Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Strategi mitigasi banjir di Ibu Kota harus ditangani dari hulu ke hilir.
Pembangunan dua bendungan kering di Bogor yang belum selesai dianggap tidak menuntaskan persoalan.
Pembangunan sumur resapan tidak cocok untuk karakteristik tanah Jakarta yang berupa lempung.
PEMBANGUNAN bendungan kering di Desa Sukamahi, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang digadang-gadang selesai pada akhir tahun ini, masih berjalan. Waduk penampung air hujan untuk mitigasi banjir Jakarta itu dibangun sejak 2 Desember 2016. “Bendungan Sukamahi sekarang berfokus pada pekerjaan timbunan dengan progres mencapai 98,30 persen,” kata Direktur Bendungan dan Danau Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Airlangga Mardjono, Sabtu, 18 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setali tiga uang, pembangunan bendungan kering Ciawi yang berlokasi di Desa Cipayung, Desa Gadog, dan Desa Sukakarya di Kecamatan Megamendung serta Desa Kopo dan Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, belum rampung. Menurut Airlangga, progres bendungan Ciawi sudah mencapai 92,33 persen pada pekan kedua Desember ini. Pengerjaan yang tersisa hanya pekerjaan penimbunan bendungan utama, struktur saluran pelimpah, dan pelindung tebing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekerja menyelesaikan pengerjaan sumur resapan di Jalan Mataram Raya, Kebayoran Baru, Jakarta, 12 Oktober 2021/TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Menurut Airlangga, dua bendungan ini nanti memiliki peran cukup besar dalam menghadang banjir di Jakarta. Sebab, keduanya dapat mereduksi volume air hujan yang mengalir ke Kali Ciliwung. Bendungan Sukamahi, yang juga meliputi Desa Sukakarya, Desa Gadog, dan Desa Sukamaju, memiliki luas genangan 5,23 hektare dan daya tampung air hujan 1,68 juta meter kubik. Luas bendungan Ciawi sekitar 39,40 hektare dan mempunyai daya tampung 6,05 juta meter kubik.
Bendungan Ciawi terletak di bagian hulu Sungai Ciliwung, dengan jarak dari Jalan Raya Puncak sekitar 480 meter. Sementara itu, bendungan Sukamahi berlokasi di Sungai Sukabirus, yang berjarak sekitar 515 meter dari Jalan Raya Pasir Muncang. “Pembangunan dua bendungan di DAS (daerah aliran sungai) Ciliwung ini memanfaatkan potensi topografi, tampungan, dan geologinya,” ujar Airlangga.
Pembangunan dua bendungan ini merupakan salah satu solusi yang ditawarkan oleh Japan International Cooperation Agency. “Kapasitas banjir yang dapat direduksi bendungan Ciawi sebesar 111,75 meter kubik per detik, sedangkan bendungan Sukamahi sebesar 15,47 meter kubik per detik,” kata Airlangga. Jika dipersentasekan, ia optimistis kedua bendungan itu bisa mereduksi 30,6 persen dan 27,4 persen banjir Ciliwung.
Data reduksi dua bendungan ini berdasarkan pemodelan banjir Jakarta 50 tahunan. Dengan dibangunnya dua bendungan ini, debit air di Pintu Air Manggarai diprediksi menjadi 577,05 meter kubik per detik. Jika dikurangi dengan debit yang dialirkan ke Kanal Banjir Timur sebesar 60 meter kubik per detik, menurut Airlangga, debit air di Pintu Air Manggarai menjadi 517,05 meter kubik per detik. Reduksi ini juga diklaim bisa menggeser puncak banjir selama dua jam.
Namun Airlangga mengakui pembangunan dua waduk ini menemui berbagai hambatan, terutama adalah volume tampungan yang relatif kecil. Maka, Airlangga menjelaskan, harus dilakukan rekayasa operasi dengan menerapkan waduk kering. “Pada saat aliran air normal, sungai terus mengalir sehingga tak ada genangan di bendungan. Tapi, pada periode curah hujan tinggi, bendungan ini menahan kelebihan air dan mengalirkannya secara terkontrol,” tuturnya.
Hambatan lain, menurut Airlangga, adalah cuaca. Hujan kerap turun dengan intensitas tinggi pada siang dan sore hari. Kondisi ini menyebabkan terganggunya kandungan air material, sehingga harus menunggu tercapai kondisi optimal yang diizinkan. Selain itu, tebing curam dan sempit sangat berpotensi longsor, yang membahayakan keselamatan pekerja. Hal lain, kata dia, peralatan yang tidak cocok untuk mengerjakan proyek timbunan saat basah.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Dudi Gardesi mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki tiga strategi menangani banjir Jakarta. “Di (sektor) hulu pada prinsipnya adalah meresapkan air selama mungkin sehingga perlu dibangun waduk, situ, dan embung,” ucapnya. Di sektor tengah, berfokus memperlancar aliran air sehingga mengurangi beban air puncak. Sementara itu, di sektor hilir, kata dia, ada 13 sungai yang akan dimaksimalkan untuk mempercepat aliran ke laut.
Dengan penampang Jakarta yang seperti mangkuk, menurut Dudi, penduduk Ibu Kota mesti memahami bahwa rata-rata muka tanah Jakarta sudah berada di bawah permukaan laut. “Untuk mengatasi itu dibuat sistem polder dengan pompa,” ujarnya. Dudi mengatakan, dari rencana pembangunan 69 polder, 38 sudah terbangun dan 11 yang ada akan disempurnakan. Sedangkan 20 polder sisanya belum terbangun.
Strategi menyerap (retensi) dan menampung (detensi) air, kata Dudi, juga dijalankan. Ia memberi contoh strategi retensi adalah dengan membangun sumur resapan, yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. “Pembangunan ini hanya untuk kawasan Jakarta Selatan karena masih memungkinkan untuk terjadi resapan,” tuturnya. Infiltrasinya, menurut Dudi, sudah diperhitungkan dengan metode pengeboran hingga menemukan lapisan berpasir sebagai penyerap air.
Untuk genangan di jalan raya yang berpotensi menimbulkan kemacetan lalu lintas, menurut Dudi, diatasi dengan pompa statis dan pompa mobile. Menurut dia, beberapa strategi itu cukup efektif mengatasi banjir belakangan ini. “Tolok ukurnya adalah (genangan dalam) enam jam. Kalau lebih dari enam jam air masih belum keluar, artinya ada yang salah. Tapi selama ini kurang dari enam jam sudah kering,” ujarnya.
Ahli hidrologi M. Pramono Hadi melontarkan kritik atas strategi tersebut. Menurut dia, Kali Ciliwung bukan satu-satunya yang harus diperhatikan. Selain itu, lanskap DKI Jakarta yang berada di kawasan pasang-surut memang berpotensi banjir. Ia juga mengkritik pembangunan sumur resapan yang tak sesuai dengan karakteristik tanah Jakarta yang berupa lempung. “Ini akan berhasil baik di tanah berpasir yang menyerap air.”
Menurut Pramono, pembangunan Kanal Banjir Timur hanya menuntaskan 17 persen banjir. Sedangkan dua bendungan kering di Bogor juga hanya menuntaskan 24 persen persoalan banjir. “Artinya pembangunan tidak menuntaskan semua masalah,” kata pengajar di Departemen Geografi dan Ilmu Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini saat dihubungi, Selasa, 14 Desember lalu.
Jakarta di masa Batavia, menurut Pramono, memiliki 1.300-an situ dan embung yang berfungsi sebagai kolam retensi. “Penandanya jika daerah bernama 'Rawa' artinya adalah kolam retensi,” ujarnya. Namun pembangunan yang masif justru menggerus keberadaan situ, embung, dan rawa retensi ini. Selain itu, pendangkalan selama ratusan tahun menyebabkan kolam-kolam berubah menjadi “seolah-olah” tanah lapang.
Menurut Pramono, kebijakan mitigasi banjir Jakarta yang tepat untuk saat ini adalah menyinkronkan kebijakan dan mengesampingkan ego-sektoral. Selain itu, pembangunan kolam penyimpanan air dengan kapasitas sangat besar dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi kolam alami yang telah hilang. Di ujung Jakarta, ia menyarankan dibangun polder dengan mencontoh keberhasilan Belanda meskipun berada di bawah permukaan laut.
M.A. MURTADHO (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo