Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gandrik yang menggelitik

Teater gandrik mementaskan "dhemit" di tim. tata panggung dan kostum sederhana tapi punya daya pikat. yakni, alur ceritanya sarat dengan sindiran tajam, segar dan menghibur.

26 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIK perkusi ditabuh mengiringi empat makhluk halus yang bergerak tergesa dan patah-patah menghadap Ki Lurah Demit. Mereka membicarakan rencana manusia yang bermaksud membedol Pohon Preh, takhta raja sekelompok demit -- tempat pengungsian para makhluk halus yang kena gusur. Celakanya, beberapa pohon besar lainnya yang juga jadi tempat tinggal kaum hantu juga telah dibuldoser Rajegwesi, pimpinan proyek perumahan manusia. Karena merasa terancam, rakyat demit lalu beraksi. Beberapa pekerja Rajegwesi tiba-tiba sakit, sementara Sulih, sekretarisnya, diculik Demit Sawan. Setan-setan itu juga ngotot mempertahankan Pohon Preh -- satu-satunya istana mereka. Tak heran bila buldoser bahkan tak sanggup menumbangkannya. Tapi Rajegwesi, yang antitakhyul, tak mempercayai eksistensi demit. Ia juga menuduh Sesepuh Desa sebagai dalang hilangnya Sulih. Itulah alur cerita Dhemit naskah Heru Kesawa Murti garapan teater Gandrik, Yogyakarta, yang ngamen di teater Arena Taman Ismail Marzuki, 18 dan 19 Desember 1987 lalu. Sehari sebelumnya, mereka memainkan Isyu karangan Jujuk Prabowo di TMII. Grup teater beranggotakan sebelas orang ini -- ada guru, mahasiswa, pegawai negeri -- disponsori oleh Camat Mantrijeron, setelah beberapa kali tampil sebagai juara dalam setiap kali lomba teater di Yogyakarta. Alur ceritanya sederhana, mudah diterka. Dari segi teatral, Dhemit mungkin sulit memperoleh acungan jempol latar panggungnya sederhana, ide ceritanya tidak baru. Sementara itu, "laku dalam" para pelakunya juga tidak dikembangkan. Semua dibiarkan serba sederhana. Tapi tidak berarti Gandrik tak memiliki kekuatan. Daya pikat Dhemit yang disutradarai Jujuk Prabowo ini memang bukan terletak pada alur cerita, tata panggung, kostum, pengembangan emosi, atau permainan lampu. Juga bukan pada gamelan yang cukup bagus dimainkan, tapi dalam dialog yang sarat dengan sindiran tajam, dan lucu. Kesan tajam namun lucu itu menjadi suguhan yang menyenangkan, karena selalu terasa aktual -- terkait akrab dengan keadaan sosial kini. Entah itu menyangkut masalah politik, sosial, ekonomi, lingkungan, agama. Sebagaimana pementasan-pementasan Gandrik sebelumnya, Dhemit mencoba mengucapkan apa yang terasa tabu diucapkan orang dalam kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya ini. "Memindahkan letak kompleks perumahan ke sini, lalu membangun jembatan yang menghubungkan ke desa? Bah, mana mungkin kita dapat untung? Lebih baik kita tebang pohon-pohon dekat desa itu, lalu kita bangun perumahan. Bukan di sini," ujar Rajegwesi, meniru tabiat para kontraktor sebuah proyek besar. Tentu saja secara guyon atau kelakar. Dan penonton menikmati kesegaran yang aktual. Ditambah dengan gerak yang sengaja dilebih-lebihkan -- sebagaimana sering dilakukan kelompok Srimulat -- Dhemit mengesankan sebuah dagelan. Apalagi disegarkan dengan lontaran dialog yang "menjurus", mengena, tetapi mengundang gelak. Misalnya ketika para demit tengah ramai merancang strategi balas dendam atas perbuatan manusia yang seenaknya sendiri membedol pohon-pohon tempat tinggal para hantu itu. "Edan! Kalian ini demit-demit. Mengapa meniru tingkah laku manusia yang suka berdiskusi itu ? Kalau kalian tak mau mendengarkan kata-kataku, kukirim kalian ke penataran-penataran di dunia manusia. Kita ini bangsa demit. Dan sebagai demit, kita jangan sampai pintar. Sebab, kepintaran bisa mengganggu stabilitas bangsa," kata Ki Lurah Demit. Ha-ha-ha. Penonton geli. Masalah-masalah yang terjadi di jagat demit tampil mencerminkan peristiwa-peristiwa di dunia manusia. Misalnya, usaha Genderuwo menggulingkan kekuasaan Ki Lurah Demit Pohon Preh. Teror, ancaman, kasak-kusuk gentayangan di sana-sini, tapi akhirnya dapat diselesaikan dengan damai. Agaknya, itulah kelebihan bangsa demit (dari manusia) yang mampu menyelesaikan masalah tanpa berkelahi. "Sejak dulu, jagat kita ini tenteram. Kalau kamu ingin menggantikan kedudukanku, silakan. Silakan, Genderuwo. Asal kamu bisa memelihara persatuan bangsa demit," kata Ki Lurah Demit. menangapi rencana kudeta yang akhirnya gagal itu. Genderuwo mengurungkan niat, dan kembali mendukung Ki Lurah guna mempertahankan Pohon Preh dari hantaman buldoser. Pada prinsipnya, Gandrik menganut konsep teater sebagai tontonan segar dan menghibur, tanpa meninggalkan kritik sosial -- termasuk pesan-pesan. Pendeknya, "enak ditonton dan perlu". Konsep semacam ini, misalnya, kita saksikan dalam adegan goro-goro di pentas perwayangan, yang menampilkan empat punakawan: Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Mereka tampil santai, dapat berbicara tanpa aturan, seenaknya dan serba gembira. Fungsi goro-goro memang untuk mengundang gelak tawa, di samping sebagai wahana kritik sosial. Sementara itu, musik yang acap kali ditabuh sebagai pengiring munculnya seorang tokoh merupakan bagian tak terpisahkan dari keutuhan pementasan. Adapun musik merupakan semacam pembuka, penutup, maupun penyekat adegan. Teknik inilah yang kemudian memperakrab dunia penonton dengan dunia yang ditonton -- sekaligus menjadi jeda untuk mencairkan suasana. Dalam hal ini Gandrik tetap menjaga kesadaran penonton, bahwa dunia di atas panggung hanyalah tontonan. Bentuk pentas teater Gandrik mengingatkan kita pada teater rakyat seperti lenong (Jakarta), ludruk (Surabaya), srandul atau kentrung Banyuwangi. Bentuk-bentuk teater rakyat seperti itu tampil dengan menghindari kekakuan teatral, kebekuan suasana dan kesuntukan mencerna makna. "Enteng, berisi", menggembirakan tapi mengena. Ada yang berpendapat, bentuk penyajian teater Gandrik yang pernah tampil di TVRI itu disebut sampakan atau senggakan, yang menempatkan iringan musik (biasanya gamelan) yang mengentak rampak penuh semangat sebagai bagian tak terpisahkan dari keutuhan pemanggungan. Setiap pergantian dan penyekatan adegan selalu diiringi sampakan. Begitu pula dalam memunculkan tokoh-tokohnya. Dan Gandrik selalu menggelitik. Priyono B. Sumbogo dan Tri Budianto Soekarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus