Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah sunyi setengah tengadah Menangkap sepi padang senja Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
SENJA, tampaknya, punya kesan khusus bagi Toto Sudarto Bachtiar. Seperti ketika ia, dengan sangat lembut, menulis larik-larik Ibukota Senja, yang sangat terkenal pada 1957-1958, bahkan jauh setelah 1960-an—dan sempat dianggap sebagai ”ikon” Jakarta.
Tetapi, Selasa dua pekan lalu, ketika ia harus pergi untuk selama-lamanya, penyair yang halus dan terkesan ”sendu” itu berangkat pada pagi dini, tak terlalu lama setelah azan subuh. ”Beliau wafat pada pukul 05.50,” kata Didin Kusdiana, 45 tahun, menantunya.
Toto Sudarto Bachtiar dilahirkan di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, pada 12 Oktober 1929. Putra Islapi Kartasasmita ini mulai bersekolah di Cultuurschool Tasikmalaya, kemudian melanjutkan pendidikan ke MULO di Bandung. Setelah menamatkan SMA di Bandung, 1950, Toto masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hanya sempat dua tahun.
Untuk pengamat sastra yang suka menggolong-golongkan penyair ke dalam ”angkatan”, Toto Sudarto Bachtiar bisa merupakan pengecualian. Tak ada catatan akurat tentang kapan ia mulai menyair. Tetapi buku kumpulan sajaknya yang pertama, Suara, terbit pada 1956, ketika ia berusia 27 tahun.
Usia itu termasuk ”tua” jika dibandingkan dengan, misalnya, kesuburan bersajak Rendra, apalagi Ajip Rosidi, yang menerbitkan bukunya yang pertama pada usia 14 tahun (Tahun-tahun Kematian). Suara memperoleh Hadiah Sastra Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional 1957, penghargaan sastra paling bergengsi pada masa itu.
Setelah puisi-puisi ”Angkatan 45” yang ”menggelegar” dan ”membakar”, kehadiran Toto Sudarto Bachtiar bagaikan angin sejuk yang mempesona. Dari zaman itu, sajak-sajak Toto bisa disandingkan dengan larik-larik Ramadhan K.H., seperti yang terhimpun dalam kumpulannya, Priangan si Jelita.
Jika Chairil Anwar menulis Krawang-Bekasi yang ”menggugat”, Toto Sudarto Bachtiar mencipta Pahlawan Tak Dikenal, tetap dengan suasana teduh:
Dia tidak ingat bilamana dia datang Kedua lengannya memeluk senapang Dia tidak tahu untuk siapa dia datang Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur, Sayang.
Setelah buku kumpulan sajaknya yang kedua, Etsa, 1958, Toto seperti surut dari kancah penciptaan puisi. Ia kemudian ”beralih profesi”, menjadi pelatih tenis. Tetapi, sesungguhnya, Toto bukannya sama sekali meninggalkan dunia kesastraan. Ia menjadi penerjemah sastra yang produktif.
Dari tangannya mengalir karya terjemahan Pelacur (Jean Paul Sartre), Pusaran (Tennessee Williams), Sulaiman yang Agung (Harold Lamb), Bunglon (Anton P. Chekov), Pertempuran Penghabisan (Ernest Hemingway), Sanyasi (Rabindranath Tagore)—antara lain. Beberapa karya terjemahan itu diangkat ke panggung oleh berbagai kelompok teater di Tanah Air.
Meski terkenal rajin berolah raga, terutama tenis, tak urung pada 1998, dalam usia 69 tahun, Toto mendapat serangan jantung. Tapi kesehatannya pulih lagi, dan ketika berangkat ke Ciamis, ke rumah seorang kerabatnya, dua pekan lalu itu, keadaannya sehat walafiat.
Pagi itu, sebetulnya, ia sedang menunggu jemputan kendaraan yang akan membawanya kembali ke Bandung. Hari-hari terakhir ini pun ia sedang mengurus hak cipta sebuah naskah asing yang telah selesai diterjemahkannya dan siap diterbitkan. Ia meninggalkan seorang istri, Zainar, seorang anak, Sri Adilah Parikasih, dan dua cucu.
Selasa petang itu juga, jenazahnya dikebumikan di pemakaman umum Gurumuh, Kota Bandung, diantar sanak saudara dan para sahabat. Ketika jenazah diturunkan ke liang lahat, dari masjid terdekat terdengar kumandang azan asar. Lalu senja yang merambat perlahan, mengantar sang penyair pulang.
Muhammad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo