Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ustadz umbu

Penyair umbu landu paranggi kini tinggal di denpasar. ia masih dengan bersemangat mengasuh bidang sastra, di bali post. sama seperti yang ia kerjakan di yogya sebelum ia meninggalkan kota itu, th 1975.

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KULIT nangka kulit jipang rompesan kubis sawi slada serta berbagai sampah dari sayuran dan buah-buahan, dihimpun, dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang darurat. Dan anak muda Sakimin si buta huruf menyeretnya dari pojok pasar Beringharjo Yogya ke pusat pembuangan sampah. Itu kerja tetapnya tiap dinihari: untuk sarapan pagi, dan seterusnya, ia berimprovisasi membantu siapa saja di pasar. Sakimin hidup tanpa pijakan, ibunya yang gelandangan sudah lama meninggal dan bapaknya entah siapa. Suatu malam seorang lelaki gondrong yang garis mukanya kelam jantan seperti kuda menegurnya dan mengajaknya ngobrol. Sampai usianya menjelang 20 tahun cukup banyak yang Sakimin alami namun tak banyak yang mampu dirumuskan oleh otaknya. Juga perihal lelaki itu tak banyak yang ia mengerti kecuali bahwa ia sangat memperhatikannya. Beberapa bulan kemudian si gondrong mengusahakannya untuk kerja narik becak. Selanjutnya ia diajari baca tulis dan suatu malam, di trotoar Malioboro utara tempat mangkal si gondrong itu, Sakimin duduk metingkrang di becaknya sambil baca komik. Si gondrong muncul sambil tersenyum dengan beberapa kawannya dan berkata: "Lihat ini Sakimin, setahun dua tahun lagi ia sudah akan baca puisi ...." Tak sampai setahun kemudian si gondrong ini lenyap, sesudah membantu 'karir' Sakimin untuk meningkat jadi penjual rokok. Dan perihal 'sudah baca puisi' itu? Wallahu a'lam. Tetapi itulah Umbu Landu Paranggi, Presiden Malioboro, yang sesudah kepergiannya tak seorang pun mampu menggantinya. Seorang 'penyair kehidupan' yang tata-nilai kepenyairan kita tak mampu menghitungnya. Seorang guru paling setia, yang mungkin tak bakal pernah dilahirkan lagi oleh Indonesia. Seorang penggali, penumbuh, pemacu, pelecut, tukang bakar dan tukang bikin gila, yang di Yogyakarta selalu lahir kembali sebagai fenomena -- terutama tatkala lingkungan kesusastraan menggelisahkan kemandekan kreativitas. "Habis sekarang tak ada Umbu .... Kita mestinya bikin seperti zaman Umbu dulu ...." Sastra Yogya seringkali jadi nostalgik, romantik dan nyinyir, sepeninggal Umbu, 1975. Beberapa sastrawan lain yang potensial hanya berhasil memacu dirinya sendiri, sedikit mengguncangkan situasi, tetapi tak seorang pun mampu menempati peranan Ustadz Umbu. 1966, lewat media koran Pelopor Yogya, ia bikin Persada Studi Klub: tempat siapa saja belajar menulis sastra, dalam arena percaturan yang unik. Umbu memperhatikan setiap puisi pertumbuhan kreatifnya, dalam santunan yang tidak general, melainkan menekuni watak, kecenderungan bahkan latar belakang hidup setiap penulisnya. Kalau ia merasa 'keliru' memutuskan pemuatan sebuah puisi, sehingga dianggap merugikan perkembangan penyairnya, Umbu tak segan-segan mendatangi rumah penulis itu untuk 'meralat'nya dan 'menormalkan kembali' prosesnya. Itu berlangsung intensif dan konstan. Umbu merangsang dan melontarkan tantangan lewat 'Pos Konsultasi' yang hampir setengah halaman koran, menggunakan metafor seakan itu permainan sepak bola yang menggairahkan: stamina, teknik, intuisi, gorengan, dribbling, heading, solo-run, akurasi tembakan -- dan Umbu kipernya. Para pemula yang menghuni kelas 'Persada' akan mabuk mimpi masukkan goal ke 'Persada Pilihan' serta cita-cita jangka panjang ke kelas berat 'Sabana'. Ditambah dengan diskusi dan reading tiap Minggu pagi, potensi sastra Yogya dan sekitarnya terserap ke dalam suatu greget Galatama puisi cerpen esai yang penuh kemungkinan. Sampai 1975 terdaftar tak kurang dari 1.500 penulis, dengan 100-an yang berbakat dan 30-an yang menginti. Nama-namanya kini mungkin banyak Bung kenal. Yogya selama itu punya darah hangat gayeng serta punya degup jantung tertentu yang khas. Dan tiba-tiba Umbu lenyap. Pamit cuma sebulan, tapi tak pernah lagi kembali: kabarnya soal kawin paksa .... Hilang ia, makin mengada ia. Semua jadi ingat kesintingan hidupnya, masa silam kepriyayiannya di Sumba yang ia dendami, kekejamannya yang tinggi terhadap dirinya sendiri, mekanisme kesehariannya yang penuh misteri, dan akhirnya: kesetiaannya sebagai ustadz, yang tak tertandingi. Suatu hari ia telegram ke rumah saya: "Awas, Paranggi mau masuk Yogya ...." --Kami sibuk suntuk dan nanti ekstase, tapi sampai kini tak pernah ia muncul lagi. Ia di Bali: tetap seperti dulu, tempat tinggal tak jelas, mandi di mana tak jelas, nyimpan uang di galian tanah, tak pernah banyak cakap, namun satu hal: ia melakukan hal yang sama di Denpasar, lewat Bali Post. Tiap Minggu, dua halaman penuh, koran sibuk meriah oleh suasana Galatama Sastra yang amat merangsang pertumbuhan. Temu sastra di kota ini, kecamatan itu, desa sana, kampung sini, dalam pengolahan yang serius hangat. Sastra Indonesia kini ditantang oleh "gagasan besar", dan Umbu telah dan sedang melakukan sesuatu yang besar, yang tak seorang lainnya melakukan. "Sayang" ia tak melapor ke "pusat sastra".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus