BILA disuruh mendisain gedung tinggi, atau suatu kota modern
sekalipun, para arsitek dari 23 negara itu yang berkumpul di
Bali Room Hotel Indonesia Sheraton pasti mengatakan: "Itu
gampang, bukan soal." Problim bagi mereka ialah Urban Villages
atau perkampungan di kota, seperti yang banyak dijumpai di
negara berkembang umumnya. Dan itulah tema diskusi mereka selama
4 hari dua pekan lalu.
Terutama bagi arsitek Indonesia, tema itu masih baru. "Mana
arsitek kita yang sudah pernah mendisain kampung?" tanya
Bianpoen, pejabat (PPMPL) DKI yang aktif menyelenggarakan
seminar itu. Mereka melanjutkan pertemuan Kelompok Kerja Habitat
di Cekoslovakia tahun 1976. Ikatan Arsitek Indonesia menjadi
anggota kelompok itu.
Perkampungan di kota terjadi umumnya akibat arus perpindahan
dari desa-sering disebut urbanisasi. Umpamanya penduduk Bangkok,
menurut arsitek Arporn Chanchareonsook, meningkat dengan 6,82%
setahun, dibanding 3,64% di seluruh Thailand.
Yona Friedman, arsitek tersohor dari Perancis, mengupas
persoalan ini bagi arsitektur dan lingkungan. Jean Henri Calsat,
juga dari Perancis, yang menjabat sekretaris kelompok itu,
mengiringi pembahasannya dengan slides yang menggambarkan
gumpalan awan, padang luas, pohon serat dengan sinar dan angin
lembah sungai dan binatang. "Tidak perlu kita memaksakan
formula," kata Calsat. "Penanganan wilayah tertentu tergantung
pada karakter fisik benda maupun daerahnya."
Tapi perencanaan pemukiman bagaimana yang sesuai Profesor
Koentjaraningrat dari FS-UI mengemukakan bahwa bagi mayoritas
orang Indonesia, rumah yang dikotak-kotak dengan pagar tinggi
dan menjaga kehidupan pribadi tidak terlalu dihargai. "Fungsi
rumah bagi orang Indonesia hanya untuk istirahat, masak dan
makan. Sebagian besar kegiatannya berada di luar," katanya.
Arsitek F. Silaban yang mendisain Mesjid Istiqlal melihat segi
yang sama. "Biar bagaimanapun, rumah tersederhana pun di kampung
mempunyai emper. Orang belum akan masuk ke rumah kalau belum
tidur," kata Silaban.
Bagi banyak peserta asing persoalan ini masih baru. Maka seminar
ini dianggap berhasil, meskipun hasilnya kurang spesifik.
Setidaknya, demikian Robert van der Hoff dari Centre for Human
Settlements di Nairobi, seminar ini menimbulkan kesadaran akan
masalah Urban Villages dan mewujudkan iktikad positif untuk
menanggulanginya di masa depan. Van der Hoff yang kini
ditempatkan di Burundi datang ke seminar itu sebagai pengamat.
Ia menyatakan ingin bekerja di Indonesia karena "ikatan
sentimentil" melalui isterinya yang orang Indonesia.
Tapi sebagian peserta lokal menyangsikan seminar begini
bermanfaat bagi Indonesia. Jakarta sudah cukup berpengalaman,
umpamanya, dengan proyek MHT untuk perbaikan kampung. Menurut
Bianpoen, sekitar 60% areal Jakarta merupakan pemukiman kampung
di kota. Kampung itu menampung 80% penduduk ibukota.
Sering perbaikan ini tidak menyentuh perbaikan kondisi sosial
penduduk setempat. Fasilitas yang sudah dibangun tidak mereka
rawat.
"Banyak hal memang (dalam seminar itu) sudah diketahui
dan.dilaksanakan oleh DKI," komentar Suwondo B. Sutejo, dosen
FT-UI. Namun dianggapnya ada hal baru yang masih perlu
difikirkan di sini. Dari peserta asing dalam seminar itu,
seperti Rubalcava dari Meksiko dan Friedman dari Perancis itu,
juga lahir gagasan baru. Mereka pernah lama berkecimpung
membantu orang miskin supaya lingkungan hidup mereka di kota
tidak terlalu buruk.
Suwondo terutama tertarik pada rekomendasi seminar ini supaya
penduduk perkampungan di kota jangan dianggap sebagai beban,
atau sebagai penduduk kelas dua, tapi anggaplah mereka itu juga
mempunyai potensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini