KULIT nangka kulit jipang rompesan kubis sawi slada serta
berbagai sampah dari sayuran dan buah-buahan, dihimpun,
dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang darurat. Dan anak muda
Sakimin si buta huruf menyeretnya dari pojok pasar Beringharjo
Yogya ke pusat pembuangan sampah.
Itu kerja tetapnya tiap dinihari: untuk sarapan pagi, dan
seterusnya, ia berimprovisasi membantu siapa saja di pasar.
Sakimin hidup tanpa pijakan, ibunya yang gelandangan sudah lama
meninggal dan bapaknya entah siapa.
Suatu malam seorang lelaki gondrong yang garis mukanya kelam
jantan seperti kuda menegurnya dan mengajaknya ngobrol. Sampai
usianya menjelang 20 tahun cukup banyak yang Sakimin alami namun
tak banyak yang mampu dirumuskan oleh otaknya. Juga perihal
lelaki itu tak banyak yang ia mengerti kecuali bahwa ia sangat
memperhatikannya.
Beberapa bulan kemudian si gondrong mengusahakannya untuk kerja
narik becak. Selanjutnya ia diajari baca tulis dan suatu malam,
di trotoar Malioboro utara tempat mangkal si gondrong itu,
Sakimin duduk metingkrang di becaknya sambil baca komik. Si
gondrong muncul sambil tersenyum dengan beberapa kawannya dan
berkata: "Lihat ini Sakimin, setahun dua tahun lagi ia sudah
akan baca puisi ...."
Tak sampai setahun kemudian si gondrong ini lenyap, sesudah
membantu 'karir' Sakimin untuk meningkat jadi penjual rokok. Dan
perihal 'sudah baca puisi' itu? Wallahu a'lam. Tetapi itulah
Umbu Landu Paranggi, Presiden Malioboro, yang sesudah
kepergiannya tak seorang pun mampu menggantinya. Seorang
'penyair kehidupan' yang tata-nilai kepenyairan kita tak mampu
menghitungnya. Seorang guru paling setia, yang mungkin tak bakal
pernah dilahirkan lagi oleh Indonesia. Seorang penggali,
penumbuh, pemacu, pelecut, tukang bakar dan tukang bikin gila,
yang di Yogyakarta selalu lahir kembali sebagai fenomena --
terutama tatkala lingkungan kesusastraan menggelisahkan
kemandekan kreativitas. "Habis sekarang tak ada Umbu .... Kita
mestinya bikin seperti zaman Umbu dulu ...."
Sastra Yogya seringkali jadi nostalgik, romantik dan nyinyir,
sepeninggal Umbu, 1975. Beberapa sastrawan lain yang potensial
hanya berhasil memacu dirinya sendiri, sedikit mengguncangkan
situasi, tetapi tak seorang pun mampu menempati peranan Ustadz
Umbu.
1966, lewat media koran Pelopor Yogya, ia bikin Persada Studi
Klub: tempat siapa saja belajar menulis sastra, dalam arena
percaturan yang unik. Umbu memperhatikan setiap puisi
pertumbuhan kreatifnya, dalam santunan yang tidak general,
melainkan menekuni watak, kecenderungan bahkan latar belakang
hidup setiap penulisnya. Kalau ia merasa 'keliru' memutuskan
pemuatan sebuah puisi, sehingga dianggap merugikan perkembangan
penyairnya, Umbu tak segan-segan mendatangi rumah penulis itu
untuk 'meralat'nya dan 'menormalkan kembali' prosesnya.
Itu berlangsung intensif dan konstan. Umbu merangsang dan
melontarkan tantangan lewat 'Pos Konsultasi' yang hampir
setengah halaman koran, menggunakan metafor seakan itu permainan
sepak bola yang menggairahkan: stamina, teknik, intuisi,
gorengan, dribbling, heading, solo-run, akurasi tembakan -- dan
Umbu kipernya. Para pemula yang menghuni kelas 'Persada' akan
mabuk mimpi masukkan goal ke 'Persada Pilihan' serta cita-cita
jangka panjang ke kelas berat 'Sabana'. Ditambah dengan diskusi
dan reading tiap Minggu pagi, potensi sastra Yogya dan
sekitarnya terserap ke dalam suatu greget Galatama puisi cerpen
esai yang penuh kemungkinan.
Sampai 1975 terdaftar tak kurang dari 1.500 penulis, dengan
100-an yang berbakat dan 30-an yang menginti. Nama-namanya kini
mungkin banyak Bung kenal. Yogya selama itu punya darah hangat
gayeng serta punya degup jantung tertentu yang khas. Dan
tiba-tiba Umbu lenyap.
Pamit cuma sebulan, tapi tak pernah lagi kembali: kabarnya soal
kawin paksa ....
Hilang ia, makin mengada ia. Semua jadi ingat kesintingan
hidupnya, masa silam kepriyayiannya di Sumba yang ia dendami,
kekejamannya yang tinggi terhadap dirinya sendiri, mekanisme
kesehariannya yang penuh misteri, dan akhirnya: kesetiaannya
sebagai ustadz, yang tak tertandingi.
Suatu hari ia telegram ke rumah saya: "Awas, Paranggi mau masuk
Yogya ...." --Kami sibuk suntuk dan nanti ekstase, tapi sampai
kini tak pernah ia muncul lagi. Ia di Bali: tetap seperti dulu,
tempat tinggal tak jelas, mandi di mana tak jelas, nyimpan uang
di galian tanah, tak pernah banyak cakap, namun satu hal: ia
melakukan hal yang sama di Denpasar, lewat Bali Post. Tiap
Minggu, dua halaman penuh, koran sibuk meriah oleh suasana
Galatama Sastra yang amat merangsang pertumbuhan. Temu sastra di
kota ini, kecamatan itu, desa sana, kampung sini, dalam
pengolahan yang serius hangat.
Sastra Indonesia kini ditantang oleh "gagasan besar", dan Umbu
telah dan sedang melakukan sesuatu yang besar, yang tak seorang
lainnya melakukan. "Sayang" ia tak melapor ke "pusat sastra".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini