Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rujuk Bukan Pilihan Taiwan

Pemilihan presiden Taiwan tahun 2000 dipercaya menjadi tonggak penting masa depan Taiwan. Tapi, reunifikasi dengan Cina bukan opsi.

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KECIL-KECIL cabe rawit. Julukan itu tampaknya cocok untuk Taiwan (Republic of China). "Negara" seluas 36 ribu kilometer persegi dengan penduduk 22 juta jiwa itu mampu membuat Republik Rakyat Cina, yang berpenduduk 1,2 miliar jiwa, kerepotan. Menjelang pemilihan umum presiden pada 18 Maret 2000, Cina memprovokasi Taiwan dengan pameran kekuatan militer di selat pembatas kedua wilayah. "Kami merasakan ada urgensi, Jiang (Zemin, Presiden Cina—Red) segera mendapat solusi (reunifikasi—Red)," tutur Tien Hung-mao, Kepala Institut untuk Riset Kebijakan Nasional, Taipei.

Mengapa Cina begitu khawatir dengan pemilihan presiden Taiwan kali ini? Menurut Cal Clark, pengamat politik dari Universitas Auburn, Amerika Serikat, pemilu presiden Taiwan ini merupakan titik penting, "karena hasilnya tidak hanya berpengaruh pada rakyat Taiwan, tapi juga pada stabilitas kawasan Asia Timur," kata Clark. Siapa pun yang menang dan menjadi presiden Taiwan akan sangat menentukan masa depan Taiwan, apakah Taiwan akan menyatakan merdeka, ingin kembali ke motherland Cina, atau tetap seperti sekarang ini. Sedangkan pemerintah Cina memiliki target untuk melakukan reunifikasi dengan Taiwan pada tahun 2000.

Apa pun jadinya Taiwan nanti tentu tak akan lepas dari kepentingan Cina. Sejak Taiwan dan Cina terpisah pada 1949, pemerintah Cina selalu mencari jalan agar kembali rujuk. Pemerintah Cina tidak akan pernah merelakan adanya dua Cina. Tapi, nyatanya, langkah pemerintah Cina untuk menarik Taiwan kembali sejak tawaran "one state, two system" pertama kali ditawarkan pada 1979 hingga saat ini belum juga berhasil.

Mengapa? Sebab, Taiwan unik. "Kasus Taiwan dengan Cina tidak bisa disamakan dengan Jerman Barat dan Timur," kata Clark. Pertama, karena Taiwan sudah menjadi bentukan "bangsa" sendiri dengan pengalaman hidup bersama antara penduduk Taiwan asli dengan pendatang Cina daratan pengikut Chiang Kai-shek. Kedua, rakyat Taiwan sudah merasakan transisi dari pemerintahan yang otoriter (hingga akhir 1980-an—Red) ke pemerintahan yang lebih demokratis, dengan adanya partai oposisi sejak 1986 dan pemilihan umum demokratis. "Walaupun Taiwan tidak diakui, kami sudah memiliki kedaulatan dan sudah seperti negara merdeka," kata Chen Shui-bian, kandidat presiden dari Partai Progresif Demokrat.

Dalam pemilu presiden Taiwan kali ini, isu reunifikasi—yang disebut sebagai "hubungan lintas-selat"—memang tetap menjadi isu paling penting. Ini karena pemerintah Cina mempunyai target reunifikasi dengan Taiwan, setelah sukses dengan Hong Kong dan Makau. Untuk itu, pemerintah Cina kembali menawarkan paket reunifikasi dengan mengeluarkan paket white paper tawaran rujuk, 1 Februari 2000. Tapi, Presiden Lee Teng-hui tak menyambut tawaran Cina itu. Tampaknya, para elite politik Taiwan tidak rela untuk membiarkan negara yang pendapatan per kapitanya meningkat pesat—US$ 100 (Rp 700 ribu) pada 1950 menjadi US$ 14.000 (Rp 98 juta) pada tahun 2000—menjadi bagian dari Cina.

Di pihak lain, pihak Taiwan tidak mungkin menantang Cina secara terbuka. Akibatnya bisa fatal. Ketika Presiden Lee Teng-hui menyatakan bahwa hubungan Taipei dengan Beijing itu seperti "special state-to-state relations", Juli 1999, Cina langsung marah dan mengancam akan menyerang Taiwan (lihat boks). Serangan itu urung karena AS mengirim kapal induk ke wilayah sekitar selat perbatasan Taiwan-Cina.

Memang, Cina adalah raksasa militer. Menurut data Departemen Pertahanan AS, Cina akan menjadi kekuatan militer yang paling berotot di Asia pada 2005. "Gaya Cina, yang suka pamer dengan meluncurkan misilnya, sangat mengancam hidup kami," kata Lien Chen, kandidat presiden dari partai yang berkuasa, Kuomintang. Itulah mengapa hasil pemilihan presiden Taiwan kali ini sangat erat kaitannya dengan kelangsungan stabilitas Asia Timur.

Membaca situasi yang demikian, tampaknya sikap "samar" para kandidat presiden Taiwan adalah yang paling aman. "Taiwan tidak akan mencari kemerdekaan, tapi juga tidak mau menjadi pemerintahan lokal bagi Beijing," kata Chan, yang masih menjabat sebagai wakil presiden dan diperkirakan banyak pihak akan keluar sebagai pemenang. James Soong, kandidat Partai Baru, juga tidak menunjukkan sikap yang jelas tentang identitas Taiwan dan menyatakan akan mengikuti status quo. Bahkan, Shui-bian dari Partai Progresif Demokrat, yang sempat secara tegas mengampanyekan kemerdekaan Taiwan tahun lalu, juga melunakkan "perjuangannya" dengan menyatakan "saya tidak akan merusak apa yang telah disepakati oleh 22 juta rakyat Taiwan".

Sebenarnya, secara politis, baik pemerintah Taiwan maupun Cina sama-sama keras kepala, yaitu dengan menerapkan politik luar negeri yang konfrontatif. Pihak pemerintah Cina, yang komunis, terbukti tidak berhasil meraih kepercayaan pihak Taiwan karena sering menggencet posisi Taiwan. Cina—yang memiliki hak veto di Majelis Umum PBB—secara aktif mengganjal upaya Presiden Lee untuk mencari pengakuan di dunia internasional. Pihak Taiwan pun tidak menunjukkan keinginan untuk berunding karena menurut ketiga kandidat presiden, masalahnya terletak pada Cina, bukan Taiwan.

Perlawanan Taiwan terhadap dominasi Cina berhasil karena negara kepulauan itu memang kuat ekonominya. Sejak pemerintah Taiwan membuka hubungan nonpolitis dengan Cina pada 1987, arus perdagangan dan investasi dari Taiwan ke Cina melonjak pesat, walaupun harus melalui negara ketiga seperti Hong Kong. Investasi perusahaan-perusahaan Taiwan di Cina daratan diperkirakan mencapai US$ 30-40 miliar (Rp 210 triliun sampai Rp 280 triliun). Pada awal 1990-an, mulai tampak gejala integrasi ekonomi antara Taiwan dan wilayah Cina Selatan, seperti Provinsi Fujian.

Jadi, tidak mengherankan kalau ketiga kandidat presiden Taiwan tidak menghiraukan ancaman serangan militer Cina jika mereka memutuskan untuk tidak reunifikasi. Hal ini selain karena kekuatan ekonomi Taiwan—yang pernah dijuluki sebagai salah satu naga Asia—juga karena dukungan AS. "Bagaimanapun, AS tidak rela kalau Cina merusak stabilitas Asia Timur," kata Clark. Tampaknya, Cina belum bisa mendapat berkah untuk rujuk dengan Taiwan di Tahun Naga Emas ini.

Bina Bektiati (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus