Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERIBUTAN kecil terjadi di depan Masjid At-Taqwa Kota Cirebon pada 5 Oktober lalu. Petang itu, warga setempat yang hendak menunaikan salat magrib dikejutkan oleh aksi pencopotan spanduk oleh sejumlah orang tak dikenal.
Tiga lembar spanduk lenyap dalam sekejap dari pagar masjid. Inilah isi tulisan di ketiga spanduk: ”Kapolres tukang fitnah,” ”Kapolres terima Rp 150 juta per minggu,” dan ”Mana yang lebih baik: memakai barang bukti atau korupsi?”
Selang beberapa saat, seseorang—dari balik satu mobil—mencoba merebut spanduk itu sambil berteriak, ”Jangan diturunkan. Biar semua orang tahu!” Dialah Komisaris Polisi Nurhadi, pemasang tiga spanduk itu, yang kemudian kabur bersama mobilnya.
Tak jauh dari halaman masjid, di dekat kantor surat kabar Mitra Dialog, terpampang spanduk lain bertulisan ”Rp 50 juta hanya untuk bangun WC”. Ini juga diturunkan dengan paksa. Aksi pencopotan itu ternyata dilakukan oleh tim Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Cirebon, dipimpin Ajun Komisaris Nanang S.P.
Perang pasang-copot spanduk merupakan bagian dari kisruh transaksi dan pemakaian dua mobil hasil curian: Honda CRV dan Nissan X-Trail, yang diduga melibatkan dua awak kepolisian dan seorang anggota TNI di Cirebon. Nurhadi, salah satu tertuduh, membentangkan spanduk-spanduk itu lantaran sewot setelah keterlibatannya dibongkar Kepala Polres Cirebon Ajun Komisaris Besar Syamsul Bahri.
Malam itu juga Nurhadi dikejar oleh tim pimpinan Ajun Komisaris Besar Azril Alius. Sekitar pukul 19.45, bekas Wakil Kepala Polres Cirebon ini dicokok di dekat Pasar Rajagaluh, Majalengka, Jawa Barat. Nurhadi digelandang ke bagian Profesi dan Pengamanan Markas Kepolisian Daerah Jawa Barat di Bandung.
Selain Nurhadi, mereka yang diduga terlibat adalah mantan Kepala Polres Cirebon Ajun Komisaris Besar Pujiyono Dulrachman, anggota Komando Resor Militer 063 Sunan Gunung Jati Kapten Badlowi, dan warga sipil yang ditengarai menadah mobil bernama Hengki Sulistyo.
Syamsul mengaku heran atas keterlibatan koleganya. Apalagi ketika pengusutan kasus ini dimulai pada September lalu, Nurhadi yang saat itu perwira penyidik di Polda Jawa Barat sempat bekerja sama dengan dia lima bulan.
Kisah ini berawal dari transaksi pembelian mobil Honda CRV oleh seorang warga Cirebon bernama Tin Nurtini pada Mei 2005. Mobil keluaran 2003 itu dia bayar Rp 185 juta dari Badlowi, tentara aktif yang punya usaha sampingan jual-beli kendaraan bermotor.
Sebelum Honda CRV diserahkan, Badlowi meminjamkan Nissan X-Trail hitam kepada Tin. Perempuan ini bermukim di kawasan Weru, Kabupaten Cirebon. ”Kami baru bayar Rp 85 juta. Sisanya akan dilunasi setelah mobil pesanan datang,” ujar Tin kepada Tempo.
Pada akhir Desember 2005, pesanan datang dan diantarkan sendiri oleh Badlowi. Tin dan suaminya, Cholis, sumringah menyambut kedatangan mobil silver dengan mesin bersuara halus itu. Masalah muncul empat bulan kemudian.
Ajun Komisaris Nanang S.P. menemui Tin pada 26 April 2006. Dia membawa kabar buruk: Honda CRV miliknya ternyata barang curian. ”Suami saya meninggal gara-gara memikirkan mobil itu,” tutur Tin mengenang pengalaman pahit tersebut.
Polisi kemudian memberitahunya bahwa Honda CRV itu sesungguhnya ”koleksi” Polres Cirebon. Namun, oleh Ajun Komisaris Besar Pujiyono Dulrachman—Kepala Polres Cirebon sebelum Syamsul Bahri—mobil sitaan itu dijual ke Hengki Sulistyo Rp 160 juta.
Belakangan diketahui bahwa Hengki memalsukan alamat kartu penduduknya di Asrama Polisi Kaliwadas, Jakarta. Dari Hengki mobil itu lalu dilego ke Tin melalui Badlowi.
Dari pelacakan polisi pula diketahui bahwa Honda CRV awalnya dimiliki oleh Budiarti Winarti, seorang warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Tadinya bernomor polisi B-117-WV, mobil itu dibawa kabur oleh Warsono, sopir pribadi Budiarti, ke Pekalongan dan dijual ke salah seorang penadah. Tak lama kemudian terbitlah faktur palsu Honda CRV. ”Dari faktur palsu itulah keluar surat-surat mobil,” ujar Syamsul.
Singkat cerita, aksi jual-beli mobil kian mulus setelah Pujiyono disebut-sebut memerintahkan pencabutan pemblokiran Honda CRV di Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Mobil berpindah ke tangan Hengki dengan perubahan nomor polisi Honda CRV menjadi E-999. ”Pak Pujiyono yang menjual ke Hengki,” kata Syamsul.
Setali tiga uang, Nissan X-Trail yang dipinjamkan Badlowi kepada Tin pun ternyata juga barang hasil curian yang disita Polres Cirebon. Tapi, anehnya, barang sitaan itu tidak terdaftar dalam buku register. Malah, kata Syamsul, ”Awalnya X-Trail itu bernomor B-2041-QU, tapi kemudian diubah menjadi E-1888-KG oleh Nurhadi.”
Nurhadi tidak terima dituding seperti itu. Dia membantah telah mencomot begitu saja mobil tersebut dari parkiran barang sitaan Polres Cirebon. Menurut dia, pemakaian Nissan X-Trail berdasarkan surat pinjaman mobil dari Kepala Polres Ajun Komisaris Besar Pujiyono Dulrachman—yang belakangan juga diketahui Syamsul Bahri. Tapi Syamsul menyangkalnya.
Nurhadi naik pitam. Ia lantas mendatangi ruang kerja Syamsul untuk menantangnya ”duel”. Karena dihalang-halangi anak buah Syamsul, niat Nurhadi tak kesampaian. Dia kemudian memasang spanduk berisi kecaman terhadap Syamsul.
Penanganan kasus yang mencoreng korps kepolisian dan TNI ini masih belum jelas ujungnya. Keberadaan Nurhadi sepertinya sengaja disembunyikan. Begitu pula Pujiyono, yang masih aktif sebagai Wakil Kepala Kepolisian Wilayah Cirebon, tak pernah bisa ditemui di kantornya.
Menurut Kepala Kepolisian Wilayah Cirebon Komisaris Besar Bambang Pudji Raharjo, wakilnya itu masih aktif dan bertugas seperti biasa. Ia pun menolak tudingan melindungi Pujiyono. ”Saya tidak tahu, itu urusan Polda,” ujarnya. Tapi, yang jelas, ”Dia kerap menjalani pemeriksaan di Polda Jawa Barat.”
Juru bicara Polda Jawa Barat Komisaris Besar Dade Ahmad mengatakan, hasil pemeriksaan terhadap Nurhadi dan Pujiyono belum selesai. ”Materi pemeriksaan berkaitan dengan kasus barang sitaan yang mereka pakai,” kata Dade ketika dihubungi Tempo pekan lalu.
Status mereka, menurut Dade, masih sebatas saksi. Tim pemeriksa tak cuma Polda Jawa Barat, tapi juga dari Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Polri. Yang pasti, polisi tidak dibenarkan memakai barang sitaan dengan alasan apa pun. ”Tidak ada istilah pinjam barang sitaan,” tutur Dade. ”Apalagi sampai tidak ada laporan peminjaman.”
Jawaban lebih tegas datang dari Kepala Staf Komando Resor Militer 063 Sunan Gunung Jati, Letnan Kolonel Ahmad Saifudin. Menurut dia, Badlowi memang diindikasikan terlibat penggelapan mobil. Bahkan keterlibatannya, menurut Ahmad, tidak kali ini saja. ”Sudah tiga kali. Dia sedang dalam proses hukum,” katanya.
Kasus ini cukup menyedot perhatian media massa di Cirebon serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Di antaranya Praktisi, sebuah LSM yang aktif menyoroti kasus-kasus hukum di wilayah tersebut. Direktur Praktisi, Rudhi M. Noer, mendesak Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto agar tidak pilih kasih dalam mengungkap kasus yang melibatkan anggota kepolisian. Mengutip Rudhi: ”Pemakaian barang bukti, apalagi sampai memperjualbelikannya, merupakan kesalahan besar.”
Elik Susanto, Ivansyah (Cirebon), Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo