Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Wong Cilik

Residen cirebon melaporkan lapisan wuwungan tumbuh sejak th 1830. kelompok buruh perkebunan yang tenaga kerjanya dibayar 1 sen/hari. generasi penerus yang tidak tahu latar belakang, hidupnya dalam kepapaan.

26 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN itu tidak terlalu panjang. Menjulur dari jalan utama ke arah barat. Di selatan jalan itu terhampar tanah kosong, sekitar setengah hektar, yang menghadap ke jalan utama. Demi keamanan, pemilik tanah yang tak pernah dikenal itu membangun pagar tembok setinggi setengah badan. Jalan pendek dan tembok setengah badan itu sangat vital bagi tukang becak dan penjaja kecil. Beberapa warung penganan dan tukang rokok tumbuh di jalan itu. Dan di jalan itu tukang-tukang becak menjejerkan becaknya -- semuanya hampir seratus buah. Dan tembok setengah badan itu mereka manfaatkan untuk menyembunyikan "alat vital" ketika buang hajat kecil, yang mereka lakukan tanpa peduli apakah yang lewat laki-laki atau perempuan. Maka, setiap melintas di jalan itu, saya selalu harus membaui bau pesing hingga sampai ke ujung barat jalan. Dan salah seorang kontributor bau yang menyengat itu adalah Timbul. Dilihat dari namanya, Timbul tentulah bukan seorang priayi. Ia orang Cirebon yang "timbul" dari perut ibunya 25 tahun lalu, dan menjadi tukang becak karena alasan-alasan ekonomis. Timbul, ketika pertama kali saya berkenalan dengannya, tidak bercerita tentang kehidupannya di desa. Yang diceritakannya adalah tentang hidup yang susah di desa. "Nyari duit cepek (Rp 100) aja susah, Om. Apa-apa dijual nggak laku. Apalagi narik becak, seminggu cuma dapat satu penumpang." Lalu ia menantang Jakarta karena hidup yang susah di desa itu. Maka, setelah menikah, ia meniti "karier" di Jakarta, bergayut pada kenalan dan kerabat yang telah lebih dulu merantau. Tidak ada tangis dan upacara perpisahan dengan keberangkatannya, yang cuma berbekal Rp 10.000. Apakah Timbul kemudian berhasil ? Tidak begitu jelas. Yang pasti, selama berbulan-bulan ia tidak mendapatkan pondokan. Ia tidur di becak, makan di warung, buang air di kali, dan pipis di sembarang tempat, antara lain di tembok setengah badan itu. Tapi ada yang berubah dengan kehidupannya. Walau sering utang, ia kini bisa merokok Gudang Garam -- sesuatu yang di desanya dianggap kemewahan. Ia bisa makan "enak" di warteg, kapan saja perutnya lapar. Sekali-sekali menonton di bioskop dekat pasar, terutama kalau Rhoma Irama yang menjadi bintangnya. Dan sisa uangnya sering buat membeli Porkas. Suatu hari, saya melihat Timbul sibuk mencari pemondokan di sebuah permukiman kumuh dekat kali. Rupanya, ia telah memesan anak dan istrinya agar mendampinginya di Jakarta. Sekalipun Timbul harus siap Rp 750 per hari buat sewa pondok, toh ia tidak menyerah. Bahkan ketika ia harus mengeluarkan uang untuk pengobatan anak dan istrinya yang tiba-tiba terkena bisulan. Di biliknya, yang sempit dan kumuh, saya sering melihat dia tersenyum, dan deretan giginya terlihat nyata. Tapi, di balik itu, ia menyimpan misteri sejarah kaum kecil. Dari lapisan manakah ia dilahirkan? Adakah ia diwarisi tanah oleh orangtuanya, tapi kecil, dan karena itu tidak mampu menopang hidupnya di desa? Ataukah ia memang berasal dari lapisan wuwungan (penumpang), satu lapisan masyarakat tani tak bertanah di Cirebon? Kalau dugaan ini benar, alangkah menggetarkan sejarah hidup Timbul. Sebab, seperti dilaporkan residen Cirebon, lapisan wuwungan telah tumbuh sejak 1830. Sistem Tanam Paksa yang dijalankan Van den Bosch turut memekarkan lapisan tersebut. Seiring dengan munculnya kapitalisme perkebunan, 40 tahun kemudian, kaum kapitalis swasta menelan hampir semua tanah-tanah desa, tempat lapisan wuwungan menggantungkan nasib, untuk areal perkebunan tebu. Ini terjadi lewat kerja sama kepala desa dan pemilik tanah dengan kaum kapitalis. Begitu hubungan para pemilik tanah dengan kaum kapitalis putus, mereka dengan seketika menjadi lapisan yang mengambang dan tercerabut dari perekonomian desa. Akibatnya, posisi mereka dalam tawar-menawar dengan kapitalis perkebunan semakin mengecil. Mereka terpaksa menyerah dengan hukum pasar tenaga kerja. Pada masa depresi, mereka cuma mendapat upah 1 sen sehari -- padahal, sebelumnya, upah mereka berkisar 20 sampai 30 sen. Adakah Timbul generasi penerus lapisan wuwungan yang terbentuk berabad-abad sebelumnya? Atau ia hanya sekadar melanjutkan tradisi kepapaan yang diwariskan secara turun-temurun? Timbul tidak tahu latar belakang sejarah hidupnya. "Sejak dari kakek, rasanya kami tidak punya tanah," kisahnya. Kini, saya tidak lagi melihat Timbul. "Becaknya dicuri orang, Om," kata kawannya. "Dia nggak punya uang untuk bayar sama tauke. Terpaksa dia mudik." Kalahkah Timbul menantang Jakarta? Ia tidak dalam posisi menjawab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus