Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah tailing, limbah penambangan PT Freeport Indonesia. Perilaku ular malas inilah yang akan menentukan nasib pembayar pajak terbesar Indonesia itu. Dalam pekan-pekan ini, tim audit lingkungan akan diterjunkan ke Timika. Menurut Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf, tiga bulan mendatang tim ini akan sudah siap dengan rekomendasi: apakah Freeport akan ditutup atau tetap dibolehkan beroperasi, mungkin dengan beberapa syarat.
Limbah keruh itu berasal dari pengolahan bijih di Erstberg, Tembagapura. Dari pantat pabrik inilah lumpur keruh itu digelontorkan begitu saja melompati tebing-tebing terjal ke arah selatan. Setelah terjun bebas melalui jeram-jeram curam di hulu Sungai Otomona, pasta raksasa itu mengalir lamban menggenangi dataran rendah tak bertuan di sepanjang daerah aliran Sungai Ajkwa dan Aghawagon. Dari sana, tahi pertambangan itu akan dipandu dua tanggul raksasa, terus mengalir ke selatan menuju Laut Arafura (lihat sketsa di atas).
Untuk menampung timbunan limbah yang makin bertumpuk, tanggul sepanjang 30 kilometer itu harus ditinggikan setengah meter setiap tahun. Untunglah, konsesi penambangan Freeport akan habis empat puluh tahun lagi. Tinggi tanggul itu paling banter akan mencapai 15-20 meter. Kalau saja cadangan Freeport baru habis setelah ratusan tahun, boleh jadi panjang dan besar tanggul ini akan melampaui tembok Cina yang termasyhur itu.
Kecepatan penumpukan tailing Freeport memang menakjubkan. Saban hari, tak kurang dari 220 ribu ton lumpur terjun dari pantat pabrik pengolahan bijih dan beringsut melalui tanggul-tanggul raksasa itu menuju pantai. Lumpur pasir ini merupakan sisa pemrosesan 230 ribu ton bijih yang dikeduk dari pegunungan Grasberg. Dari jumlah itu, cuma 10 ton yang bisa disaring sebagai konsentrat. Sisanya dibuang sebagai tailing. Setelah tiga puluh tahun beroperasi, Freeport sudah menyebarkan tahinya dalam jarak 125 kilometer dari pabrik pengolahan bijih ke arah Pantai Arafura, di kawasan seluas 230 ribu hektare.
Sampai pekan lalu, tahi Freeport sudah menggenangi daerah nipah-nipahan, sekitar 10 kilometer dari garis pantai. Dalam satu atau dua tahun lagiitu pun kalau tak ada banjirlumpur keruh itu pasti sudah mulai menjilat belantara bakau Irian, tempat tumbuhnya bermacam jenis ikan, kepiting, siput, dan puluhan jenis hewan pantai lainnya. Jika Freeport tak segera mengeluarkan jurus-jurus penghadangan, lumpur beracun itu akan menamatkan riwayat biota bakau berumur ratusan tahun itu dalam sekali hantam.
Harus diakui, cara pembuangan limbah (yang asal buang) inilah yang jadi isu utama perusakan lingkungan di Freeport. Persoalan pertama sudah muncul ketika lumpur pasta itu terjun bebas dari pantat pabrik menuju hulu sungai. Topografi di jantung Irian yang bergunung-gunung memang membantu Freeport, mempercepat pembuangan limah ini. Tapi, karena diterjunkan begitu saja seperti dituang dari angkasa, tailing beracun ini pasti akan menghantam apa saja di depannya: pokok-pokok pohon, juga satwa liarkalau mereka masih ada.
Tak adakah cara lain yang lebih sehat, misalnya menggelontorkan tahi tambang ini melalui pipa-pipa agar tak menggenang ke mana-mana? Menurut Manajer Tambang Grasberg, Gatut Adisoma, Freeport pernah mengkaji pembuangan tahi tambang melalui pipa-pipa untuk kemudian dibenamkan ke lubang penimbunan atau dibuang ke palung Laut Arafura, atau bahkan juga ke Pasifik di utara Irian. Tapi, katanya, pilihan itu terlalu sulit. "Berapa besar pipa yang bisa mengangkut 220 ribu ton lumpur sehari?" katanya, "Belum lagi risiko kebocoran, yang bisa setiap kali terjadi karena tekanannya pasti begitu tinggi."
Dan semua itu berarti: biaya yang besar. Diperkirakan, ongkos untuk membuat jaringan pipa raksasa menuju Laut Arafura mencapai US$ 1,6 miliar. Padahal, aset Freeport cuma US$ 1 miliar. Jadi, mau tak mau, penggelontoran menjadi satu-satunya pilihan. Yang penting, kawasan limbah harus dikelola agar dampaknya menjadi minimal.
Di situlah terletak persoalan kedua. Tahi tambang itu, tentu saja, bukan cuma berisi pasir, batuan yang diremukkan, tapi juga bahan kimia dan racikan sejumlah logam berat seperti tembaga dan air raksa. Artinya, muntahan yang berleleran di kawasan Ajkwa, Minajerwi, Kamoro, dan Otomona itu bukan cuma akan menjadi lautan pasir, tapi juga materi beracun.
Tahi beracun ini, menurut pengamatan TEMPO, akan mengeringkan tanaman dalam sekejap. Kalau pun ada pokok-pokok pohon yang tetap tegak bertahan, mereka tak mungkin bertahan hidup karena logam berat akan menyumbat setiap celah-celah mulut daun. Akibatnya, dengan segera pokok-pokok itu akan mati tercekik. Pertanyaannya sekarang: apakah pokok-pokok pohon yang pernah tumbuh di tempat itu tak mungkin dihidupkan kembali? Ataukah Freeport sengaja menciptakan lautan pasir beracun di tengah hamparan hutan hujan tropis Irian?
Freeport memang sudah mengusahakan pengurangan tingkat racun pada limbah tambang. Sebelum dilempar keluar, limbah yang asam itu dicampur dulu dengan gamping di bak-bak penampungan agar menjadi netral. Tapi, itu saja tentu tidak cukup. Untuk mempercepat pemulihan (reklamasi) daerah limbah, Freeport juga melakukan penanaman. Tapi sayang, program reforestasi itu mustahil dilakukan sepanjang proses penimbunan limbah belum selesai. "Jika masih ada timbunan, mereka pasti mati," kata Yahya Husain, peneliti senior yang mengelola lingkungan Freeport.
Karena itu, laju reklamasi daerah tailing sangat lamban. Sejak digelar dua tahun lalu, pusat reklamasi di dekat Timika cuma berhasil menghijaukan daerah seluas 123 hektare, atau 0,5 persen dari total kawasan yang tertutup limbah. Dengan bantuan pupuk organik, pusat reklamasi itu bisa ditanami nenas, sagu, pandan, ubi jalar, cemara, bahkan juga padisemuanya dari jenis lokal.Dan alhamdulillah, menurut Yahya, kandungan logam dalam buah-buahan di daerah reklamasi tidak melebihi batas normal yang diizinkan. Padi, misalnya, cuma mengandung 3,3 ppm tembaga, sepertiga dari ambang bahaya yang ditetapkan Badan Makanan Nasional Australia.
Tapi, bukan berarti persoalan limbah tambang itu selesai dengan sendiri-nya. Selain menghabisi tanaman dan margasatwa, tahi Freeport juga menghantam kehidupan suku Kamoro. Suku pengembara ini hidup dengan berlayar berhari-hari menyusuri sungai mencari kawasan subur yang bersagu. Mereka begitu mobil sehingga bisa berpindah tempat tinggal sampai 13 kali dalam setahun.
Nah, tahi Freeport yang menyumbat sungai itu telah menghancurkan adat suku Kamoro. Sebagian dari mereka kini beradaptasi, dengan mengubah pola hidupnya menjadi petani peladang. Tapi, tak semuanya hepi jadi petani. Seperti diakui pejabat Freeport, sebagian dari mereka menolak didaratkan dan tetap hidup mengelana, berlayar mencari sagu dan menangkap ikan.
Selain pencemaran tailing di aliran Sungai Ajkwa, Freeport juga menghadapi persoalan pembuangan batuan penutup. Grasberg merupakan tambang terbuka (open pit). Bijih emas di sana tidak terbenam dalam-dalam di perut bumi tapi terhampar tak jauh dari permukaan tanah. Untuk mengangkatnya, cuma perlu mengupas lapisan batu-batuan di bagian atas dan mengeduk bijih yang ada di bawahnya. Lapisan yang dikelupas inilah yang disebut sebagai batuan penutup.
Ke mana batuan penutup ini dibuang? Di Jakarta, mungkin ia bisa jadi duit, dijual ke toko material. Tapi di Grasberg, yang terpencil dan bertengger di atas awan, di ketinggian 4.100 meter dari muka laut?
Bukan Freeport kalau tak punya akal untuk menyelesaikan soal itu dengan murah dan cepat. Tak jauh dari Grasberg, kira-kira 400 meter di bawahnya, tergolek danau pegunungan. Namanya Wanagon. Ke danau itulah batuan penutup itu ditimbun. Kelak, 40 tahun mendatang, ketika konsesi Freeport kedaluwarsa, danau dan gunung itu akan berganti takdir. Gunung Grasberg akan jadi danau sedalam Wanagon, dan sebaliknya danau Wanagon menjadi seonggok gunung setinggi Grasberg.
Jangan bertanya lagi bagaimana pencemaran yang terjadi. Batuan penutup itu tentu mencemari ekosistem danau dengan pelbagai senyawa asam. Freeport memang punya cara klasik: menggampingi keasaman itu agar sedikit netral. Tapi, apa pun yang dilakukan, mau tak mau biota danau Wanagon itu akan tersiksa. Apalagi, penimbunan itu dilakukan tanpa mengeringkan danau terlebih dahulu. Jika penimbunan berjalan dengan cepat, air Wanagon boleh jadi akan melimpas menjadi banjir.
Sebenarnya, ada cara untuk mengurangi kerusakan Wanagon, yaitu mengelilingi Grasberg dengan bendungan. Batuan yang dikupas dibuang ke samping, diisikan ke dalam ceruk bendungan. Kelak, setelah penambangan selesai, Grasberg akan menjadi dataran yang dikelilingi bendungan seperti sebuah mangkuk penuh nasi. Sayang, jurus itu mustahil dilakukan di sana. Selain curah hujannya amat tinggi (15 meter setahun), Grasberg merupakan daerah gempa. Dengan tanah yang amat labil, kawasan ini memang tak memungkinkan adanya bendungan.
Jadi, mesti ditutupkah Freeport? Entahlah. Yang pasti, di belantara Irian, ancaman kerusakan lingkungan mungkin tak sebesar pencemaran limbah pabrik ke sungai-sungai penuh penduduk di Jawa.
Dwi Setyo, I Gede Maha Adi (Timika)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo