Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Soal Pembuktian Terbalik

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA menanggapi tulisan TEMPO Edisi 26 Juli-1 Agustus 1999, rubrik Hukum, halaman 37, berjudul Menghadang Korupsi dengan Hukuman Mati. Di situ ditulis lahirnya undang-undang baru tentang antikorupsi untuk menggantikan undang-undang lama tahun 1971. Selanjutnya ditulis bahwa hal baru dalam undang-undang ini adalah adanya ketentuan tentang sistem pembuktian terbalik terhadap seseorang yang dituduh telah melakukan perbuatan korupsi. Yang diartikan dengan sistem pembuktian terbalik adalah kewajiban dari si tertuduh untuk membuktikan di pengadilan bahwa dia (tertuduh) tidak bersalah melakukan korupsi, dengan memberikan penjelasan tentang asal-usul harta kekayaannya yang bukan berasal dari korupsi tapi diperoleh secara halal. Sedangkan dalam sistem peradilan pada umumnya, berlaku asas praduga tak bersalah, di mana merupakan kewajiban jaksa untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Namun, jika disimak secara teliti, ketentuan pembuktian terbalik tersebut telah ada dalam Undang-Undang Korupsi Tahun 1971 (UU No. 3/1971). Di dalam salah satu pasal (kalau tidak salah dalam pasal l-b) disebutkan bahwa kalau dianggap perlu (tentunya oleh pengadilan), terdakwa harus memberikan penjelasan dari mana ia memperoleh hartanya tersebut. Maksud dari ketentuan tersebut adalah agar terdakwa membuktikan bahwa hartanya (yang menyebabkan ia diperiksa di pengadilan) bukan diperoleh dengan melakukan korupsi.

Jadi, sebenarnya, sistem pembuktian terbalik bukanlah merupakan hal baru, khususnya dalam Undang-Undang Korupsi. Hal lain yang perlu ditanggapi dalam berita TEMPO tersebut adalah perluasan pengertian tersangka korupsi yang bukan hanya terbatas pada orang tapi juga termasuk badan hukum. Sedangkan pengertian orang tidak semata-mata pegawai negeri tapi juga mereka yang memperoleh upah dari badan hukum pengguna fasilitas negara. Ini berarti berbagai bisnis kroni yang berkembang di bawah Soeharto bisa dijaring sebagai pelaku korupsi berdasarkan undang-undang baru tersebut.

Namun, hal tersebut saya kira tidak benar. Di dalam hukum pidana ada ketentuan bahwa undang-undang pidana tidak dapat berlaku surut. Artinya, jika terjadi perubahan tentang aturan pidana, yang diberlakukan adalah ketentuan yang meringankan terdakwa. Dengan demikian, undang-undang yang baru itu tidak dapat diberlakukan terhadap perbuatan korupsi yang terjadi sebelum undang-undang baru itu disahkan, sehingga perbuatan korupsi yang telah marak dalam era Orde Baru tidak bisa ditindak berdasarkan undang-undang tersebut. Dengan demikian, kita menjadi pesimistis apakah pemberantasan korupsi bisa dijalankan di Indonesia. Di samping itu, kita yakin bahwa masih tetap bisa diadakan ”perdamaian” di depan hukum.

ANINDYA S.B.
Jalan Puloasam Timur VII/11
Jakarta Timur 13220

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus