TEMPO edisi 14 Juni lalu menulis perkembangan Islam dalam masyarakat kita dewasa ini, sambil mengungkapkan "peranan besar" Nurcholish Madjid sebagai penyebab utama kesemarakan syiar dan dakwah Islam itu. Terus terang, selesai membaca laporan utama itu, saya berkesimpulan bahwa fenomena kesemarakan Islam, yang sesungguhnya cukup kompleks, telah disederhanakan secara berlebihan (oversimplifikasi) oleh TEMPO. Seolah-olah syiar dan kegiatan Islam, yang berwujud apa saja di Indonesia sekarang ini, ibarat gerbong-gerbong, ditarik oleh Nurcholish sebagai lokomotif. Kesimpulan seperti ini jelas naif dan jauh dari kenyataan. Saya kira, syiar Islam yang meriah sekarang ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, sejak dicanangkannya Demokrasi Terpimpin di zaman Orde Lama, Islam sebagai kekuatan politik mengalami kemandekan, yang secara relatif berlanjut sampai sekarang. Kemandekan politik inilah yang mendorong umat Islam menggerakkan kegiatan sosial, pendidikan, budaya, serta dakwah secara intensif. Energi umat, yang dulu tersedot dalam kesibukan politik, kemudian dialihkan ke berbagai kegiatan nonpolitik. Kedua, watak Islam yang senantiasa dinamis tidak memungkinkan para pemeluknya bersikap statis. Islam tidak mungkin mengalami enkapsulasi -- bersembunyi dalam kapsul, dan kemudian nonaktif. Watak yang dinamis dan kreatif itulah yang menyebabkan, mengapa Islam demikian luwes dan terus hadir dalam segala cuaca politik. Islam, di Indonesia, telah berperan menentukan sejak zaman kolonial dalam memukul imperialisme, dan terus berusaha berperan mengisi kemerdekaan sampai sekarang. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam selalu berperan sebagai motivator dalam perjuangan nasional, dan selalu menggugat kemapanan yang dirasa tidak adil. Ketiga, khusus di kampus, fenomena dakwah yang pada tujuh atau delapan tahun terakhir ini terasa terus meningkat pada hakikatnya didorong oleh kesadaran beragama para mahasiswa yang makin mendalam. Kebetulan saya sering berkunjung ke berbagai kampus, mendatangi kegiatan diskusi, ceramah atau seminar yang berkaitan dengan topik-topik keislaman. Rasanya, memang ada semacam inner transformation -- perubahan kedalaman penghayatan agama di kalangan para mahasiswa kita. Kedalaman inilah yang dapat menerangkan mengapa kegiatan-kegiatan seperti "Ramadan di Kampus", yang mula-mula disangka orang hanya musiman dan akan cepat hilang, justru makin lama makin mantap. Keempat, penuhnya masjid dengan anak-anak muda sekarang ini di samping berkat kesadaran dari dalam, juga karena ekologi sosial, politik, dan budaya, yang terus berubah seirama dengan proses pembangunan. Dalam proses pembangunan yang membawa perubahan nilai-nilai itu, secara sosio-psikologis timbul semacam krisis identitas di kalangan pelajar dan mahasiswa kita. Identifikasi mereka dengan Islam tampaknya dapat mengatasi krisis tersebut. Mereka merasa menemukan dirinya dalam ajaran-ajaran Islam. Kelima, generasi muda kita yang makin terpelajar menyadari peliknya memecahkan berbagai masalah nasional yang menghadang Indonesia di masa depan. Sesuai dengan pengetahuan mereka tentang Islam yang makin komprehensif, banyak di antara mereka yakin bahwa Islam dapat memberikan kontribusi besar bagi pemecahan masalah-masalah nasional itu. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bagi mereka Islam menjanjikan alternatif-alternatif. Hal-hal itulah yang, menurut saya, dapat menerangkan sebab-sebab kemeriahan syiar Islam pada tahun-tahun terakhir ini. Mencari asal-usul meningkatnya syiar Islam sekarang ini pada ribut-ribut mengenai keharusan sekularisasi (apa pun artinya), yang melibatkan polemik tiga atau empat tokoh pada awal 1970-an, barangkali terlalu oversimplistis. Saya melihat isu-isu kontroversial dengan istilah-istilah yang cenderung mengandung kekacauan semantik, seperti sekularisasi dan desakralisasi, jika toh punya andil dalam membentuk kesemarakan syiar Islam dewasa ini, hanya bersifat periferal. Dengan atau tanpa isu-isu kontroversial di atas, dinamika pemikiran kaum terpelajar Muslim ke arah Islam agaknya sudah merupakan keharusan sejarah. Di dunia Islam, kaum mudanya memang menghadapi suatu dilema yang ganjil. Mereka tidak suka pada Islam formalis yang mandek dan dihadapkan pada dua pilihan besar: mengikuti modernisme yang membawa masyarakat pada gaya hidup konsumeris dan berorientasi pada kapitalisme Barat, atau, menerima marxisme dengan basis falsafahnya yang materialistis. Dilema ini dicoba diatasi dengan kembali ke Islam, walaupun, dan ini mereka sadari sepenuhnya, dibutuhkan waktu relatif panjang untuk itu. Di kampus, pemikiran-pemikiran yang tumbuh sama sekali tidak ada hubungannya dengan isu-isu kontroversial awal 1970-an, ketika Nurcholish, Pak Rasjidi, dan Endang Saifuddin Anshari asyik berpolemik. Isu-isu itu sesungguhnya sudah berhenti sejak 1973. Tema-tema yang dipikirkan di kampus-kampus sekarang ini jauh lebih berbobot dan relevan. Misalnya soal Islam dan penegakan keadilan sosial, Islamisasi ilmu pengetahuan, serta Islam dan pembaruan pendidikan. Barangkali memang benar ungkapan yang mengatakan sejarah selalu berulang. Kesemarakan Islam di kalangan kaum terpelajar dan semangat mempelajari Islam di berbagai kampus, menurut Sejarawan Taufik Abdullah, mirip dengan apa yang dilakukan Mohamad Natsir dan Mohamad Roem, 50 tahun lalu. Kreativitas Natsir, Roem, dan kawan-kawan membuat mereka tidak puas dengan pendidikan Belanda yang mereka peroleh, dan juga bosan dengan rutinisasi. Mereka bersemangat belajar agama untuk mencari terobosan-terobosan. Adakah Taufik benar? Masa depan akan membuktikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini