Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dokter pun Bisa Salah

Adi Utarini Peneliti kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

22 Maret 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adi Utarini Peneliti kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Di sebuah media cetak terbitan Jakarta baru-baru ini dimuat tulisan human interest tentang kisah tragis meninggalnya seorang anak akibat demam berdarah. Tragis, karena si anak tewas akibat salah penanganan oleh petugas medis.

Sebelumnya, kasus salah penanganan juga terjadi. Dikabarkan seorang pengacara ternama di Jakarta menuntut sebuah rumah sakit swasta. Gara-garanya, dokter kandungan di sana dianggap "salah" saat menangani istri sang pengacara.

Dua kasus itu hanya sedikit contoh kasus-kasus salah penanganan yang kerap terjadi. Tidak jarang para petugas kesehatan menjadi sorotan utama akibat salah diagnosis, salah memberikan obat, atau salah memberi informasi. Saya tidak akan mempersoalkan siapa yang salah atau benar, tapi akan mengulas sebuah pandangan baru dalam profesi kesehatan. Pandangan yang sebetulnya dibutuhkan untuk memahami masalah kesalahan (medical error) dan implikasinya bagi profesi kesehatan.

Berbuat kesalahan adalah manusiawi, bagian dari sifat manusia. Tidak ada satu profesi pun yang bebas dari risiko kesalahan. Insinyur sipil bisa saja salah mengalkulasi kekuatan sebuah jembatan, auditor keuangan bisa salah menghitung aset, bahkan pemuka agama pun bisa keliru ketika gagal menafsirkan ayat-ayat kitab suci. Berangkat dari sudut pandang ini, mengapa pihak pelaksana profesi kesehatan "sulit" menerima kenyataan bahwa profesi ini pun juga tidak imun dari medical errors?

Menyimak definisi aslinya, medical errors adalah sebuah kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh profesi kesehatan yang merugikan pasien (errors or mistakes committed by health professionals which result in harm to the patient). Pengertian "committed" dalam definisi tersebut mempunyai beberapa interpretasi yang membedakannya dengan malpraktek.

Pertama, dapat diartikan bahwa kesalahan tersebut dilakukan secara sadar (intentional) oleh profesi kesehatan, bukan akibat kelalaian ataupun niat kriminal. "Sadar" di sini juga tidak berarti kesalahan tersebut lalu disengaja. Ambil contoh bila ada kapas tertinggal setelah operasi. Kasus seperti ini lebih mengandung unsur kelalaian/kealpaan dibanding kesengajaan sang dokter. Mengapa? Karena tidak ada satu dokter pun di dunia ini yang sengaja melakukan hal tersebut. Lain soal jika seorang dokter memberikan resep antibiotik yang menimbulkan efek samping pada pasien, padahal sang pasien sebetulnya tak perlu diberi antibiotik. Dalam kasus seperti ini, tindakan pemberian resep tersebut bukan akibat kelalaian, melainkan medical errors.

Pemahaman kedua, committed dapat juga diartikan kesalahan murni (honest) oleh profesi kesehatan. Murni dalam konteks tanpa motif apa pun, bukan karena kondisi khusus (misal gangguan jiwa), dan tidak didasari niat kriminal. Jenis kesalahan seperti ini adalah murni kesalahan profesional. Contohnya, seorang petugas kesehatan yang menyuntik pasien lalu timbul pembengkakan, atau petugas kesehatan yang menancapkan jarum pada botol infus supaya botol infusnya tidak kempes, tanpa sadar bahwa cara seperti ini justru menimbulkan risiko infeksi yang diperoleh di rumah sakit. Keduanya termasuk medical errors.

Apakah medical errors sering terjadi? Sayangnya, ya. Fakta-fakta yang berasal dari negara maju, seperti Amerika, Inggris, atau Australia, menunjukkan bahwa secanggih apa pun sistem pelayanan kesehatan di suatu negara, medical errors tetap terjadi. Hasil penelitian di Amerika yang dipublikasi pada tahun 1999 menunjukkan bahwa medical errors mengakibatkan 44 ribu-98 ribu kematian setiap tahun (Charatan, 1999). Di New York, Colorado, Utah, dan Australia juga ditemukan bahwa 3,7-10,6 persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami medical errors (Smith, 1999).

Di Indonesia, penelitian mengenai topik ini masih langka. Penulis pernah melakukan penelitian di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2000. Hasilnya, angka kejadian medical errors untuk tindakan medis di rumah sakit bervariasi dari 2 persen hingga 89 persen. Ini berarti ada tindakan medis yang sering menimbulkan medical errors di rumah sakit, dan ada pula tindakan medis yang tidak mengakibatkan medical errors. Dalam penelitian ini, risiko medical errors tertinggi terdapat pada pemberian antibiotik yang tidak perlu untuk penderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Sedangkan risiko medical errors terendah terdapat pada diagnosis penyakit ISPA.

Medical errors bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, juga bisa melibatkan semua jenis profesi kesehatan. Meskipun seorang profesional kesehatan sangat menguasai pengetahuan dan metode-metode mutakhir ilmu kesehatan, ia harus mampu memperkecil kemungkinan medical errors dalam setiap keputusan medisnya. Analoginya, meskipun 100 persen pasien merasa puas dengan pelayanan kesehatan yang ia terima dan penyakitnya sembuh 100 persen, ini tidak berarti pasien tersebut tidak mempunyai keluhan terhadap pelayanan.

Karena itu, satu-satunya jalan adalah meningkatkan kemampuan profesi kesehatan dan lembaga pelayanan untuk mengelola medical errors. Tantangannya adalah menjadikan medical errors sebagai peluang untuk melakukan perbaikan.

Hal ini hanya bisa terjadi apabila para profesional kesehatan terlebih dahulu dapat menerima fakta bahwa kesalahan memang bisa terjadi. Tahap ini (acceptance, bukannya denial) merupakan titik mula perubahan budaya arogansi profesi menjadi budaya the learning profession. Terjadinya kesalahan harus diterima sebagai hal yang manusiawi, dan mau menerima kesalahan adalah sikap seorang profesional. Konsekuensinya, kewajiban profesi medis adalah mengatakan apa adanya kepada pasien, keluarga pasien, ataupun pihak lain dan mulai mengambil satu langkah lebih maju dengan cara melakukan berbagai perbaikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus