Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berjodoh tanpa Pacaran

Sebuah sekuel tentang pernikahan ideal ala pesantren. Duet Deddy Mizwar dan Niniek L. Karim yang enak ditonton.

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA CINTA BERTASBIH 2
Sutradara: Chaerul Umam
Skenario: Imam Tantowi
Pemain: Deddy Mizwar, Niniek L. Karim, Kholidi Asadil Alam, Oki Setiana Dewi

"SAYA minta tolong, Pak Kiai. Mohon dengan sangat, Pak Kiai,” Bu’e Malikatun meratap. Suaranya lirih, makin lama makin pelan, tapi tetap menyimpan asa besar. Namun Pak Kiai Lutfi berkukuh. Sebagai bapak yang putrinya sendiri tak bisa mempertahankan rumah tangga, ia malu memberikan tausiyah, atau wejangan, pada pernikahan orang lain.

Mata Bu’e Malikatun (Niniek L. Karim) yang menatap tajam separuh berkerenyit kala kepalanya semakin menunduk secara teatrikal ”diadu” dengan gurat-gurat kesal, malu, dan kecewa pada raut Pak Kiai Lutfi (Deddy Mizwar). Sungguh aduhai ditonton. Inilah adegan yang mempersatukan aktor dan aktris senior itu dalam film Ketika Cinta Bertasbih 2, yang akan diputar serentak di bioskop-bioskop Tanah Air pada 17 September.

Terjawab sudah pertanyaan ke mana perginya sentuhan Mamang—panggilan akrab Chaerul Umam—dalam Ketika Cinta Bertasbih 1. Mamang asing dengan setting Mesir, yang mengambil alih lebih dari separuh film pertama itu. Sentuhan Mamang terasa intim pada film lanjutannya. Dengan setting Yogya, Solo, dan Magelang, sentuhan Mamang terasa hangat dalam gambar, humor, dan diksi ala kaum santri Jawa Tengah itu. Didukung penulis skenario Imam Tantowi, Mamang meramu Deddy dan Niniek menjadi sosok familiar yang mengingatkan kita lagi akan intimasi manusia dalam film-film Mamang yang tenar pada 1970-1990-an: Titian Serambut Dibelah Tujuh, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, dan Ramadhan dan Ramona.

Dalam film pertama, penonton mengikuti sepak terjang Abdullah Khairul Azzam (Kholidi Asadil Alam), pemuda asal Kartasura, Solo, yang harus pontang-panting jualan bakso dan tempe sembari sekolah S-1 di Al-Azhar, Kairo. Di film kedua, Azzam pulang ke Tanah Air dan berjumpa kembali dengan ibunya, Bu’e Malikatun, dan tiga adik perempuannya.

Dan bergulirlah cerita tentang kehidupan Azzam pasca-Kairo: bagaimana ia membangun masa depan dengan berjualan Bakso Cinta dan mengajar, berkelindan dengan upayanya mencari pasangan hidup, dan bertemu kembali dengan Anna Althafunnisa (Oki Setiana Dewi), putri Kiai Lutfi, pengasuh Pesantren Daarul Quran, Desa Wangen, Polanharjo, Klaten.

Seperti di film pertama, para pemain baru di film kedua ini tak sulit menampilkan karakter-karakter bak malaikat sesuai dengan novel jilid kedua karya Habiburrahman El Shirazi itu. Tapi bimbingan Mamang yang paling menonjol tampak justru pada Kholidi, yang mampu menampilkan raut Azzam yang manusiawi: cengeng tersedu-sedan mendengar puisi adiknya, pilon ketika berkali-kali gagal menyunting gadis, dan bergurau konyol di tepi tempat tidur sesaat sebelum memberikan ”nafkah batin” yang dinafikan Furqon sahabatnya—yang ketakutan terjangkit HIV.

Tentu saja film ini tak bergerak jauh dari cerita buku yang disebut megabestseller karena dicetak ulang belasan kali itu. Tak ada yang jahat, tak ada konflik pelik, tak ada antagonis. Yang bisa dikategorikan begitu bisa jadi cuma Furqon—yang terlihat bodoh karena kapok tes HIV lagi setelah tes pertama di Kairo dinyatakan positif. Atau Eliana (Alice Norin), yang sengaja ke Kartasura dengan gaun muslim demi meraih simpati Azzam. Atau juga orang tua dokter Vivi, yang tak sabar menunggu Azzam sembuh dan keburu menerima lamaran orang lain. Di beberapa tempat, dialog pun tak terhindarkan untuk menjadi dakwah religi—serupa dengan bukunya.

Tapi ada setting yang familiar bagi penonton di sini: kultur penduduk desa yang sejuk dan guyub. Ada pula pengetahuan penting bagi ribuan penonton urban (yang menonton film ini lewat bioskop layar lebar di kota-kota besar) bahwa perjodohan tanpa pacaran—dengan promosi orang tua atau kerabat dan perjumpaan selintas yang dilakukan sambil menyuguhkan teh—masih dipercaya sebagai cara yang ideal mempertemukan pasangan. Dan yang penting, ada sentuhan Mamang yang kental, plus asyiknya adu lakon Deddy dan Niniek. Tak ada lagi yang kurang.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus