ADA yang menarik pada Arifin kali ini. Sandiwaranya, Sandek,
Pemuda Pekerja, kurang meriah dibanding yang sudah-sudah.
Kurang "atraksi", setidaknya begitulah terasa pada sebagian
besar penonton yang tidak begitu padat. Kurang gerrr.
Sandek, dimainkan di Teater Tertutup TIM 24 - 30 September,
disebut Arifin sebagai bagian IIb dari Orkes Madun. Bagian
pertama, diberi judul Madekur dan Tarkeni, dimainkan di tempat
yang sama 1974. Yang ke-IIa, Umang-Umang, 1976 di Teater Arena.
Nomor-nomor itu memang menunjuk pada sesuatu dalam kepala
Arifin. Di tubuh seniman yang baru kembali dari pergulatan di
film itu, rupanya hidup sesuatu yang bereaksi timbal-balik
antara "atas" dan "bawah". Seperti kaca yang dipasang di langit,
sinarnya mencapai tanah. Seperti benang takdir. Untuk itu
dihidupkannya tokoh Waska, nama lain bagi Sernar, si dewa
ngejawan, "dewa menjelma".
Waska ada dalam Madekur dan Tarkeni, yang berkisah tentang
"percintaan & perjuangan" pencopet dan isterinya, pelacur.
Dalam Umang-Umang Waska menjadi tokoh sentral --diberi peran
"rasul kejahatan". Lakon Sandek sendiri mengandung bagian
penutup dari nomor Umang-Umang--kemudian baru kisah Si Sandek
yang dituturkan sebagai anak Waska.
Semar naik pesawat angkasa, agaknya. Ia pergi mencari mati yang
sudah lama diidamkannya. Dan cerita bermula pada saat-saat
perpisahan -- ketika muncul seorang anak yang mengaku anak Waska
dari salah-satu isterinya yang tercecer, kemudian "dibaptis"
dengan siksaan, dan akhirnya ditinggalkan di bumi sebagai
"penerus". Dalam lingkungan apa Sandek ditempatkan? Bersama
saudara-saudaranya yang sudah di panggung dalam lingkungan
pabrik, sebagai buruh.
Maka inilah sebuah cerita sosial. Ada anak-anak yang bekera di
bawah umur -- seperti Si Oni, pacar Sandek "yang bahkan belum
haid". Ada masalah murahnya tenaga kerja dan "rendahnya
keahlian". Ada peristiwa kegemaran berburu para majikan yang
membawa akibat tertembaknya seorang buruh --dan si tuan
menyesali karena yang mati ternyata "tak bermutu" -- bukan babi
yang gemuk. Ada suara-suara mesin. Ada sirene pabrik, dan suara
bayi di perkampungan buruh yang baru lahir (dan layar diangkat
khusus untuk dua suara ini). Ada pula, tertu saja, pemogokan --
atau hampir pemogokan, "karena, ingat, mogok itu dilarang," kata
seorang tokoh. Protes yang sengit?
Bukan. Ini bukan sandiwara yang tegang lantaran menahan marah.
Ia memang memberi kesan dimainkan dalam "posisi berdiri"
kaki-kaki para buruh yang di panggung menggebrak-gebrakkan
tongkat, dalam set bikinan Roedjito yang asosiatif. Namun
variasi dari suara dan tangis perempuan, bersama banyolan keras
dan tawa Waska atau yang di situ berfungsi sebagai pengantar
cerita, dan stilisasi ucapan dan gerak yang rampak, memberi
banyak peluang untuk melihat sebuah panggung yang basah.
Pemain Jadi
Ditambah para pemain yang mengingatkan bahwa inilah tinggal
satu-satunya grup -- setelah Teater Populer yang punya para
pemain yang sudah jadi, sebagian sudah sepuluh tahun dalam grup,
yang tak ada lagi punya problim teknis elementer -- kecuali
vokal dari satu dua, misalnya pada Willem. Toh pemeran Sandek
ini sama sekali tak buruk--meski malam itu rasanya tidak sederet
dengan Nunuk Chaerul Umam (Oni) misalnya, atau lebih-lebih Amak
Baljun (Waska).
Ada sesuatu yang tampak terkendali pada Arifin dalam hal kritik.
Sementara ia tidak diumbar ke sana kemari dengan maksud
memancing sorak penonton muda, terasa ada kematangan. Buruh
pabriknya adalah lukisan dari sesuatu yang sudah diketahui
dengan cara yang menyentuh kesadaran, bukan suitan,
Tak heran bila penonton terasa seperti kekurangan hiburan.
Bentuk yang dipakai Arifin sendiri, membawa sesuatu yang terasa
agak memanjang. Adegan di bawah panggung di hampir akhir,
perbincangan para majikan, betapapun terasa sangat sepele--dan
bersama muncul nya tiga makhluk yang disebut Franker stein,
yang hubungannya dengan alur tak seluruhnya ditangkap penonton,
lebih terasa sebagai "penemuan" yang hanya dianggap sayang kalau
dibuang.
Tetapi bentuk pada Arifin, lebih-lebih kali ini, memang bukan
konsentrasi elemen-elemen. Ia penyaluran--yang dengan mengambil
pola sandiwara rakyat diharap tak selalu harus dihubungkan
dengan tuntutan keutuhan yang lazim itu. Masalahnya memang hanya
seberapa jauh ia mengganggu.
Yang terjadi ialah: berbeda dengan waktu-waktu lampau, ketika
Arifin mempercayai hampir semata ilham atau keterampilan sekitar
gerak dan panggung (plus kritik "asal bunyi") untuk menyinggung
hal-hal serius, kali ini Arifin rasanya mulai dari subyeknya.
Masalahnya, mungkin juga sebagian besar penonton hanya ingin
dibukanya sebuah sumbat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini