TANDA-tanda zaman bisa berganti-ganti. Menjelang muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Agustus nanti, Nahdlatul Ulama (NU) -- yang memproklamasikan kembali ke khittah 1926, menjadi organisasi hanya untuk dakwah dan pendidikan sejak 1984 -- justru sudah memunculkan jago-jagonya untuk kursi ketua umum partai itu. Sebut saja nama yang sudah beredar dari NU: Ketua PB NU Abdurrahman Wahid, Sekjen PPP Matori Abdul Djalil, Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebu Ireng, Jombang, dan dai kondang Zainuddin M.Z. Niat untuk tampil lagi di dunia politik juga diungkap oleh berbagai tokoh NU. Abdurrahman Wahid, misalnya, yang pernah menjadi anggota MPR dari Fraksi Golkar 1987-1992, mengaku sering didesak kaum nahdliyyin di daerah-daerah untuk tampil di pimpinan PPP. Hal sama juga dialami oleh Matori. Menurut sebuah sumber di NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia ini memang mengincar kursi ketua umum yang kini dipegang Ismail Hasan Metareum dari unsur Muslimin Indonesia (MI). Untuk mencapainya, kata sumber itu, anggota DPR Kiai Syansuri Badawi disebut-sebut sebagai garda depannya. Bersama kiai berkarisma Cholil Bisri dari Rembang, Jawa Tengah, kiai sepuh ini mempersiapkan sejumlah tokoh termasuk Ketua Fraksi PP Hamzah Haz dan Sekjen PPP Matori untuk merebut kursi itu. "Sekarang sedang dilakukan survei ke cabang-cabang, guna mengukur kekuatan riil di pihak NU," katanya. Keingingan itu, menurut Wakil Ketua PPP Jawa Timur Fatchurrahman, NU memang ikut membidani lahirnya PPP. Dan sejak fusi tahun 1973, NU tak pernah mendapatkan posisi ketua umum. "Karena itu, wajar-wajar saja kalau orang NU kini berambisi menjadi ketua umum," katanya. Namun, toh perlu diperhitungkan oleh para calon dari NU itu. Sebab, kata Ketua PPP Nusa Tenggara Barat Muhsin Bafadal, diperkirakan dukungan bagi Buya Ismail masih sekitar 80%. Di atas kertas, diperkirakan 22 wilayah (tingkat provinsi) dan 230 cabang (kabupaten) -- dari sekitar 300 cabang -- berdiri di belakang Buya. Lain halnya dengan kalkulasi Abdurrahman Wahid. Ia optimistis bahwa jago NU, Matori, bakal tampil sebagai pemenang dalam muktamar PPP di Jakarta Agustus nanti. Sebab, katanya, Matori bisa berkoalisi dengan orang-orang Jaelani Naro, ketua PPP yang digulingkan Ismail Hasan Metareum. "Tak mustahil orang-orang Naro akan bangkit lagi dan menggusur Buya," katanya. Dan ia juga yakin, jagonya itu, Matori, bakal mampu mengangkat citra Partai Bintang lebih cemerlang. Ucapan Abdurrahman Wahid ini rupanya ada benang merahnya dengan pendapat K.H. Sochib Bisri, pengasuh pesantren Mambaul Ulum, Jombang, Jawa Timur. Selama ini, katanya, PPP di bawah Buya Ismail hampir tenggelam. PPP jarang berinisiatif mengangkat isu nasional seperti SDSB atau Marsinah. "PPP lebih banyak konsultasi dengan Pemerintah," katanya. Sekarang, katanya, PPP butuh figur pemimpin yang karismatik dan menonjol seperti PDI dan Golkar. Abdurrahman Wahid dinilainya cocok untuk itu. Namun, Abdurrahman Wahid sendiri tampaknya belum antusias dengan pencalonan dirinya. Ketua Forum Demokrasi itu memberikan syarat bersedia menjadi Ketua Umum PPP, "asal demi kepentingan nasional". Sedangkan Matori mengaku belum memikirkan soal kursi Ketua Umum PPP itu. "Untuk kepemimpinan di masa mendatang, diperlukan ketua umum aspiratif dan artikulatif terhadap aspirasi rakyat. Tak cuma mau bermain di kelas pinggiran," katanya. Ini dianggapnya penting untuk mengimbangi Golkar yang menampilkan pemimpin seperti Harmoko dan Siti Hardiyati Rukmana, dan PDI dengan Megawati. Sasaran menyegarkan PPP itulah mungkin yang mau dituju oleh NU. Dalam sejarahnya, PPP memang pernah vokal pada tahun 1970-an, ketika tokoh-tokoh andalan NU belum "disingkirkan". PPP memainkan peran menonjol dalam proses pembahasan P4, Kepercayaan, dan bahkan pemandangan umum atas pertanggungjawaban Mandataris MPR tahun 1978. Semua itu tak lepas dari peran para politikus NU. Kembalinya minat NU merebut kursi Ketua Umum PPP itu tentu tak lepas dari berakhirnya "penggembosan" suara dalam pemilihan umum nanti. Warga nahdliyyin akan membangun simpati dan bekerja keras untuk PPP. "Bagi NU, PPP itu ibarat tega larane ora tega patine (tega bila ia sakit, tapi tak tega bila ia mati)," kata Abdurrahman Wahid, yang pada Pemilu 1977 masih kampanye buat PPP. Walau sejumlah tokoh NU kembali ke PPP, tak berarti NU harus meninggalkan khittah 1926. Sebab, organisasi itu bisa saja cuma menugaskan politikusnya secara pribadi. Tak perlu dikendalikan formal oleh Tanfidziyah -- seperti ketika organisasi itu dipimpin K.H. Idham Chalid atau sebelum 1984. Dengan demikian, NU sebagai organisasi masih tetap bertekanan pada bidang dakwah dan pendidikan. Niat NU kembali ke PPP tentu mengundang tanggapan Ismail Hasan Metareum. Namun, ia toh mempertanyakan, para tokoh NU yang sudah "keluar jalur" apa bisa begitu saja kembali. "Mereka ini dulunya menyeberang, lalu mau kembali. Apa betul mereka cinta pada PPP tanpa pamrih?" katanya. Buya Ismail tampaknya masih berusaha memimpin PPP itu untuk satu periode lagi. Kecuali kedekatannya dengan Pemerintah, Wakil Ketua DPR/MPR itu tampaknya masih dijagokan oleh unsur MI dalam PPP. Disebut-sebut, ia akan berpasangan dengan Sulaiman Fadeli, kini Ketua PPP Jawa Timur, sebagai sekjen.Agus Basri, Wahyu Muryadi, Ardian T. Gesuri, dan Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini