Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Advis Kissinger dan Pertaruhan Gus Dur

Desakan untuk meninjau ulang kontrak karya Freeport Indonesia makin menjadi-jadi. Apakah ada jalan keluar?

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI sebagian orang, Henry Kissinger adalah pertanda. Puluhan tahun lalu, ia datang sehari sebelum Indonesia menyerbu Timor Timur. Kini ia kembali, apa gerangan yang akan terjadi? Tak ada yang istimewa memang—setidaknya sampai sepuluh hari sejak kedatangannya akhir Februari lalu. Politisi kawakan, ahli strategi, dan intelijen jempolan Amerika Serikat yang tiba-tiba diangkat menjadi penasihat luar negeri Presiden Abdurrahman Wahid itu kali ini cuma meninggalkan jejak nasihat yang sepele: Indonesia harus menghormati perjanjian kontrak karya yang sudah diteken dengan PT Freeport Indonesia. Sebuah advis yang biasa, yang lumrah—jika bukan Kissinger yang menyampaikannya. Repotnya, Kissinger, yang selalu mengklaim diri sebagai "teman" Indonesia, merupakan anggota Dewan Komisaris Freeport McMoRan Copper and Gold, induk Freeport di AS. Untuk kepentingan siapakah nasihat ini dilontarkan? Untuk Indonesia, yang menyewanya dengan gratis sebagai penasihat presiden, atau untuk Freeport, perusahaan tambang emas terbuka terbesar di dunia, yang menyewanya dengan bayaran jutaan dolar sebagai anggota dewan komisaris? Lebih celakanya, nasihat yang biasa-biasa itu bertentangan dengan keinginan banyak orang saat ini. Selain Menteri Luar Negeri Alwi Shihab yang mengamini usulan Kissinger, hampir seluruh lapisan masyarakat, dari Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Freddy Numberi, aktivis lingkungan, pembela hak asasi manusia, anggota DPR, sampai begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo (yang biasanya begitu hati-hati mempertimbangkan kepentingan investasi), semuanya menginginkan agar kontrak karya Freeport ditinjau ulang. Mereka menilai, kontrak karya (yang antara lain memuat perjanjian bagi hasil, royalti, pajak, komitmen penyelamatan lingkungan, dan kebijakan nasionalisasi saham) itu terlalu menguntungkan perusahaan tambang emas yang beroperasi di Irianjaya tersebut. Mereka ingin, bagian Indonesia, baik berupa setoran pajak kepada pemerintah maupun hibah saham kepada masyarakat lokal, diperbesar. Soemitro, misalnya, menilai kontrak karya itu sudah out-of-date, dibuat pada zaman aparat pemerintah buta dengan bisnis tambang. Kissinger seharusnya tidak cuma melihat kepentingan sesaat para pemegang saham, tapi juga memikirkan kepentingan rakyat Indonesia, yang dalam jangka panjang akan menentukan nasib perusahaan tambang raksasa itu. "Jika rakyat Indonesia kesrakat," begitu kira-kira kata Sumitro, "Freeport juga yang rugi." Sebenarnya, tuntutan untuk memperbesar bagian Indonesia di Freeport bukan hal baru. Sejak bertahun-tahun lampau, Freeport terus diprotes dan digugat—terutama oleh masyarakat lokal. Tapi desakan itu tak pernah berhasil, sebagian karena Freeport dibeking begitu rapat oleh kekuasaan. Ibarat keluarga, Freeport adalah bayi Soeharto: perusahaan tambang ini merupakan badan usaha asing pertama yang memasuki Indonesia setelah Soeharto mengambil alih pemerintahan dari tangan Sukarno, pada 1967. Hubungan Soeharto-Freeport makin dirapatkan dengan hubungan kepemilikan. Soeharto memiliki Freeport melalui Nusamba, yang menguasai mayoritas saham PT Indocopper Investama. Yang disebut terakhir itu merupakan perusahaan publik yang ikut memiliki 9,4 persen saham Freeport Indonesia. Karena itu, di masa pemerintahan Soeharto, posisi Freeport seperti tak tergoyahkan. Keadaan baru berubah setelah Soeharto lengser, dua tahun lalu. Dan seiring dengan lemahnya dukungan politik, tuntutan untuk meninjau ulang "bagi hasil" Freeport-Indonesia makin kencang. Yang menuntut kini bukan cuma penggiat lingkungan, pembela hak asasi manusia, atau organisasi masyarakat, tapi juga pejabat pemerintah. Hampir semuanya sependapat: hasil yang dijala Freeport jauh lebih besar dari kewajaran. Kita hitung saja, selama kontrak karya (KK) I, dari 1967 sampai 1991, Freeport berhasil menggali pendapatan hampir US$ 3,4 miliar. Dari jumlah itu, cuma US$ 50 juta (atau sekitar 1,5 persen) yang dibayarkan ke pemerintah dalam bentuk royalti. Kalaupun pajak, pungutan, dan setoran dividen ikut diperhitungkan, jumlah setoran Freeport kepada pemerintah selama periode itu hanya US$ 400 juta atau cuma 12,5 persen dari total pendapatannya. Dalam KK II (1992-2021), yang diyakini merupakan lompatan besar ketimbang KK I, bagian Indonesia tetap saja rendah. Selama tujuh tahun masa KK II sampai 1998, Freeport berhasil menjala US$ 8,2 miliar, dan cuma US$ 165 juta (dua persen) yang diterima Indonesia sebagai royalti. Ini pungutan yang terlalu murah untuk sebuah tambang emas terbuka (open pit) seperti Grasberg yang kini dikelola Freeport. Menurut Hoover's Company, lembaga independen yang menyajikan profil perusahaan, dengan potensi tiga persen emas dari tiap bijih yang ditambang, Grasberg merupakan tambang emas dengan biaya produksi termurah di dunia. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Tambang Indonesia P.L. Coutrier, rendahnya setoran Freeport ke Indonesia ini bukan melulu "kesalahan" Freeport, melainkan lebih karena kebodohan kita sendiri. "Tak satu pun ahli tambang kita yang tahu potensi lahan Freeport," katanya. Akibatnya, kita cuma menuruti apa kata perusahaan dari AS ini. Pada KK I, misalnya, Freeport cuma dibebani royalti tembaga, sedangkan emas (yang selalu terikat dengan bijih tembaga di alam) dibiarkan digali free tanpa pungutan. Selain itu, rendahnya setoran tersebut juga karena pemerintah menganut sistem royalti. Sistem ini sangat bergantung pada hasil mineral yang bisa ditambang. Menurut Coutrier, di banyak negara lain, sistem ini sudah diganti dengan pungutan pajak. "Jadi, mau produksi atau tidak, mau ada emas atau tidak, negara tetap mendapatkan setoran," katanya. Lalu, apakah itu semua cukup menjadi modal untuk mengubah kontrak karya Freeport? Itulah soalnya. Ikatan maskawin bernama kontrak karya itu masih berlaku sampai tahun 2021. Lagi pula, secara hukum, kontrak karya setara dengan undang-undang—tidak cuma disetujui oleh pemerintah, tapi juga oleh DPR. Perubahan kontrak karya, karena itu, juga harus mendapat persetujuan keduanya. Selain itu, ini jauh lebih serius, kalaupun pemerintah dan DPR sepakat, kontrak karya itu tak bisa diubah sewenang-wenang—kecuali jika kita siap menerima vonis sebagai negeri yang tak menghormati hukum. Perubahan kontrak karya di tengah jalan merupakan cermin ketidakpastian hukum. Dan rapuhnya kepastian hukum akan menjadi ancaman besar bagi iklim investasi di Indonesia. Kartu inilah agaknya yang dimainkan Kissinger dengan lihainya. Ia menghardik: hormatilah kontrak karya Freeport jika Indonesia tak mau ditinggalkan investor. Cuma, bukan tak ada jalan. Kontrak karya bisa saja direvisi jika ditemukan sejumlah pelanggaran. Dan itulah yang kini sedang dicari. Menteri Sonny, misalnya, akan mengaudit ulang pengelolaan dampak lingkungan Freeport. Perusahaan tambang ini memang telah diaudit oleh aduitor lingkungan beberapa tahun lalu. Tapi, menurut Sonny, laporan audit itu tak mencerminkan keadaan sebenarnya. Ia berharap, tiga bulan mendatang, hasil audit ulang ini sudah ada. Dari sinilah, kata Sonny, "Bisa kita putuskan apakah kontrak karya Freeport boleh jalan terus atau tidak." Repotnya, harus diakui, tak banyak alasan yang bisa dipakai untuk menggasak Freeport, saat ini. Komitmennya terhadap lingkungan juga sulit diragukan begitu saja. Menurut pengamatan TEMPO selama sepekan di wilayah tambangnya di Timika, Freeport sudah berusaha mengelola lingkungan sebaik-baiknya. Bahwa Freeport memilih metode pengelolaan yang hemat biaya tapi berisiko (ketimbang metode yang mahal tapi jauh lebih aman bagi lingkungan), itu memang betul. Tapi, persoalannya, metode pengelolaan yang ditempuh Freeport sudah disetujui dalam kontrak karya. Karena itu, sejumlah pejabat dan pengamat tambang pesimistis kontrak karya ini bisa diubah sebelum waktunya—tanpa mencederai kepercayaan investor asing. Untuk meredam ekses yang tak perlu, sejumlah pengamat mengusulkan beberapa cara untuk meningkatkan porsi bagi hasil tanpa harus mengubah kontrak karya. Coutrier, misalnya, mengusulkan adanya tambahan pajak lingkungan, yang hingga kini belum pernah dikenakan untuk industri tambang. Sementara itu, Menteri Alwi Shihab mencoba melakukan pendekatan yang lain. "Kami minta pengertian saja," kata Alwi enteng, yakni pengertian agar Freeport lebih banyak memperhatikan masyarakat sekitar. Pengertian ini bisa berupa penyerahan sejumlah konsesi atau bahkan hibah penyerahan saham kepada masyarakat setempat. Apakah imbauan semacam itu masih laku di zaman serba uang seperti sekarang? Entahlah. Barangkali, menurut Menteri Alwi, teman Kissinger bisa membantu. Dwi Setyo, Agung Rulianto, I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus