Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Turun ? Bisa Babak Belur

Kendati bbm turun, garuda belum siap menurunkan tarif. masih ditimbun utang dan ingin membenahi diri. bila turun, dirut lumenta menghendaki secara selektif. banyak mengeluarkan dolar untuk utangnya. (eb)

19 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKINKAH tiket Garuda Indonesia turun? Mestinya bisa, karena avtur yang dipakainya turun 24% dari Rp 330 jadi Rp 250 per liter. Tapi kalau pemerintah tidak ingin melihat Garuda babak belur tertimbun utang -- yang konon terbesar ketiga, setelah Pertamina dan PLN -- maka harga karcisnya tak berubah, terutama untuk penerbangan domestik. "Jika harga tiketnya turun secara menyeluruh, artinya kami kurang diberi kesempatan membenahi diri," kata R.AJ. Lumenta, Direktur Utama Garuda. Maklum, turunnya harga karcis otomatis akan mengurangi pendapatan Garuda meskipun mungkin akan menaikkan jumlah penumpang. Yang terjadi tahun lalu agaknya cukup aneh. Kendati tiket tidak naik, padahal harga avtur yang dibeli naik dari Rp 300 jadi Rp 330 karena kena PPN, jumlah penumpang dalam negeri malah turun dari 3.758 ribu (1984) jadi 3.653 ribu (1985 lalu). Untung, pada periode yang sama, penumpang luar negeri naik dari 1.228 ribu jadi 1.351 ribu. Karena dolar juga mengalami kenaikan kurs, maka 1985 itu, pendapatan Garuda bisa mencapai Rp 746 milyar lebih, atau Rp 72 milyar di atas tahun sebelumnya. Kalau harga tiket diturunkan, menurut dugaan kasar Dirut Lumenta, Garuda akan kehilangan kesempatan memperoleh penghasilan 10%. Taruh kata jumlahnya sekitar Rp 75 milyar. Jumlah itu besar sekali artinya bagi Garuda yang, menurut kalangan yang dekat dengan Departemen Keuangan, tahun ini harus mencicil utang pokok berikut bunga hampir US$ 200 juta. Ketika dikonfirmasikan mengenai besarnya angsuran itu, Dirut Lumenta hanya menjawab, "Pokoknya berat." Bagi perusahaan penjual jasa semacam Garuda, besar-kecilnya hasil usaha juga banyak ditentukan tinggi-rendahnya biaya pembelian bahan bakar. Di jalur penerbangan internasional, biaya pembelian avtur itu besarnya sekitar 31% dari seluruh biaya internasional. Sedang di jalur domestik mencapai 38%. Lebih besar, memang, mengingat Garuda harus menebus avtur Pertamina itu dengan harga US$ 1,1 per galon (Rp 330 per liter). Sementara itu, sejak November lalu, di beberapa negara luar Indonesia avtur bisa ditebus dengan US$ 0,90 per galon (sekitar Rp 270 per liter). Dan, ketika harga minyak ambrol di bawah US$ 10 per barel, avtur di luar negeri ada yang bisa diperoleh hanya dengan US$ 0,70 per galon (sekitar Rp 210 per liter). Karena harga lokal masih belum berubah, maka untuk penerbangan internasional, Garuda lebih suka mengambil avtur di luar negeri -- Singapura misalnya, yang bisa memberi potongan bagus mengingat frekuensi penerbangannya ke sana cukup tinggi. "Tapi harga yang diberikan untuk setiap perusahaan penerbangan berbeda-beda," kata Dirut Lumenta. Secara kasar, tahun lalu, biaya pembelian avtur itu seluruhnya mencapai US$ 210 juta, atau US$ 5 juta di atas pembelian tahun sebelumnya. Kini, dengan avtur lebih murah, untuk penerbangan domestik biaya pembelian bahan bakar itu bisa dihemat sekitar 9%. Kalau volume pemakaiannya diperkirakan tetap seperti tahun lalu, jumlah uang yang bisa dihemat lebih kurang Rp 10 milyar. Jadi, menghadapi penerbangan haji mendatang, Lumenta tak perlu pusing lagi memikirkan pengisian avtur murah karena tak bisa mampir di Singapura. Tentu bukan hanya dari usaha mengurangi biaya saja penghasilan perusahaan bisa dinaikkan. Dari ikhtiar menaikkan kapasitas pemakaian pesawat, misalnya bekerja sama dengan MAS Malaysia dan SIA Singapura melakukan penerbangan langsung dari ibu kota kedua negara itu ke Denpasar, juga bisa diperoleh pendapatan lumayan. Tapi cara yang dianggap efisien tanpa harus menambah biaya bahan bakar adalah dengan menaikkan load factor (tingkat pengisian tempat duduk) pesawat. Contohnya dengan memberi potongan harga 5% untuk pembelian tiket bolak-balik di jalur domestik. Tapi agen ternyata kurang membantu, karena potongan itu akan menyebabkan komisi, yang dihitung 5% dari harga tiket bersih, berkurang. Yang belum dicoba adalah menurunkan harga tiket secara menyeluruh untuk menaikkan load factor itu. Mungkin agen akan lebih terangsang ikut menggalakkan pemasaran tiket, karena dengan volume karcis terjual lebih banyak logikanya mereka akan mendapat rupiah lebih besar dari hasil komisi. Sementara itu, Dirut Lumenta sendiri sebenarnya lebih cenderung melakukan, "Penurunan harga tiket secara selektif, misalnya penerbangan malam hari Jakarta-Surabaya yang sudah berjalan." Jika beleid itu ditempuh, boleh jadi, pemakaian bahan bakar tak akan bertambah mengingat frekuensi penerbangan tak berubah. Dan seluruh biaya yang harus ditanggung Garuda, siapa tahu, tak akan melampaui angka tahun lalu yang mencapai Rp 685 milyar. Pada akhirnya, usaha memenuhi kewajiban mencicil bunga bisa lebih longgar dilakukan. Untung bagi Garuda, bunga atas utangnya, yang sebagian besar dikaitkan dengan suku bunga pinjaman antarbank di London (LIBOR), sekarang turun jadi 8,4% dari sebelumnya 13,3% (1982). Ada dugaan, dari turunnya suku bunga LIBOR itu, angsuran bunga atas utang pokok yang besarnya ditetapkan 0,125% sampai 0,375% di atas LIBOR bakal bisa dihemat beberapa juta dolar. Tapi dari pintu belakang Garuda diduga akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk mencicil utang pokoknya, karena melemahnya dolar. Menurut kalangan pengamat, tahun ini, Garuda didua akan meneluarkan lebih banyak dolar untuk mengangsur utang poundsterling Inggris (pembelian mesin Rolls Royce), guilder Belanda (Fokker-28 dan Fokker-27), dan franc Prancis (Airbus-300) gara-gara perubahan kurs itu. Kalau badan usaha milik negara itu kurang tangkas mengelola pendapatan dolarnya, maka penghasilan itu justru akan susut hanya oleh perubahan kurs -- bukan oleh penambahan frekuensi penerbangan maupun pembelian avtur. Tentu, sedikit konsumen menaruh perhatian akan hal itu. Bagi mereka, karena Garuda mendapat proteksi cukup tebal dari pemerintah, BUMN ini seharusnya mampu memberikan pelayanan yang baik -- setidaknya seimbang dengan harga tiket yang mereka bayar. Eddy Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus