Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mengobral senyum, menguras tenaga

Tujuh sekolah menengah karawitan berpekan orientasi pendidikan kesenian di tim. masing-masing mempertunjukan seni tradisional setempat, ternyata tunas seniman tradisi kita tetap bermunculan. (tr)

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR September, 3 sekolah menengah senirupa, 2 SM musk dan 7 SM karawitan ber-Pekan Orientasi Pendidikan Kesenian di TIM. Dibiayai Departemen P & K, acara ini memang yang pertama. Berikut ini hasil wawancara TEMPO dengan Sal Murgiyanto penari dan penulis tari anggota Dewan Kesenian Jakarta, ditambah tulisan Sal sendiri tentang kesannya mengikuti acara tar1. ADA 7 buah sekolah menengah karawitan: di Yogya, Surakarta, Bandung, Denpasar, Surabaya, Padang Panjang dan Ujung Pandang. Masing-masing dengan pokok studi seni pertunjukan tradisional setempat. Yang tertua, SMKI Surakarta, berdiri tahun 1950. Yang termuda lahir tahun 1974 di Ujung Pandang. Selama 4 hari itu tak kurang 17 macam pertunjukan dipergelarkan di 3 tempat Teater Arena, Teater Besar dan Teater Tertutup TIM. Menggembirakan: ternyata tunas seniman tradisi kita tetap bermunculan di berbagai wilayah. Yang menarik dari penampilan sekolah-sekolah ini, sementara mereka masih belia, penguasaan teknik gerak tari daerah cukup membuat mahasiswa tari cemburu. Memang benar, penguasaan gerak tari mata belum memadai. Penari yang baik harus pula mampu memproyeksikanisi atau jiwa tarian. Bahwa itu belum terasa hadir, agaknya karena usia muda itulah. Wujud dan gerak lahiriah kelihatannya lalu lebih diperhatikan. Ini nampak dari pilihan nomor tari, kostum serta pendekatan penampilan -- yang kebetulan sesuai dengan selera sebagian penonton yang diundang pelajar SLTP dan SLTA. Nomor tari yang meriah nampakny lebih disenangi. Nomor yang tenang dan anggun, seperti Srimpi, Menak Putri dan Pakkarena misalnya, kurahg mendapat sambutan. Beberapa di antara yang meriah itu memang cukup menarik: Ngremo (Surabaya), Wirasakti (Surakarta) ewang di Langik (Padang Panjang) dan Naya Lembana (Bandung). Yang agak mengkhawatirkan, beberapa tarian sejenis nampaknya hanya bersifat suka-ria, tanpa usaha menghadirkan bobot. Tak Harus Lusuh Dalam beberapa nomor tari tersebut penari seakan yakin bahwa yang mereka bawakan tidak akan menarik, jika tanpa mengobral senyum. Akibatnya komposisi gerak yang sudah cukup bagus dan serius, cair. Demikian juga pilihan warna kostum yang serba menyala dengan warna emas mirip fashion show--tanpa pertimbangan apakah paduan warna tersebut serasi disorot lampu pentas. Kostum tari memang tak harus lusuh, tapi tentunya harus menunjang karakter dan isi tarian. Pemilihan warna yang sesuai dengan watak dan ciri khas daerah asal ta,rian, juga kurang diperhatikan. Untuk Jawa misalnya, kombinasi-kombinasi bata lumuten (bata berlumut), pareanom (warna buah pare muda), alas kobar (warna hutan terbakar) dan warnawarna tanah, telah ditinggalkan. Diganti dengan pilihan yang lebih semarak. Jika penari wanita banyak yang murah senyum, penari pria banyak yang menguras tenaga. Enersi diberikan lebih dari yang dibutuhkan: tarian kelewat bersemangat, memberi kesan (ngoyo), memaksakan diri, kurang wajar. Pentingnya vokal bagi penari pun belum disadari oleh banyak SMKI. Pelajaran vokal agaknya hanya diberikan kepada siswa jurusan karawitan dan pedalangan -- padahal olah vokal dan antawecana (dialog) adalah bagian seni Tari tradisi yang tak bisa diabaikan. SMKI Yogyakarta, misalnya. Dalam penampilan Gatutkaca Suwargo dan Ragil Kuning (yang menggunakan dialog), penari halus dan puterinya lebih mengendap dibanding penampilan sekolah itu dalam Lawung, Klono Topeng atau Triyonggo Takon Bapa. Peranan lembaga resmi seperti sekolah menengah kesenian ini memang besar. Awam biasanya menganggap apa-apa yang keluar dari sekolah itu sah dan baik -- teladan, begitulah. Di Bali misalnya, sering mahasiswa Akademi Tari harus menjadi juri di kampungnya dan menilai gurunya, hanya karena dia dianggap lebih tahu karena sekolah di akademi pemerintah. Padahal gurunya (dosen luar biasa karena tak berijazah), jelas lebih masak. Tetapi memang tidak perlu sekolah kesenian mengikuti selera umum. Mustinya yang terutama digumulinya adalah bobot: nilai-nilai keseniannya, baik yang tradisi maupun eksperimen baru. Kecenderungan untuk hanya menghibur serba gemerlap, kiranya tidak pas dengan tanggung jawab yang diberikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus