Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menurunkan harga tiket pesawat 10 persen selama Natal dan Tahun Baru 2025.
Penurunan harga tiket pesawat terjadi setelah Pertamina memangkas harga Avtur.
Jika tiket murah pariwisata akan menggeliat dan ekonomi tumbuh.
ALAH bisa karena dipaksa. Itulah yang terjadi ketika pemerintah memerintahkan sejumlah badan usaha milik negara menurunkan biaya layanan yang mempengaruhi harga tiket pesawat. Sudah seharusnya pemerintah turun tangan menekan PT Pertamina (Persero) dan PT Angkasa Pura Indonesia (Persero) agar menerapkan harga wajar di tengah tingginya lonjakan jumlah penumpang pesawat menjelang Natal dan tahun baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah menurunkan harga tiket pesawat penerbangan domestik hingga 10 persen pada 19 Desember 2024-3 Januari 2025. Diskon bisa terwujud setelah Pertamina memangkas harga jual avtur 7,5-10 persen dan Angkasa Pura Indonesia menurunkan biaya layanan bandar udara 50 persen. Sedangkan maskapai penerbangan sepakat memberikan diskon biaya tambahan bahan bakar atau fuel surcharge pesawat jet menjadi 2 persen dan pesawat baling-baling menjadi 20 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindakan pemerintah ini menjadi kabar baik bagi pengguna jasa angkutan udara yang terbebani tingginya harga tiket selepas masa pandemi Covid-19. Namun seharusnya kebijakan ini tak hanya berlaku sementara. Diperlukan tangan pemerintah untuk menekan semua penyedia rantai pasok jasa penerbangan agar memberlakukan harga dan mengambil keuntungan secara wajar, bukan malah memanfaatkan tingginya jumlah permintaan tiket pesawat untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya seperti yang terjadi setelah pagebluk berlalu dua tahun lalu.
Agar tiket pesawat bisa terus terjangkau oleh masyarakat luas, pemerintah harus mengevaluasi praktik pembentukan harga selama ini. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019 tentang perhitungan tarif batas atas penumpang penerbangan domestik kelas ekonomi menegaskan sejumlah prinsip yang harus dipegang penyedia jasa penerbangan. Di antaranya pengambilan keuntungan yang wajar dan penggunaan komponen biaya yang paling efisien. Artinya, maskapai penerbangan atau pemasok avtur dan operator bandara bisa dikatakan melanggar hukum apabila tak mengindahkan prinsip-prinsip tersebut. Ini yang harus diawasi pemerintah.
Sindiran pendiri AirAsia, Tony Fernandes, tentang harga avtur di Indonesia yang lebih mahal 28 persen dibanding di negara ASEAN lain harus menjadi perhatian. Apakah Pertamina selama ini sudah memberikan harga yang wajar ataukah sebaliknya? Sebelum kini "dipaksa" presiden memberikan diskon, perusahaan minyak milik negara ini bisa mengenakan harga avtur semaunya dengan alasan biaya distribusi. Transparansi harga avtur menjadi penting lantaran andilnya bisa mencapai 30-40 persen pada harga tiket pesawat.
Demikian pula Angkasa Pura. Harus ada evaluasi agar perusahaan itu tak memungut biaya jasa kebandaraan yang mahal mengingat masih banyak keluhan atas layanannya, dari gerbang keberangkatan penumpang yang sering pindah, masalah kebersihan dan sanitasi, hingga persoalan keamanan. Contohnya atap Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, yang berkali-kali bocor. Padahal terminal ini diberi predikat "ultimate" dan diklaim Angkasa Pura sebagai fasilitas terbaik.
Namun pemerintah tak cukup hanya menekan para penyedia jasa. Agar harga tiket pesawat bisa murah, pangkas berbagai pungutan yang memberatkan, seperti pajak pertambahan nilai, pungutan avtur, dan bea masuk impor komponen pesawat. Toh, negara tak akan rugi karena biaya penerbangan yang murah bakal memangkas biaya mobilitas orang dan angkutan barang sehingga ekonomi bisa bergerak dengan efisien. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo