Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

<font color=brown>Sengatan</font> di Sangatta

Ribuan pendatang merambah Taman Nasional Kutai. Semua gara-gara pembukaan jalan tembus.

22 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANG antarsuku?

Itulah kekhawatiran polisi di Sangatta, Kalimantan Timur. Mereka siaga di Jalan Raya Bontang-Sangatta di Kabupaten Kutai Timur itu. Konon, polisi berpakaian preman telah disebar hingga ke desa-desa.

”Kami harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya gesekan antarwarga,” kata juru bicara Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, Komisaris Besar I Wayan Tjatra, kepada Tempo, awal bulan lalu.

Sejak awal tahun, potensi konflik di ruas jalan itu memang seperti tengah menuju titik nadir. Yang berseteru: warga pendatang asal suku Bugis dan Makassar dengan penduduk asli suku Dayak Kenyah. Mereka berebut kayu di Taman Nasional Kutai.

Tentu saja, menebang kayu dari taman nasional merupakan tindak kejahatan. Tapi, tidak ada yang bisa mencegah pembalakan ilegal di taman nasional yang berdiri pada 1982 itu. ”Mereka kini telah merambah 15 persen dari sekitar 200 ribu hektare lahan taman nasional,” kata Agus Budiono, Kepala Balai Taman Nasional Kutai.

Dampak pembalakan ini sungguh buruk bagi satwa di hutan itu. Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Timur mencatat, populasi satwa khas Borneo seperti orangutan (Pongo pygmaeus), bekantan (Nasalis lavartus), rusa, banteng, primata, dan beruang madu telah berkurang. Begitu juga dengan ribuan jenis burung. Jumlah orangutan di wilayah itu, menurut Agus, saat ini tinggal 500 ekor!

Daya dukung Taman Nasional Kutai sebagai kawasan konservasi air bagi wilayah di sekitarnya juga kian kritis. Kini setiap musim hujan terjadi banjir di beberapa kota di sekitarnya—dari Kutai Barat, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Bontang, hingga Samarinda. ”Ini karena daerah tangkapan air tidak seimbang lagi,” kata Izal Wardana, pemimpin Walhi, Kalimantan Timur.

Menurut Agus, biang keladi perambahan di Taman Nasional Kutai adalah jalan raya Trans-Kalimantan. ”Jalan sepanjang 53 kilometer itu membelah taman nasional,” ujarnya. Buktinya gampang dilihat.

Ketika jalan ini mulai dibuka pada 2000, menurut Agus, pohon ulin dan meranti sebesar pinggang kerbau menjadi benteng alam di kiri dan kanan jalan. Sadar bahwa kayu itu bernilai tinggi, pengelola taman nasional membentang pagar besi dari kilometer 30 hingga 38.

Eh, pagar itu malah menjadi bonus pendapatan buat para pembalak. Pagar lenyap, kayu pun hilang. Yang ada di sepanjang ruas itu sekarang adalah perkebunan pisang, lada, dan jagung.

Di kilometer 50–53 bahkan berdiri tempat hiburan karaoke, kantor salah satu partai politik, terminal, hingga pompa bensin. Hanya kawasan wisata alam Sangkima yang masih berbentuk hutan.

Pendatang pertama ke ruas jalan itu adalah warga dari suku Bugis dan Makassar. Mereka berasal dari seantero Kalimantan Timur. Mulanya mereka hanya membuka kebun dengan pondok seadanya. Lama-kelamaan, mereka mendirikan rumah. Mereka juga mulai mengkapling-kapling tanah di sekitarnya. Bukan untuk memperluas kebun, tapi untuk diperjualbelikan.

Awal tahun ini, warga asli setempat dari suku Danyak Kenyah ikut berdatangan ke ruas itu. Mereka berasal dari sekitar taman nasional. Tapi, Jiuhardi, tokoh masyarakat Dayak setempat, mengatakan bahwa mereka datang bukan untuk merambah hutan. ”Kami justru turut menjaga kelestarian taman ini,” ujar dia. ”Pemerintah daerah harus bertindak adil dan melibatkan penduduk asli dalam pemanfaatan kawasan taman nasional.”

Walhi mengaku melihat skenario besar di balik kedatangan warga ke ruas itu. Ia menengarai, para pebisnis tengah berupaya untuk merebut taman nasional ini. ”Untuk bisnis pertambangan batu bara,” katanya.

Memang, kawasan Taman Nasional Kutai memendam banyak batu bara. Gara-gara bahan tambang inilah, pada 1997 dan 1998 kebakaran hebat di hutan ini susah dipadamkan. Saat itu lahan seluas 71.098 hektare—sekitar 35,75 persen dari luas taman nasional—hangus.

Taman nasional ini juga sudah terkepung industri emas hitam ini. Di tepi utara ada perusahaan pertambangan batu bara milik PT Kaltim Prima Coal (KPC). Di selatan dan barat ada perusahaan batu bara PT Indominco, perusahaan HPH PT Sumalindo Hutani Jaya-PT Surya Hutani Jaya. Di timur tidak ada tambang batu hitam ini, tapi di sana berdiri industri PT Pupuk Kaltim dan industri peng olahan gas alam cair PT Badak NGL Co.

Bupati Kutai Timur Awang Faroek Ishak membantah kemunculan warga sebagai bagian dari upaya pebisnis untuk menganeksasi taman itu. ”Kami tetap ingin wilayah ini menjadi daerah konservasi hutan,” ujarnya.

Awang malah menuduh, biang keladi potensi kisruh di Sangatta adalah Menteri Kehutanan. Sejak awal tahun 2000, ketika menjabat Pelaksana Harian Bupati Kutai Timur, ia sudah mengusulkan kepada Menteri Kehutanan agar melepaskan 24 ribu hektare lahan di taman itu untuk 24 ribu warga. Pasalnya, keberadaan warga di taman itu tak bisa diabaikan.

Puluhan ribu warga di empat desa definitif ini, yakni Sangatta Selatan, Singadewe, Sangkima, dan Teluk Pandan, sudah ada sebelum tempat itu dijadikan taman nasional. ”Tapi Menteri Kehutanan terlambat menindaklanjuti permohonan pengalihan lahan,” ujarnya. ”Bola liar sekarang di tangan Menteri Kehutanan.”

Namun, menurut Sihabuddin, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur, Awang yang melepas bola liar itu. Meskipun usulan Awang belum disetujui Menteri Kehutanan, ujarnya, usulan itu menjadi tiket bagi warga untuk datang ke wilayah itu. ”Mestinya pemerintah daerah dan kepolisian lebih tegas dalam penegakan hukum,” ujarnya.

Komisaris Besar I Wayan Tjatra mendadak-sontak menolak tudingan bahwa polisi tidak bertindak tegas. Menurut dia, polisi kesulitan menghentikan pembalakan di taman nasional itu karena jumlah personel sangat sedikit dibandingkan luas kawasan taman nasional. Siapa yang salah menurut polisi?

Wayan menuding kesalahan itu bermula dari keputusan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk membangun jalan tembus Bontang-Sangatta. ”Coba tidak ada jalan tembus,” ujarnya. ”Membuat jalan tembus sama saja dengan memancing warga untuk merambah hutan.”

Toh, kerusakan sudah terjadi dan konflik makin memuncak di Taman Nasional Kutai. Untuk mencari jalan keluarnya, menurut Sihabuddin, saat ini sudah dibentuk tim antarlembaga guna membahas rasionalisasi luasan Taman Nasional Kutai. Tim tersebut melibatkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang mewakili Departemen Kehutanan, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat. ”Hasil rumusan tim gabungan bakal disampaikan ke Menteri Kehutanan untuk dibahas bersama DPR,” ujarnya.

Untung Widyanto, S.G. Wibisono (Kutai Timur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus