ITU bukan pelesetan lagu anak-anak Balon Udaraku. Tapi itulah yang dirasakan warga Riau ketika menatap langit Sumatra, Rabu lalu. Untuk pertama kalinya dalam sepekan terakhir, mereka bisa melihat lagi kelir langit biru terang. Hujan deras berhari-hari agaknya telah melunturkan asap yang seperti kerasan terus menggantung di atas Sumatra. Hari itu, untuk sementara, penduduk bisa melepas masker pelindung asap yang telah melekat lebih dari sepekan.
Untuk sementara? Rod Bowen, Kepala Proyek Pengendalian dan Penanggulangan Kebakaran Hutan (FFPC), sebuah proyek yang dibiayai Uni Eropa, memastikan hujan deras tak mampu menyapu bersih ancaman kebakaran hutan. "Api bakal kembali menyala," katanya, "begitu musim kering dan angin berembus." Sejumlah ahli kebakaran bahkan menaksir asap masih akan bercokol hingga dua atau tiga bulan ke depan.
Memang betul, musim kering kali ini tak akan sehebat dua tahun lalu. Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika, Sri Diharto, yakin bahwa berbeda dengan tahun lalu yang superkering, kemarau kali ini bersifat basah karena dipengaruhi badai La Nina yang membawa hujan. Apalagi, hujan diperkirakan datang lebih cepat, pada September atau Oktober. "Kita beruntung karena kebakaran hutan terjadi ketika mendekati musim hujan," katanya kepada Rubi Kurniawan dari TEMPO. Ia yakin, begitu hujan turun, kegalakan api di hutan-hutan gampang diredam.
Tapi, bisakah ancaman kebakaran hutan dianggap sepi? Tampaknya tidak. Kendati udaranya lebih basah, bahaya kebakaran justru dinilai lebih menakutkan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), misalnya, memperhitungkan kebakaran dua tahun lalu belum pulih benar. Lantai hutan penuh dengan arang dan serasah kering sisa kebakaran. Kalau ada percikan api, "Luas dan dampaknya bisa lebih dahsyat dari bencana 1997," kata Joko Waluyo, Ketua Advokasi Perkebunan Walhi.
Peringatan dari Walhi agaknya tak berlebihan. Gelagat maraknya pembakaran hutan mulai tampak nyata. Di kiri-kanan jalan raya Palembang-Muaraenim, misalnya, puluhan petak lahan telah hangus terbakar atau sengaja dibakar. Hampir tiap dua kilometer, tiga orang peladang berpindah tampak sibuk menghanguskan belukar untuk persiapan musim tanam. Meroketnya harga pelbagai komoditas pertanian selama masa krisis agaknya ikut mendorong percepatan pembukaan ladang.
Titik api bukan hanya disulut petani. Perkebunan besar, yang juga berpesta rezeki dari kenaikan harga minyak kelapa sawit, agaknya ikut-ikutan ngebut membuka area baru. Di Riau saja, setidaknya, ada dua perusahaan perkebunan besar, yaitu Peputera Mastarindo (milik pengusaha Malaysia) dan Dharma Trisa Gemilang, yang diketahui membakar hutan untuk mengurangi biaya pembukaan kebun. Pemilik kedua perkebunan itu, kabarnya, sudah dipanggil Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah Riau. Tapi, seperti biasa, hasilnya belum atau tidak diketahui.
Seperti biasa pula, api meletik dari area konsesi hutan tanaman industri (HTI). Pampangan, sebuah kawasan yang dipadati oleh tujuh perusahaan pengelola HTI di Sumatra Selatan, kembali mengepulkan asap. Tahun lalu, Pampangan dinilai sebagai salah satu pusat api di kawasan itu.
Area HTI milik PT Musi Hutan Persada, korban lama soal kebakaran hutan, juga tak terlewat dari sambaran api. Walau perusahaan itu telah menyiapkan diri dengan membangun 46 menara api, memobilisasi 30 anggota unit khusus pemadam api plus 30 tenaga kontrak, dan menghabiskan Rp 1,5 miliar biaya operasi pengendalian kebakaran, api tetap saja menjilat Musi, awal pekan lalu. Dalam tempo satu jam, kebun tiga hektare yang dipadati anakan akasia hangus dilahap bara. Untunglah, kebakaran bisa dilokalisasi sehingga tak meluas seperti dua tahun lalu.
Tanpa penelusupan ke hutan belukar di pedalaman pun, bahaya kebakaran hutan sebenarnya sudah tercium melalui citra satelit. Awal Agustus lalu, satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) telah mencatat sekitar 200 titik api di Sumatra. Setiap titik mencitrakan sedikitnya satu kilometer persegi area kebakaran.
Setelah guyuran hujan berhari-hari, jumlah pusat kebakaran memang menyusut. Seorang pejabat di Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan di Bogor mengakui bahwa citra satelit kini cuma merekam 15 titik api di Sumatra. Tapi ia mengingatkan, berkurangnya titik api tak bisa begitu saja disimpulkan sebagai menyusutnya area kebakaran. "Mungkin," katanya, "itu karena satelit terhalang awan tebal sehingga gagal merekam realitas."
Tak cuma di dalam negeri, sinyal ancaman kebakaran bisa dirasakan sampai ke tanah seberang. Akhir Juli lalu, Indeks Standar Polusi Singapura, negeri yang paling sering gelagapan karena kebanjiran asap dari Indonesia, mencatat angka 100, satu poin melewati ambang "tak sehat". Karena itu, Menteri Lingkungan Singapura, Lee Yock Suan, mendesak Indonesia agar memberi perhatian lebih besar terhadap ancaman kebakaran. Apalagi citra satelit dinilai telah memberikan peringatan akan berulangnya bencana 1997.
Tahun itu, asap kebakaran hutan di Indonesia mengelana jauh ke pedalaman Benua Asia. Asap yang membawa partikel karbon itu mengancam kesehatan ratusan juta warga Asia Tenggara. Jutaan penduduk diketahui terserang radang mata dan infeksi saluran pernapasan. Lebih dari itu, industri pariwisata, dari penerbangan, transportasi, hotel, restoran, hingga jasa penyelenggara wisata, terpukul hebat. Walhi menaksir kerugian material ketika itu sedikitnya mencapai Rp 60 triliun.
Kebakaran, tentu saja, bukan sekadar kalkulasi kerugian ekonomi dan finansial. Api juga menghanguskan keragaman hayati, kekayaan alam, dan ilmu pengetahuan yang tak terkira nilainya. Kerugian ekologis seperti itu, boleh jadi, tak akan segera kita bayar sekarang. Tapi anak cucu kita di kemudian hari akan memikul beban yang tak terbilang banyaknya.
Ancaman kebakaran tahun ini bisa saja menjadi makin berat karena para aktivis lingkungan dari pelbagai negeri Asia Tenggara sudah bersiap-siap mengadukan Indonesia ke Mahkamah Internasional. Tuduhan yang telah disiapkan mestinya cukup membuat keder: membiarkan jutaan hektare hutan musnah terbakar dan "mengizinkan" asapnya berkelana mengancam keselamatan jutaan manusia.
Menghadapi ancaman yang bertubi-tubi seperti itu, celakanya, pemerintah tampak tenang-tenang saja. Menteri Negara Lingkungan Hidup Panangian Siregar bahkan berkesan mengelak dari tanggung jawab. Katanya, soal kebakaran hutan bukan urusannya. "Itu 100 persen urusan Departemen Kehutanan dan Perkebunan," katanya (lihat boks).
Sebaliknya, Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Manan Siregar, yakin bahwa sebagian besar kebakaran kali ini terjadi di lahan pertanian. Hanya sebagian kecil area hutan yang terjamah api. Karena itu, ia mengaku cuma bisa memberi penyuluhan kepada para petani dan peladang. "Kami tak bisa berbuat banyak," katanya.
Semua pihak sudah lepas tangan. Jangan salahkan alam jika bencana datang.
Dwi Setyo, Mardiyah Chamim, I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini