Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA Anda bermukim di satu dari lima provinsi ini, waspadalah. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mencatat, dari 918 lokasi rawan longsor di seluruh Indonesia, lebih dari separuhnya berada di Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Apalagi dengan musim hujan yang sudah di depan mata. Limpahan air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah, yang memperbesar potensi terjadinya longsor. Kerugian setahun akibat tanah longsor sedikitnya Rp 800 miliar—selain sekitar satu juta jiwa terancam.
Berbeda dengan jenis bencana lain, seperti tsunami atau banjir lahar dingin, yang kini sudah bisa diantisipasi melalui sistem peringatan dini (early warning system) yang cukup akurat, prediksi terjadinya tanah longsor praktis tertinggal beberapa langkah. Sebagai perbandingan, di lereng Gunung Merapi saat ini sudah terpasang enam unit instrumen peringatan dini jika sewaktu-waktu vulkan itu meletus.
Di Kabupaten Banjarnegara, yang juga terletak di Jawa Tengah, sampai tahun lalu masih terjadi longsor yang nyaris mengubur semua penduduk Desa Sijeruk. ”Belum lagi beberapa desa di Kecamatan Banjarmangu, Kejawaran, Karangkobar, Batur, Pagentan, serta Kalibening,” ujar Kukuh Hariyadi, Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, dengan cemas.
Kini, barangkali, kecemasan Kukuh bisa berkurang. Di Desa Kalitlaga, Kecamatan Pagentan, sejak awal September lalu sudah terpasang enam unit alat pendeteksi dini tanah longsor yang dikembangkan oleh Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. ”Sebanyak 37 keluarga setuju direlokasi untuk pemasangan alat ini,” kata Kukuh. Enam unit yang dipasang itu adalah tiga ekstensometer manual, dua ekstensometer otomatis, dan satu alat penakar curah hujan otomatis, yang dirancang dan dikalibrasi selama dua bulan dengan biaya Rp 150 juta. Kedua jenis ekstensometer dilengkapi anglemeter dan sirene.
Ekstensometer bekerja dengan merekam perubahan perbedaan jarak antara dua titik di lokasi retakan (crack). Jika di sebuah tempat terjadi pergeseran titik sepanjang 4-5 sentimeter, sirene akan meraung mengingatkan bakal terjadi longsor. ”Untuk ekstensometer manual, akurasi pembacaan alat ini sampai dengan toleransi 1 milimeter,” ujar Prof Dr Dwi Korita Karnawati, pakar geologi yang menjadi pemimpin proyek. Untuk ekstensometer otomatis, kepekaannya lebih tinggi karena mampu membaca hingga toleransi 0,2 milimeter.
Adapun anglemeter adalah peranti yang memantau kemiringan lereng akibat gerakan tanah. Hasil pemantauan terekam otomatis pada grafik yang menggunakan kertas khusus. ”Penggantian kertas dilakukan satu minggu sampai satu bulan sekali, sesuai dengan kebutuhan, dan dilakukan oleh masyarakat setempat,” tutur Karnawati, yang menyatakan optimismenya bahwa masyarakat tak akan kesulitan melakukan tugas ini.
Alat penakar curah hujan otomatis membaca tingkat curah hujan hari an, atau pada jam-jam tertentu yang diinginkan, sebagai input bagi pembacaan ekstensometer. Instrumen ini bisa disetel untuk ”menjeritkan” sirene jika curah hujan mencapai tingkat tertentu atau berlangsung dalam periode waktu tertentu.
Untuk mengoperasikan ketiga alat itu, energi yang digunakan berasal dari aki kering, bukan listrik. Arus listrik hanya digunakan untuk mengisi daya jika sel-sel aki melemah. Penggunaan aki akan sangat membantu jika longsor terjadi di malam hari dan arus listrik terputus. Kinerja alat pendeteksi dini tak akan terganggu oleh ketiadaan suplai listrik.
Seluruh alat ini dilengkapi dengan manual dalam bahasa Indonesia. ”Dan yang paling memudahkan, alat ini bisa dijinjing (portable) sehingga bisa digunakan dengan cepat untuk lokasi longsor yang lain,” kata Dr Ir Faisal Fathani dari Teknik Sipil UGM, yang menjadi anggota tim.
Sebetulnya, instrumentasi serupa sudah banyak dikembangkan oleh pabrikan luar negeri. Kendalanya selalu menyangkut harga yang mahal dan proses pe rawatan alat yang sulit dilakukan masyarakat awam. Itulah yang menyebabkan tim UGM memodifikasi alat-alat itu dalam bentuk yang lebih sederhana tanpa mengurangi kemampuannya.
Akhir Oktober ini, enam alat serupa akan dipasang di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Belum jelas kapan wilayah Jawa Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Yogyakarta, yang justru memiliki wilayah rawan longsor dibanding Jawa Timur, akan mendapatkan pasokan alat serupa dari Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, yang merupakan mitra Fakultas Teknik UGM dalam penyediaan alat.
Jika untuk instalasi di satu provinsi dibutuhkan dana Rp 150 juta, kebutuhan biaya di lima daerah paling rawan itu baru Rp 750 juta, jumlah yang mestinya tak menyulitkan pemerintah provinsi dibanding jika semuanya telah menjadi bubur—dan entah berapa warga yang terkubur.
Akmal Nasery Basral, Syaiful Amin (Yogyakarta)
Jenis Tanah Longsor
ADA enam jenis tanah longsor yang dikenali para ilmuwan. Dua yang paling sering terjadi di Indonesia adalah longsor translasi dan longsor rotasi. Empat lainnya adalah pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan, yang paling banyak memakan korban jiwa.
Longsoran Translasi Pergerakan massa tanah dan batuan pada bidang gelincir rata atau bergelombang landai.
Longsoran Rotasi Pergerakan massa tanah dan batuan pada bidang gelincir cekung.
Rayapan Tanah Pergerakan tanah yang berlangsung lambat, sehingga tak bisa dikenali dengan cepat. Contoh dari jenis ini terlihat pada posisi tiang telepon, pohon, atau bahkan rumah, yang terlihat miring setelah beberapa waktu.
Runtuhan Batu Pergerakan sejumlah besar batuan atau material lain ke arah bawah dengan cara jatuh bebas. Biasanya terjadi pada lereng terjal di daerah pantai.
Pergerakan Blok Perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir rata. Disebut juga longsoran translasi blok batu.
Aliran Bahan Rombakan Pergerakan massa tanah yang didorong oleh air. Kecepatan aliran bergantung pada kemiringan lereng, volume, dan tekanan air, serta jenis material. Longsoran seperti ini bisa terjadi ratusan sampai ribuan meter dan biasa terjadi di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Menimbulkan korban jiwa paling banyak dibanding lima jenis longsor lain.
Ilustrasi: DNA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo