Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menumbangkan Monopoli: Baru Retorika Politik

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pradjoto
Pengamat hukum ekonomi, tinggal di Jakarta

Memberantas praktek monopoli bukan perkara enteng. Sebab, selama lebih dari tiga dasawarsa ini, konglomerasi di Indonesia telah terbiasa bekerja dengan format antikompetisi. Akibatnya, lalu lintas produksi jasa dan bahkan mata rantai distribusi telah menghasilkan "mesin" akumulasi kapital yang bekerja dalam kapasitas optimal. Repotnya, dalam proses seperti ini, capital gain yang diperoleh malah ditanamkan kembali untuk membentuk jaringan monopolistik yang baru.

Akibatnya, jangan heran jika pembangunan yang konon telah disusun dengan susah payah itu, bukannya menghasilkan kemakmuran, malah menghasilkan disparitas pendapatan kesejahteraan. Inilah salah satu bentuk "keberingasan" ekonomi yang paling menonjol. Begitu menonjolnya sehingga mekanisme ini mempunyai kedekatan dengan prinsip zero sum game, yang mengajarkan bahwa keuntungan bagi satu pihak adalah kerugian bagi pihak lain. Artinya, pergulatan dalam mempertahankan keuntungan senantiasa diperoleh di atas beban pihak lain.

Agaknya, derajat kebencian terhadap berlanjutnya "perampokan" seperti ini sudah tak dapat dibendung. Itulah sebabnya RUU Antimonopoli, yang merupakan usul inisiatif DPR, menarik perhatian banyak kalangan--walaupun salah besar kalau mengira UU antimonopoli adalah satu-satunya jalan efektif untuk memberantas praktek monopoli. Lihat saja pengalaman Amerika Serikat. Meskipun negeri itu memiliki perangkat hukum lengkap dan kelembagaan yang mapan, urusan menghajar monopoli sering terbatuk-batuk di tengah jalan. Sebut saja misalnya Sherman Antitrust Act (1890), yang merumuskan bentuk kontrak yang ilegal, persekongkolan untuk menghalangi perdagangan, dan larangan monopolisasi ataupun usaha membentuk monopoli. Belum lagi ketentuan seperti Clayton Act (1914), yang disempurnakan melalui Robinson Patman Price Discrimination Act (1936), serta lahirnya Celler-Kefauver Anti-Merger (1950), yang memberikan tekanan terhadap empat anasir, yaitu terbentuknya diskriminasi harga, perjanjian eksklusif, merger, dan interlocking directorates.

Pelajaran berharga dari negara maju itu: perangkat hukum yang lengkap ditambah pengalaman yang panjang pun ternyata tidak memberikan jaminan musnahnya praktek monopoli. Pelajaran menarik ini jugalah yang dilukiskan oleh Charles E. Mueller ketika menganalisis fenomena monopoli (Antitrust Law & Economics Review, 1997). Dia mencatat, pada 1998, tak kurang dari sepertiga ekonomi Amerika sarat diwarnai oleh kekuatan monopoli yang secara rata-rata telah meningkatkan harga sebesar 30 persen lebih tinggi. Praktek ini tak ubahnya bagaikan vacuum cleaner yang mengisap 10 persen GNP Amerika atau setara dengan US$ 700 miliar. Artinya, setiap individu di Amerika telah kehilangan US$ 3.000 per tahun. Hebatnya, jumlah ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kerugian akibat tindak pidana kriminal, sebesar US$ 450 miliar.

Itu gambaran yang mengerikan, tentu saja. Data tadi juga menunjukkan betapa praktek monopoli telah memberikan sumbangan besar bagi tingkat pemiskinan masyarakat. Di Indonesia, gambarannya belum terlalu jelas. Soalnya, belum ada data tentang seberapa besar tingkat kerugian yang harus dipikul oleh masyarakat luas berkaitan dengan praktek monopoli di sini.

Yang ada hanyalah gambaran kualitatif tentang praktek monopoli beberapa komoditi seperti terigu, cengkeh, jeruk, dan impor minyak. Juga adanya monopoli "pemain" dalam pembelian sembilan bahan pokok di Badan Urusan Logistik. Belum lagi terbentuknya pasar yang menghasilkan oligopolistic interdependence seperti yang berlaku di industri otomotif dan sektor konstruksi. Apa pun gambarannya, satu hal pasti: monopoli adalah persoalan yang berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Repotnya, kesadaran ke arah ini belum memperoleh tempat yang layak di dalam praktek kenegaraan. Padahal, yang dihadapi bukan hanya kekaguman yang luar biasa besarnya terhadap kinerja konglomerat yang berhasil menjadi pembayar pajak terbesar, tapi juga kegetiran yang dalam menyaksikan proses pemiskinan yang konstan di balik keuntungan itu.

Yang jauh lebih menyesakkan, konstruksi berpikir yang terkandung di dalam RUU Antimonopoli usulan DPR tidak memperlihatkan sistematika yang terfokus untuk menghajar habis monopoli. Merumuskan pembatasan penguasaan pasar sebesar 30 persen serta larangan integrasi vertikal dan horizontal, persekongkolan, penetapan harga, dan terbentuknya persaingan yang curang adalah usaha yang berharga untuk mencegah lahirnya mekanisme antipersaingan. Meski demikian, halangan-halangan terhadap proses terbentuknya monopoli sukar untuk dikukuhkan hanya melalui pendekatan yang legalistik sifatnya. Memang benar, perangkat hukum adalah pintu masuk yang penting untuk membentuk struktur ekonomi di masa depan. Namun, pintu masuk ini akan terasa menjadi kering dan bahkan dapat meniadakan dinamika pergerakan ekonomi jika tidak terdapat pemahaman bahwa persoalan monopoli adalah persoalan yang mengandung dimensi ekonomi dan campur tangan politik.

Tampaknya, sifat multidimensional itulah yang menyebabkan antitrust law di negara mana pun berangkat dari dua falsafah utama. Pertama, ada jaminan bahwa konsumen memperoleh harga yang rendah dengan kualitas yang tinggi, yang tercapai jika terdapat kompetisi yang efektif. Kedua, memberikan keyakinan kepada pelaku usaha bahwa tingkat persaingan di pasar memang terbentuk melalui proses kompetisi yang jujur. Meskipun dua soal ini tidak sederhana, implikasi dari dua prinsip ini tidaklah rumit. Yang dibutuhkan oleh pemerintah hanyalah menetapkan apa yang disebut oleh Charles E. Mueller sebagai empat prinsip ekonomi yang sangat sederhana, yaitu kompetisi yang efektif, konsep barriers to entry, pemahaman tentang skala ekonomi, dan prinsip competitive price.

Rumusan tentang kompetisi yang efektif diukur melalui tingkat konsentrasi pasar. Salah satunya dengan Herfindahl-Hirsman Index (HHI). Ukuran ini menjumlahkan seluruh pangsa pasar yang dimiliki oleh setiap perusahaan melalui metode kuadrat. Indeks yang mencapai angka di atas 1800 dianggap memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi. Misalnya, jika terdapat empat perusahaan yang masing-masing memiliki pangsa pasar 30 persen, 30 persen, 20 persen, dan 20 persen, penguasaan pasar seperti ini akan memperlihatkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Sebab, metode HHI akan memperlihatkan ukuran: 30 x 30 + 30 x 30 + 20 x 20 + 20 x 20 atau setara dengan nilai HHI sebesar 2600.

Sementara itu, barriers to entry adalah akal busuk yang digunakan untuk melindungi posisi monopoli atau setidaknya posisi oligopolistiknya. Misalnya dengan menetapkan royalti yang tinggi dalam konteks hak paten sehingga pemain baru akan terkena biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemain yang telah masuk pasar lebih dulu. Ancaman untuk menekan biaya produksi ini dapat juga muncul melalui tidak tercapainya skala ekonomi yang efisien. Begitu pentingnya persoalan ini sampai pemerintahan di banyak negara merumuskan apa yang disebut sebagai minimum efficient scale bagi beberapa jenis industri yang penting.

Memang benar, gabungan dari beberapa persoalan tersebut sama sekali belum memperlihatkan komplikasi persoalan pengaturan antimonopoli dalam tingkat praksis. Tapi justru dari gambaran itulah kegetiran kita bertambah besar ketika memahami betapa RUU Antimonopoli telah meluncur di meja pembahasan DPR tanpa ada hambatan--persis bagaikan kendaraan mewah yang melaju di jalan tol. Padahal, produk yang akan dihasilkan adalah pranata hukum yang terlalu penting untuk diabaikan. Anehnya, meskipun pemahaman kita tentang antimonopoli begitu terbatas, tak ada mekanisme sosialisasi yang bergerak secara dialektis guna mempertanyakan kembali unsur tesis, sintesis, dan antitesis. Mungkin ini karena kita sudah begitu lama terbiasa melihat sosok penguasa yang disandera oleh ruangan yang "kedap suara". Akibatnya, substansi persoalan untuk meruntuhkan monopoli menjadi kabur karena ditelan oleh retorika politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus