Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Al Makin
GURU BESAR UIN SUNAN KALIJAGA DAN ANGGOTA AKADEMI ILMUWAN MUDA INDONESIA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi tentang relasi Pancasila dan "sentimen" agama serta kitab suci dan konstitusi memancing bermacam-macam tanggapan. Kondisi ini sebetulnya memberi sedikit gambaran dinamisnya pandangan masyarakat pasca-reformasi tentang wacana politik dan agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara normatif dan legal, perbincangan seputar relasi negara dan agama sudah usai dengan kesepakatan-kesepakatan para bapak pendiri bangsa yang bijak memposisikan nilai-nilai agama dalam bingkai ideologi Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa. Tapi penerimaan dan interpretasi struktur dan fungsi Pancasila dalam kehidupan masyarakat yang agamis secara sosial dan politik masih dinamis. Ini terlihat dalam kontroversi setelah keluarnya pernyataan Ketua BPIP.
Berbagai tanggapan dan opini masyarakat memberi sedikit kilasan peta warna dan ideologi yang berkembang di masa kini. Hal ini sekaligus menegaskan hasil penelitian dari berbagai lembaga swadaya masyarakat dan universitas: meningkatnya konservatisme yang berupaya menyeret peran sentimen agama dalam kehidupan berpolitik.
Ungkapan-ungkapan yang berkelit dari pemahaman utuh terhadap rangkaian kata-kata Ketua BPIP menunjukkan kehidupan berpolitik kita yang masih jauh dari serba rasional. Sejumlah kalangan dan kelompok tertentu tampaknya memanfaatkan pernyataan itu untuk menyulut sentimen keagamaan dan emosi massa. Namun mereka tampaknya tidak terlalu berhasil.
Dalam melihat perdebatan ini, teori komunikasi sehat dari filsuf Jerman, Juergen Habermas, tidak lagi berlaku. Menurut nasihat sang filsuf, hukum komunikasi di antara pihak yang terlibat hendaknya saling memahami dan saling mendengarkan aspirasi. Ranah publik kita terlalu bising dan ingar-bingar untuk lebih rasional. Ini sepertinya menunjukkan ketidakdewasaan massa dan irasionalitas olah pikir.
Ada dua generasi awal pemikir Pancasila yang sudah mengantisipasi jumbuhnya relasi politik dan agama dalam masyarakat religius, terutama mayoritas warga Indonesia yang memeluk Islam aliran teologi Sunni dan berfikih Syafi’i. Generasi pertama angkatan 1945 adalah peletak dasar kehidupan bernegara yang dimotori Sukarno, Yamin, Hatta, Maramis, Syahrir, dan kawan-kawan. Mereka jelas-jelas menjaga netralitas Pancasila agar tidak mencampuri dan mendominasi iman warga negara, tapi tetap menampung nilai-nilai keagamaan itu. Pancasila bukan agama, tapi keduanya tidak dipertentangkan. Kitab suci bukan konstitusi, tapi moral dan semangat kitab suci diadopsi konstitusi.
Generasi kedua para penafsir Pancasila diwarnai gagasan dalam konteks tindakan politik pragmatis. Di satu sisi, Orde Baru berusaha menciptakan dogma dan menjaga stabilitas politik. Di sisi lain, banyak pemikir yang berusaha berkompromi dan mencari jalan tengah tentang bagaimana bernegara dalam masyarakat majemuk ini.
Driyarkara, misalnya, sudah sejak jauh hari menekankan bahwa Pancasila harus netral dalam urusan agama dan iman karena warga Indonesia memeluk banyak agama. Sebetulnya, generasi pertama perumus Pancasila juga sudah mengantisipasi dengan tidak berlakunya Piagam Jakarta, yang menandai pengakuan kebinekaan iman masyarakat. Driyarkara menegaskan semangat gotong-royong dalam esensi Pancasila. Gotong-royong itu mencakup banyak aspek: bekerja sama, toleransi, dan saling memahami, terutama di antara golongan dan iman yang berbeda.
Mukti Ali, pemikir dan menteri agama di era Orde Baru, mencoba mengembangkan gagasan Pancasila dalam wacana dialog antar-iman. Seperti Driyarkara, Mukti Ali menekankan pentingnya saling memahami antar umat beragama, dan Pancasila bisa menjadi wadah karena nilai-nilainya mencerminkan banyak agama.
Baik Driyarkara maupun Mukti Ali menyaksikan ancaman disintegrasi bangsa karena sentimen keagamaan. Sejarah negeri ini mencatat berbagai pemberontakan terhadap Sukarno dan beberapa upaya delegitimasi kekuasaan Soeharto dengan dalil suci. Wajar jika kedua cendekiawan itu menetralkan agama dalam politik. Era reformasi pun tak sepi dari sentimen benturan (baca: mempermusuhkan) agama dan Pancasila. Dan, sebagaimana diungkap Kepala BPIP, itu dilakukan hanya oleh minoritas tapi mengatasnamakan mayoritas.
Mungkin atas dasar kiprah pahit partai politik dengan sentimen keislaman, Nurcholish Madjid atau Cak Nur tercatat sebagai pendobrak zamannya: Islam yes, partai Islam no. Banyak harapan dari eranya yang pupus. Cak Nur digadang-gadang bakal menjadi Natsir muda, yang akan mempertahankan peran golongan religius dalam berpolitik. Tapi yang terjadi sebaliknya. Cak Nur melepaskan jubah itu dan memotori pentingnya agama agar netral dalam kancah politik.
Di era Orde Baru dan reformasi, Gus Dur berupaya mengembalikan keberagaman Pancasilais dalam teori dan praktik. Dalam banyak kesempatan, beliau menekankan pentingnya menjaga privasi agama dalam berbangsa. Gus Dur-lah yang paling kritis ketika penguasa Orde Baru mulai melirik godaan agama dalam panggung politik dengan mendirikan Forum Demokrasi bersama banyak tokoh.
Wacana Pancasila dan agama, konstitusi dan kitab suci, sudah lama dipikirkan oleh para cerdik cendekia Indonesia. Kita hendaknya mengkaji ulang tafsir warisan itu dan sudah saatnya menghidupkan lagi buah pikir mereka.