Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayangkan, setiap hari, kecuali Jumat, siswa wajib mengikuti sembilan mata pelajaran, dengan waktu 45 menit per mata pelajaran. Jadi, kalau belajar mulai pukul 07.30, siswa dipastikan keluar dari sekolah sekitar pukul 15.00. Apa ini tidak menambah beban anak? Padahal, selama ini, siswa pulang sekolah sekitar pukul 13.30, dengan jumlah mata pelajaran 7-8 buah, kecuali Jumat.
Juga aneh apa yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dalam acara Persepsi di TVRI pada 29 Juli 1999 pukul 19.15. Pak Juwono Soedarsono menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya tawuran pelajar selama ini adalah munculnya kejenuhan dan kelelahan pada diri siswa karena seharian belajar disekolah. Lalu, dengan menambah jumlah jam pelajaran atau memperpanjang masa belajar anak di sekolah, apakah rasa jenuh dan lelah yang selama ini hinggap pada diri siswa akan sirna?
Barangkali inilah akibatnya kalau penyusunan kurikulum sekolah diserahkan kepada para pakar yang bukan guru. Mereka tidak sadar bahwa kepakarannya itu justru menciptakan kebijakan-kebijakan yang akan menambah kesengsaraan guru dan murid. Apa mereka pikir guru itu robot, yang mampu mengajar dan mendidik full time dari pukul 07.30 sampai pukul 15.00? Apa mereka pikir murid itu sanggup menyerap ilmu dari pagi sampai petang secara full time dengan kondisi fisik yang sebagian besar kurang gizi?
Kemudian, apa guru-guru dan murid-murid tersebut tidak perlu makan siang? Atau makan siangnya diundurkan sampai mereka tiba di rumah, sekitar pukul 16.00? Kalau makan siangnya harus di sekolah, apa murid-murid yang tergolong sederhana dan miskin masih mampu? Duitnya dari mana? Bagaimana pula dengan guru? Apa gajinya masih cukup untuk menghidupi keluarganya kalau ia harus menyisihkan gajinya itu untuk biaya makan siang di sekolah? Apa gaji seorang guru cukup besar, sama dengan gaji dosen, misalnya? Rasanya, kurikulum 1999 hanya patut diterapkan pada sekolah tertentu, yang murid serta gurunya sudah sejahtera.
Saya jadi khawatir, jangan-jangan, bila diterapkan secara murni dan konsekuen, kurikulum 1999 dapat menciptakan hal-hal berikut ini: (a) jumlah murid putus sekolah bertambah, (b) kuantitas dan kualitas tawuran makin bertambah, dan (c) semakin bertambah pula guru dan murid yang mengalami stres serta sakit mag dan lever karena otak dan tenaganya diperas.
Tampaknya, guru dan murid masih terus dijadikan ajang uji coba kurikulum oleh ”orang-orang pintar” kita. Lalu, apakah kita, guru, orang tua murid, dan pemerhati pendidikan, harus bungkam? Bagaimana dengan mereka yang berada di DPR, Pak Habibie, dan pemimpin PGRI, yang katanya mau memperjuangkan nasib guru?
Kepada Pak Menteri Pendidikan di kabinet yang akan datang, tolong tinjau kembali kurikulum 1999. Serahkan kepada guru tugas untuk menyusun kurikulum baru. Mereka itulah sebenarnya yang mengerti soal pendidikan karena mereka langsung terjun ke sekolah.
DRS. EDIAR BUANA
Seorang Pendidik di Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo