Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

<font color=#336600>Gatuso</font> Kembali ke Rimba

Nasib orangutan makin merana. Habitatnya menyempit dan populasinya menyusut terus.

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NUN di jantung belantara hulu Sungai Barito, setelah beberapa jam menumpang helikopter ke utara Palangkaraya, 46 orangutan itu pulang ke habitat aslinya. Dimulai tepat pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus lalu, semua orangutan itu dilepas secara bertahap selama sepekan. Mereka kembali ke alam setelah bertahun-tahun tinggal di pusat rehabilitasi karena hutan mereka dibabat.

”Saya berharap saat pelepasan itu merupakan terakhir kali orangutan tersebut melihat manusia,” kata Lona Drocher Nielsen, pendiri Pusat Rehabilitasi Orangutan Nyaru Menteng di Palangkaraya.

Orangutan adalah jenis primata yang dilindungi karena terancam punah. Selain di Kalimantan, kera besar yang bulunya merah ini terdapat di Sumatera. Hutan kedua pulau itu memang rumah ideal buat orangutan. Di Kalimantan, menurut data Yayasan Penyelamatan Orangutan (BOS), diperkirakan hanya tersisa 35 ribu orangutan.

Hidup orangutan kian hari kian terancam oleh aktivitas pembukaan hutan untuk perkebunan sawit, pembalakan liar, hingga perburuan. Orangutan memang salah satu satwa yang kerap diperjualbelikan. Kebanyakan orangutan yang masuk rehabilitasi adalah yang terusir dari hutan yang sudah beralih fungsi menjadi lahan sawit.

Gatuso, 25 tahun, adalah salah satu orangutan yang kembali ke belantara setelah terusir akibat pembukaan lahan sawit. Lone menceritakan, orangutan jantan ini luntang-lantung di kebun sawit yang baru dibuat, sehingga membuat takut para pekerja. Mereka pun langsung menangkap Gatuso. Beruntung, salah seorang pekerja memberitahukan ihwal penangkapan itu ke tim penyelamat Nyaru Menteng. Bagi pekerja sawit, orangutan tak hanya membuat mereka takut, tapi juga dianggap hama karena memakan tunas sawit. Tak sedikit orangutan yang tewas mengenaskan karena diburu patroli kebun sawit.

Seekor orangutan betina dan anaknya yang ikut dilepas bersama Gatuso juga korban pembukaan kebun sawit. Sepasang primata ini nyaris tewas kelaparan di lahan yang baru digundulkan di daerah selatan Kalimantan. Anaknya, Sensi, yang masih memerlukan susu, kerempeng mirip kucing kelaparan karena ibunya tak bisa menghasilkan susu.

Setiba di Nyaru Menteng, bersama orangutan lainnya, pasangan ini menjalani perawatan sehingga pulih dalam waktu empat bulan. ”Kami sempat memisahkan Sensi dari ibunya karena ia harus menjalani perawatan khusus. Kini mereka kembali ke rumahnya,” kata Lone.

Pengembalian orangutan ke habitatnya bukan soal mudah, karena banyak hutan yang sudah dirambah dan dijadikan perkebunan. Hutan tempat pemulangan orangutan harus perawan, jauh dari jangkauan manusia, termasuk pembalak. Hutan di hulu Sungai Barito itu baru ditemukan tim penyelamat dua tahun lalu, melalui survei helikopter. Ini adalah lembah yang dipagari bukit, dengan banyak anak sungai, dan sulit dijangkau lewat darat. ”Hutan ini kaya akan makanan orangutan, dan populasi orangutan di kawasan itu belum padat,” kata Simon Husson, pakar konservasi orangutan.

Tempat yang ideal bagi orangutan itu tentu sulit pula dicapai oleh tim penyelamat. Satu-satunya alat transportasi adalah helikopter. Setelah pemilihan orangutan yang akan dilepas, tim pendahulu dikirim untuk menyambut kedatangan orangutan.

Sampai di lokasi, orangutan menjalani pemeriksaan kesehatan untuk memastikan tidak mengalami stres akibat terbang. Maklum, orangutan dibius dan dikandangkan dalam kotak yang digantungkan ke helikopter selama beberapa jam. ”Ini operasi yang sulit dan melelahkan, tapi lunas terbayar ketika melihat mereka bergelayutan di rimba,” kata Simon.

Simon mengatakan, berkurangnya hutan akibat pembalakan dan pembukaan kebun membuat Nyaru Menteng kian sering menerima pendatang baru. Hingga kini, pusat rehabilitasi seluas tiga hektare itu telah menyelamatkan sekitar seribu orangutan, enam ratus di antaranya adalah anak orangutan yang terpisah dari orang tuanya dan telantar.

Rehabilitasi anak orangutan biasanya menghabiskan waktu sepuluh tahun. Biaya rehabilitasi seekor anak bisa puluhan juta rupiah. Untuk menutupi biaya tersebut, pusat rehabilitasi mengumpulkan dana, antara lain lewat program adopsi orangutan.

Karena itu, Simon berharap pembukaan hutan memperhatikan tata ruang dan kelestarian flora dan fauna. Menurut data Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) tahun 2004, total populasi orangutan di seluruh Kalimantan adalah 54.567 ekor. Dengan laju kepunahan 9 persen, jumlah tahun ini hanya 35 ribu ekor. Khusus Kalimantan Tengah jumlah orangutan tahun lalu 20 ribu ekor. Dari jumlah tersebut, diperkirakan 8.000 ekor berada di luar kawasan konservasi yang tidak aman atau sewaktu-waktu dapat dibabat untuk perkebunan kelapa sawit.

Direktur Eksekutif BOS, Aldrianto Priajati, mengatakan bahwa penanaman sawit memang menjadi ancaman besar bagi orangutan dan satwa langka lainnya. Banyak perkebunan kelapa sawit yang berada di lahan yang tidak sesuai, bahkan mendekati hutan primer, yang statusnya berubah menjadi hutan konversi, yang sudah pasti mendekati habitat orangutan dan satwa langka lainnya. ”Habitat orangutan juga rumah bagi belasan jenis burung rangkong (hornbills), 50 pohon buah-buahan, dan 15 liana yang berbeda. Ini adalah hutan tropis yang sangat baik. Dan tentu juga menyangkut kehidupan manusia itu sendiri,” kata Aldrianto.

Data Lembaga Riset Perkebunan Indonesia 2005 menyebutkan pada periode 2005-2020 Indonesia harus memperluas kebun sawit 120-140 ribu hektare per tahun. Artinya, dalam 15 tahun sudah harus ada kebun sawit baru 1,8-2,1 juta hektare. Apalagi Indonesia menargetkan diri menjadi pengekspor terbesar di dunia. Sebenarnya sawit yang ditanam di lahan kritis yang kosong banyak membawa manfaat. Sayangnya sebagian besar direncanakan dan dilaksanakan di lahan dengan hutan yang kondisinya masih bagus, termasuk gambut, yang harus digunakan untuk konservasi saja.

Gencarnya aksi perluasan kebun sawit dirasakan langsung oleh tim penyelamatan orangutan Nyaru Menteng. Hampir empat kali dalam sebulan tim harus menyelamatkan orangutan yang tersesat di perkebunan yang baru dibuka. Tim biasa mendapat telepon dari perusahaan perkebunan atau masyarakat yang melihat orangutan yang tersesat di perkebunan itu mulai memakan daun sawit. Tapi kondisi orangutan yang akan diselamatkan umumnya memprihatinkan. Ada yang terbunuh dan terpotong-potong. Ada juga yang patah tulang kaki atau tangan. Biasanya ini terjadi pada orangutan yang masih bayi.

Ada pula orangutan yang dibakar hingga tewas. Ini terjadi karena orangutan tersebut akan menyerang pekerja yang membuka lahan untuk perkebunan sawit. Orangutan terpaksa menyerang karena marah melihat pohon yang dijadikan tempat sarang tinggalnya tengah ditebang oleh pekerja itu. Konflik klasik antara manusia dan satwa langka seperti ini biasanya mudah ditebak siapa pemenangnya.

Adek Media

Orangutan
Kelas: Mamalia
Ordo: Primata
Panjang: 1,2 meter
Berat: 30-120 kilogram
Berat bayi: 1,5-2 kilogram
Masa hidup: 60 tahun
Masa mengandung: 8,5 bulan
Usia subur: 15 tahun
Makanan: buah-buahan dan biji-bijian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus