dengan kalkulasi matematis di atas kertas. Pengertian ini mengantar kita untuk merujuk pada beberapa syarat standar yang harus dipenuhi agar kebijakan fiskal bisa efektif.

Syarat tersebut: (1) informasi--sebagai proxy dari transparansi; accountability--sebagai proxy dari berjalan-efektifnya mekanisme public choice; kapasitas administrasi--sebagai proxy dari tiadanya administrative bottleneck; dan kejelasan dalam "demarkasi fungsi" di antara lembaga-lembaga pemerintah--sebagai proxy dari tidak tumpang-tindihnya organisasi di sektor publik. Apakah keempat syarat ini sudah terpenuhi dalam konteks Indonesia? Mudah untuk menjawab belum! Artinya, fungsi pertumbuhan ekonomi dari instrumen fiskal baru akan terlihat kalau sudah ada upaya sistematis untuk mengangkat isu value for money, isu restrukturisasi format anggaran, dan isu restrukturisasi birokrasi. Tanpa itu, percumalah ekonom bicara soal dampak ekspansi dari instrumen fiskal.

Apa relevansi kebijakan untuk para pembuat kebijakan? Pertama, dalam situasi sulit, hendaknya pemerintah dan DPR tetap berhati-hati dalam menggunakan satu-satunya instrumen ekonomi yang masih "tersedia" ini. Adalah lebih bijaksana untuk tidak memandang kebijakan fiskal sebagai sejenis panacea. Kedua, isu restrukturisasi kelembagaan fiskal tampaknya jauh lebih penting ketimbang diskusi mengenai asumsi apa yang harus dipakai dalam perhitungan APBN. Membicarakan asumsi teknis perlu untuk menghitung angka APBN yang realistis. Tapi membicarakan asumsi kelembagaan lebih relevan dalam upaya kita keluar dari krisis yang dalam ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus