Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Yang Tersirat dan Tersurat

9 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arianto A. Patunru*

David Friedman menyelipkan sebuah lelucon di dalam bukunya, Hidden Order. Dua ekonom berjalan beriringan. Saat melintasi sebuah toko mobil, salah seorang menunjuk sebuah Porsche mewah dan berkata, "Saya mau mobil yang itu." Kawannya menimpali, "Tidak mungkin. Kamu pasti tidak mau." Mereka berdua tertawa dan melanjutkan perjalanan.

Bagi yang belum terbiasa dengan bahasa ekonomi, lelucon itu mungkin terasa kering. Tapi kalimat-kalimat itu mengingatkan para ekonom tentang prinsip revealed preference dan stated preference. Kira-kira kedua istilah ini bisa diterjemahkan menjadi "preferensi tersirat" dan "preferensi tersurat". Preferensi atau kesukaan adalah konsep penting dalam ilmu ekonomi untuk menjelaskan perilaku memilih. Karena itu, data tentang preferensi harus ada. Seseorang lebih suka satu barang tertentu dibandingkan dengan semua pilihan lain jika kita melihat orang itu membeli (atau mengkonsumsi) barang tersebut. Kita memperoleh pengetahuan yang sama jika orang itu mengatakan secara langsung kepada kita, sekalipun kita tidak melihat ia mengkonsumsi barang tersebut. Informasi yang pertama menghasilkan data tersirat, sedangkan yang kedua data tersurat (atau barangkali: "data terucapkan").

Mengapa pembedaan ini penting? Karena data tersirat lebih "kuat" daripada data tersurat—setidaknya demikian yang dipahami banyak ekonom. Meminjam sebuah klise: percayalah apa yang ia lakukan, bukan apa yang ia ucapkan. Itu sebabnya ekonom selalu mengutamakan data historis ketimbang bertanya langsung kepada obyek yang tengah ditelitinya. Perilaku atau tindakan adalah bukti yang lebih kuat daripada ucapan atau janji. Di sinilah "lucu"-nya cerita Friedman. Kedua ekonom di situ sadar bahwa pernyataan orang pertama "tidak valid". Mengapa? Dalam sebuah wawancara, Friedman menjelaskan maksud lelucon tersebut: jika orang itu memang mau Porsche, ia seharusnya mampir ke toko tersebut dan membeli mobil itu.

Jika data tersirat lebih bisa dipercaya ketimbang data tersurat, apakah yang terakhir ini tidak ada manfaatnya? Tentu saja ada, karena data tersirat tidak selalu tersedia. Sebuah perusahaan yang ingin meluncurkan produk yang benar-benar baru tentu tidak punya data historis bagaimana konsumen bereaksi terhadap produk itu. Pemerintah yang akan menerapkan kebijakan baru juga tidak punya informasi historis tentang dampak kebijakan itu. Di sinilah gunanya data tersurat. Untuk mendapatkannya, digunakan wawancara, kuesioner, dan sebagainya. Tapi ini tidak mudah. Pada awalnya ada resistansi yang sangat besar di kalangan akademik atas penggunaan data tersurat.

Ilustrasi yang tepat adalah ketika terjadi musibah tumpahan minyak di lepas pantai Alaska oleh tanker Exxon-Valdez pada 1989. Untuk menghukum Exxon, pemerintah Amerika Serikat butuh informasi berapa kerugian ekonomi serta berapa potensi ekonomi yang hilang akibat bencana itu. Sebelumnya, tidak ada musibah serupa dengan skala yang sama. Dengan kata lain, tidak ada data historis atau tersirat yang dapat digunakan. Sejumlah ekonom menawarkan pendekatan baru yang mengandalkan data tersurat: kuesioner yang menggali persepsi berbagai kalangan responden akan nilai kawasan dan potensi ekonomi di sekitar lokasi bencana. Pendekatan baru itu mendapat kritik tajam dari ekonom-ekonom lain. Akhirnya, sebuah panel (beranggotakan antara lain penerima Nobel, Kenneth Arrow dan Robert Solow) dibentuk untuk meneliti keabsahan metode tersebut. Panel menyimpulkan pendekatan berbasis data tersurat bisa diterima, dengan beberapa perbaikan. Intinya, ia harus menggunakan metode yang sedapat mungkin meniru dunia nyata.

Saat ini data tersurat sudah diterima luas dalam disiplin ekonomi, tapi dengan disertai teknik simulasi dan estimasi yang andal untuk bisa mencerminkan dunia aktual, seperti data tersirat. Tidak jarang kedua jenis data digabungkan untuk mencapai hasil yang lebih baik. Salah satu yang juga ditekankan adalah responden harus mengerti sepenuhnya apa yang ditanyakan. Maka faktor bahasa menjadi krusial. Sebuah studi menunjukkan ada bias yang signifikan ketika kuesioner ditanyakan dengan bahasa yang berbeda sekalipun respondennya dapat berkomunikasi dalam kedua bahasa tersebut (Ren, Patunru, Braden, 2008). Bahkan bahasa dapat mempengaruhi perilaku ekonomi. Chen (2013) menemukan kecenderungan menabung yang lebih tinggi di masyarakat yang tata bahasanya menggunakan kata kerja yang berbeda untuk waktu yang berbeda (tenses) dibandingkan dengan yang tidak.

Sikap kritis atas data dan bahasa juga berguna untuk menyikapi isu sehari-hari, termasuk isu politik. Ia menjadikan kita skeptis terhadap pernyataan atau ucapan. Kita perlu mendiskon janji politikus, terutama yang diucapkan pada masa kampanye. Masyarakat turunan Latin di Amerika Serikat mengecam Obama yang dianggap tidak menepati janjinya untuk mereformasi kebijakan imigrasi. Di Australia, Tony Abbott dikecam karena melanggar janjinya untuk tidak memotong anggaran. Di Indonesia, banyak yang kecewa terhadap janji Susilo Bambang Yudhoyono membasmi korupsi dan menjunjung hak asasi manusia semasa pemerintahannya. Belakangan, Presiden Joko Widodo pun tak luput dari tuduhan ingkar janji. l

Peneliti Australian National University

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus