Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Arifin, kendali dan sumbat

Di tim group teater kecil manggung dengan cerita "sandek, pemuda pekerja" yang disutradarai oleh arifin c. noor. kurang atraksi, demikian pendapat sebagian besar penonton. (ter)

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang menarik pada Arifin kali ini. Sandiwaranya, Sandek, Pemuda Pekerja, kurang meriah dibanding yang sudah-sudah. Kurang "atraksi", setidaknya begitulah terasa pada sebagian besar penonton yang tidak begitu padat. Kurang gerrr. Sandek, dimainkan di Teater Tertutup TIM 24 - 30 September, disebut Arifin sebagai bagian IIb dari Orkes Madun. Bagian pertama, diberi judul Madekur dan Tarkeni, dimainkan di tempat yang sama 1974. Yang ke-IIa, Umang-Umang, 1976 di Teater Arena. Nomor-nomor itu memang menunjuk pada sesuatu dalam kepala Arifin. Di tubuh seniman yang baru kembali dari pergulatan di film itu, rupanya hidup sesuatu yang bereaksi timbal-balik antara "atas" dan "bawah". Seperti kaca yang dipasang di langit, sinarnya mencapai tanah. Seperti benang takdir. Untuk itu dihidupkannya tokoh Waska, nama lain bagi Sernar, si dewa ngejawan, "dewa menjelma". Waska ada dalam Madekur dan Tarkeni, yang berkisah tentang "percintaan & perjuangan" pencopet dan isterinya, pelacur. Dalam Umang-Umang Waska menjadi tokoh sentral --diberi peran "rasul kejahatan". Lakon Sandek sendiri mengandung bagian penutup dari nomor Umang-Umang--kemudian baru kisah Si Sandek yang dituturkan sebagai anak Waska. Semar naik pesawat angkasa, agaknya. Ia pergi mencari mati yang sudah lama diidamkannya. Dan cerita bermula pada saat-saat perpisahan -- ketika muncul seorang anak yang mengaku anak Waska dari salah-satu isterinya yang tercecer, kemudian "dibaptis" dengan siksaan, dan akhirnya ditinggalkan di bumi sebagai "penerus". Dalam lingkungan apa Sandek ditempatkan? Bersama saudara-saudaranya yang sudah di panggung dalam lingkungan pabrik, sebagai buruh. Maka inilah sebuah cerita sosial. Ada anak-anak yang bekera di bawah umur -- seperti Si Oni, pacar Sandek "yang bahkan belum haid". Ada masalah murahnya tenaga kerja dan "rendahnya keahlian". Ada peristiwa kegemaran berburu para majikan yang membawa akibat tertembaknya seorang buruh --dan si tuan menyesali karena yang mati ternyata "tak bermutu" -- bukan babi yang gemuk. Ada suara-suara mesin. Ada sirene pabrik, dan suara bayi di perkampungan buruh yang baru lahir (dan layar diangkat khusus untuk dua suara ini). Ada pula, tertu saja, pemogokan -- atau hampir pemogokan, "karena, ingat, mogok itu dilarang," kata seorang tokoh. Protes yang sengit? Bukan. Ini bukan sandiwara yang tegang lantaran menahan marah. Ia memang memberi kesan dimainkan dalam "posisi berdiri" kaki-kaki para buruh yang di panggung menggebrak-gebrakkan tongkat, dalam set bikinan Roedjito yang asosiatif. Namun variasi dari suara dan tangis perempuan, bersama banyolan keras dan tawa Waska atau yang di situ berfungsi sebagai pengantar cerita, dan stilisasi ucapan dan gerak yang rampak, memberi banyak peluang untuk melihat sebuah panggung yang basah. Pemain Jadi Ditambah para pemain yang mengingatkan bahwa inilah tinggal satu-satunya grup -- setelah Teater Populer yang punya para pemain yang sudah jadi, sebagian sudah sepuluh tahun dalam grup, yang tak ada lagi punya problim teknis elementer -- kecuali vokal dari satu dua, misalnya pada Willem. Toh pemeran Sandek ini sama sekali tak buruk--meski malam itu rasanya tidak sederet dengan Nunuk Chaerul Umam (Oni) misalnya, atau lebih-lebih Amak Baljun (Waska). Ada sesuatu yang tampak terkendali pada Arifin dalam hal kritik. Sementara ia tidak diumbar ke sana kemari dengan maksud memancing sorak penonton muda, terasa ada kematangan. Buruh pabriknya adalah lukisan dari sesuatu yang sudah diketahui dengan cara yang menyentuh kesadaran, bukan suitan, Tak heran bila penonton terasa seperti kekurangan hiburan. Bentuk yang dipakai Arifin sendiri, membawa sesuatu yang terasa agak memanjang. Adegan di bawah panggung di hampir akhir, perbincangan para majikan, betapapun terasa sangat sepele--dan bersama muncul nya tiga makhluk yang disebut Franker stein, yang hubungannya dengan alur tak seluruhnya ditangkap penonton, lebih terasa sebagai "penemuan" yang hanya dianggap sayang kalau dibuang. Tetapi bentuk pada Arifin, lebih-lebih kali ini, memang bukan konsentrasi elemen-elemen. Ia penyaluran--yang dengan mengambil pola sandiwara rakyat diharap tak selalu harus dihubungkan dengan tuntutan keutuhan yang lazim itu. Masalahnya memang hanya seberapa jauh ia mengganggu. Yang terjadi ialah: berbeda dengan waktu-waktu lampau, ketika Arifin mempercayai hampir semata ilham atau keterampilan sekitar gerak dan panggung (plus kritik "asal bunyi") untuk menyinggung hal-hal serius, kali ini Arifin rasanya mulai dari subyeknya. Masalahnya, mungkin juga sebagian besar penonton hanya ingin dibukanya sebuah sumbat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus